Senin, 15 Oktober 2012

welcome neolib, monggo pasar bebas

14-15 desember 2009

I
Kondisi paska-modernitas—atau bolehlah kita sebut juga dengan rezim pasar bebas—mengarahkan manusia pada kompetisi-kompestisi ilutif, baik pada tingkatan material maupun metameterial. Individu-individu di dalamnya tidak sama sekali berkompetisi sebenarnya. Sebab, syarat kompetisi adalah kondisi perbedaan, setidaknya dalam kompetisi terdapat dua eksistensi yang berbeda.

Namun nyatanya rezim pasar bebas bukan memproduksi berupa-ruba perbedaan. Sebaliknya, ia justru memproduksi homogenitas produk, dari komoditas material hingga komoditas jasa bahkan konseptual dan virtual. Artinya, mode sekaligus orientasi produksi pasar bebas tak lain kecuali “reproduksi” semata.

Misalnya saja jasa pendidikan—yang insitusinya karena “kebijaksanaan” pasar bebas telah terkorporasikan—menjual jurusan kebutuhan konsumen yang laku di pasar pendidikan, yang bersesuaian dengan trend pasar. Jurusan-jurusan itu berorientasi pekerjaan praktis dan pragmatis. Teknik informatika, kedokteran, teknik industri, psikologi industri contohnya.

Melihat sebuah universitas yang di dalamnya terdapat tiga jurusan itu ternyata meraih kesuksesan dan keuntungan tak terkira (kendati sekadar iklan sloganistik), kemudian berduyun-duyunlah universitas-universitas lainnya membuka jurusan-jurusan macam itu. Inilah reproduksi: upaya penjiplakan buta secara kolosal berdasar prinsip keuntungan. Atau ngenesnya berdasar prinsip hanya sekadar berjuang demi hidup, demi eksistensi (survival of the fittest) dalam pasar pendidikan.

Inilah budaya massa; kediktatoran pasar bebas. Semua universitas pada akhirnya sama saja jurusannya. Yang membedakan hanya tampilannya, simbolnya, formatnya, kemasannya, bungkusnya. Pluralisme bukan dalam isi, tapi dalam bentuk: rasionalitas formal kantian.

Kepraktisan dan pragmatisme konsumen ini dipengaruhi pula oleh logika tempo pendek dan logika berpikir dangkal yang terimpor ke indonesia dari pusat-pusat industri maju. Inilah instanitas, logika sarwa cepat yang menghindari resiko dan kerugian setipis mungkin, sambil berspekulasi “tentang” keuntungan setebal mungkin, logika bisnis yang secara natural dan tanpa sadar merasuk hingga level terdalam kesadaran manusia modern; dengan kata lain sebuah hegemoni atau kekerasan simbolik rezim pasar bebas.

Di pinggiran sana, nasib jurusan-jurasan lama pun tak terurus. Bisa terurus bila saja ia mau menerima imperatif rezim pasar bebas. Atau akan diurus bila pada jurusan-jurusa lama terlihat sesuatu yang dapat mendongkrak rating dan citra sebuah korporasi institusi pendidikan.

Keunikan tertelan homogenitas pasar. Tradisi runtuh. Identitas raib. Keunggulan komparatif sebuah korporasi institusi pendidikan, yang seharusnya jadi daya tawarnya dalam kompetisi pasar pendidikan yang secara teoritis meminta variasi jurusan, justru lenyap. Individualitas sangat-sangat tak direkognisi dalam rezim pasar bebas.

Dalam kondisi pasif tersebut, sebuah korporasi institusi pendidikan hanya bisa melakukan pencitraan, pengiklanan, simulasi, membentuk realitas baru. Tapi pada kenyataannya realitas bentukan tersebut tak pernah ada. Contohnya sertifikasi iso UIN Sunan Kalijaga pada 2009 ini. Secara konseptual, sertifikasi ISO tersebut menunjukkan bahwa mutu manajemen dan pendidikan korporasi institusi pendidikan yang menerimanya telah terjamin. Ini simulasi total. Senyatanya hal itu tak pernah ada. Kemayaan ini menunjukkan bagaimana ilutif dan metafisisnya lingkungan pasar bebas.

Rezim pasar bebas pada realitanya lebih dahsyat tingkat represifitasnya daripada rezim politik otoriter. Rezim pasar bebas seutuhnya metafisik; seolah-olah dibelakang semua ini kita bisa melihat polisi pasar (mark-pol) yang mengatur dan mensensor komoditas yang tak dikehendaki pasar, persis seperti thinkpol-nya George Orwell.

Begitu pula yang terjadi pada bisnis politik. Isu-isu politik dan langkah-langkah politik politisi atau program-programnya mengikuti imperatif rezim pasar bebas. Seluruh politisi, sebagaimana tampak belakangan ini, mengikuti kecenderungan pasar politik dengan menjual isu cicak vs buaya, centurygate, koin Prita, dan seterusnya dan seterusnya.

Ideologi para politisi yang tak sesuai dengan kondisi objektif pasar dikantongkan dulu. Suatu nanti, ketika [trend] pasar memerintahnya mengeluarkan, mengobral, dan menjual ideologi tersebut sebagai isu komoditas politik, maka ia akan menurutinya tanpa sadar dengan senang hat. Dan ajaibnya, menurut politisi pasar tersebut, penjualan ideologi tersebut wajar-wajar saja, alamiah, natural, memang sudah selayaknya begitu. Padahal sebaliknya: sama sekali tak alamiah, tapi by market design, rekonstruksi pasar, sabda pasar.

Kompetisi dalam rezim pasar bebas, jika terus kita telurusi, rupa-rupanya sekadar kompetisi simbolik, bukan kompetisi substansial. Dan simbolisasi kompetisi komoditas pada rezim pasar bebas inilah yang terus-menerus membentuk kesadaran masyarakat massa: kesadaran simbolisme, kesadaran semu, percaya pada ilusi, percaya pada kemayaan virtualitas.

Sesungguhnya kesadaran tipe ini amat dekat dengan kesadaran mistika: keprimitivan dalam kemodernan. Lingkungan pasar bebas merupakan kesejatian metafisis, sama sejatinya dengan metafisika ketuhanan.

Metafisika, bila sejarah salah-salah menafsirkannya, maka ia bisa jadi ideologi. Amat bahaya. Maka karena besifat metafisik-mistis, pasar bakal melahirkan dogmatismenya sendiri, dan akhirnya melahirkan nasionalisme bahkan chauvinisme atau primordialismenya sendiri.

Pasar bebas akan menjadi amat eksklusif dan tertutup. Ia tak mau lagi mengapresiasi dan berdialog dengan the others, bahkan alter egonya sendiri. Ketertutupan rezim pasar bebas ini bertolakbelakang dengan “doktrin” kompetisi pasar terbuka (free fight liberalism).

Pasar penuh dengan aturan-aturan, regulasi-regulasi yang tak terkonstitusikan baik secara tertulis maupun tak tertulis. Pasar pada akhirnya merupakan otoritas dan kekuasaan politik tersendiri berstatus ontologi metafisik.

Dalam khazanah pemikiran politik modern, pasar bisa kita samakan dengan negara. Hanya, negara bersifat fisik. Dan kesamaan antara pasar dan negara sebagai institusi otoritas politik (dan ekonomi) tersebut mendapatkan pembenarannya ketika belakangan ini para miliyarder dunia pemilik trans national corporation sepakat membentuk departemen keuangan dunia dan departemen kesehatan dunia. Mereka ingin memprokalmirkan sebuah negara dunia metafisik: rezim pasar bebas yang diktator (Global Justice Update).

Pasar, pada titik terakhir maka akan berperan sebagai tuhan yang mengatur segala-galanya, yang mahakuasa. Pasar adalah materialisasi tuhan, namun tetap mempertahankan keabstrakan dan kemetafisisannya. Kekuasaan terpusat pada pasar. Aih, dunia macam apa ini tuhan?

Dan kini kita terjajah secara absolut oleh pasar. Pasar mendehumanisasikan kita, membendakan seluruh sendi kehidupan.

Maka humanisasi dalam kediktatoran rezim pasar bebas sekarang ini berarti kemerdekaan dari pasar untuk menjadi manusia historis-aktif seutuhnya; gerakan literasi dan konsientisasi universal manusia dari rezim pasar bebas diktatorial. Sekarang, di sinilah makna gerakan dan strategi kebudayaan kita, revolusi pendidikan kita, teologi pembebasan kita: memerdekakan budaya dari pasar, memerdekakan pendidikan dari pasar, dan memerdekakan agama dari pasar; tak sekadar merdeka dari pasar tapi juga menaklukkan pasar; melakukan kerja inversi wacana dari market kuasa menjadi rakyat kuasa.

Musuh bersama kita sangat jelas sekarang kawan. Musuh bersama kita adalah pasar dan tidak lagi pemimpin-pemimpin diktator besar seperti Hitler, Stalin, Mussoloni, Soeharto, atau esbeye. Welcome neolib; monggo rezim pasar bebas diktatorial. Masuklah ke bahtera kami!

II
Maaf bila renungan ini tak beranjak dari teori-teori barat, sehingga renungan ini barangkali tak menarik buat Anda. Memang pekerja teori seperti Adorno, Erich Fromm, John Fiske, dan lain sebagainya telah mengemukakan situasi penjajahan market yang mana civil society tak bebas di dalamnya.

Kendati terdapat banyak kesamaan di sana-sini dengan teori mereka, namun sengaja saya tak menyelipkan pemikiran mereka di dalamnya (kecuali think-pol-nya Orwell sebagai pembanding). Sebab, saya masih yakin secara empirikal, barat dan timur berbeda. Teori barat semestinya kita tempatkan hanya sebagai pembanding atau referensi, teman ngobrol; bukan bos yang tahu segalanya, yang berhak memerintah seenak perutnya sendiri.

Mereka yang menganggap barat sebagai mercusuar teori, jiwanya belum merdeka. Sebaliknya, mereka yang terlalu mendewakan tradisi timur dan resisten terhadap pandangan barat, juga tak bisa kita tolerir.

The other perlu sejauh terdapat kondisi etika diskursif: sikap kesejajaran antara “aku” dengan “alter-aku” atau the other. Antara tradisi [timur] dengan teori barat sejajar. Karena sejajar, artinya tak ada siapa yang menguasai siapa dan tiada siapa menang-siapa kalah, maka sudah selayaknya keduanya saling berdialog, saling menginspirasi mengatasi resesi [peradaban] global yang mengkerangkeng kebebasan manusia merealisasikan dirinya. Ih, kayaknya kok ideal banget kali ya? Sementara sekian.

oleh widodo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar