Rabu, 17 Oktober 2012

MA akan Tes Urine Semua Hakim



JAKARTA-Barangkali bisa dimaklumi kenapa Mahkamah Agung (MA) membebaskan produsen narkoba dari hukuman mati. Sebab, ternyata, banyak sekali hakim yang mengonsumsi barang haram tersebut. Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap hakim Puji Widjayanto (48 tahun) yang bertugas di PN Bekasi karena membawa 15 butir ekstasi 0,4 gram sabu, alat penghisap sabu serta sedotan plastik mini bersama empat perempuan di sebuah kamar karaoke 331 di Illegal Hotel & Club di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta, pada Selasa (16/10) sore.
Mahkamah Agung (MA) menegaskan akan memberhentikan Puji secara tidak hormat dari jabatan hakimnya jika dalam persidangan terbukti memiliki narkoba.

’’Bila di sidang terbukti melakukan pidana, akan diusulkan ke Presiden untuk diberhentikan dengan tidak hormat. Tapi tunggu proses hukum dulu, yang pasti jika melanggar aturan, siapapun (hakim) harus diberi sanksi tegas,’’ kata Juru Bicara MA, Djoko Sarwoko, di gedung MA, kemarin (17/10).
Lebih lanjut, Djoko mengatakan, hakim Puji juga akan diberhentikan sementara jika BNN menaikkan statusnya sebagai tersangka.
’’Sekarang dia kan masih dalam pemeriksaan di BNN. Kalau sudah jadi tersangka, akan diberhentikan sementara, diskors, dan tidak dapat remunerasi,’’ tandasnya.
Ia menjelaskan, kiprah Puji hakim PN Bekasi belum terhitung lama. Sebelumnya, Puji bertugas sebagai hakim di Pengadilan Negeri Papua, Yogyakarta, dan Sabang. Pengalaman Puji menjadi hakim di berbagai daerah itulah yang membuat posisi dia di PN Bekasi tinggi. ’’Kedudukan dia di PN Bekasi sudah tinggi. Kini posisi Puji di PN Bekasi akan digantikan hakim lain,’’ kata Djoko.

Namun, moncernya karir yang dicapai Puji tampaknya tak sebanding dengan kelakuannya. Pasalnya, Puji tercatat sebagai hakim bermasalah. Menurut Djoko, Puji diketahui beberapa kali diberikan sanksi MA. Di antaranya, ia tidak disiplin saat bertugas di Pengadilan Negeri Sabang dan dimutasi ke Pengadilan Tinggi Jayapura. Di Jayapura, juga dikenakan hukuman karena kerap mangkir dari sidang pada 2007 lalu.
’’Kemudian, Puji diberi sanksi dengan diterbitkannya surat demosi atau penurunan jabatan dan dipindah ke Pengadilan Negeri Yogyakarta menjadi hakim nonpalu.
Selain itu, ia tidak diberikan hak remunerasi selama 6 bulan,’’ urainya.
Tetapi, karena kelakuan berangsur membaik, hakim Puji dimutasi ke Pengadilan Negeri Bekasi. Namun, di tempat tersebut hakim Puji kumat lagi. Badan Pengawas MA mendapati laporan Puji kerap mangkir di persidangan dan menggunakan obatan-obatan terlarang.
’’Karenanya, Puji kemudian diberikan sanksi kembali dengan dipindah ke Pengadilan Negeri Ternate. Nah, dalam proses pemindahan ke tempat baru yang diberikan waktu selama sebulan itu, ia ditangkap petugas BNN,’’ bebernya.

Untuk mencegah kasus pelanggaran kode etik hakim dengan mengonsumsi narkoba seperti Puji Wijayanto, MA juga berencana melakukan tes urine pada seluruh hakim. MA juga meminta kepada kepala Pengadilan untuk mengawasi hakimnya masing-masing.
Djoko menjelaskan, rencana tes urine pada seluruh hakim tersebut akan dilakukan dengan cara periodik.
’’Mungkin ke depannya, semua hakim akan dites urine. Saya akan usulkan untuk dilakukan tes urine 6 bulan sekali. Karena, tidak mungkin kita lakukan sebelum sidang, nanti ganggu kepentingan umum,’’ ungkap Djoko.
Djoko juga meminta agar semua hakim bertanggung jawab dan menjaga kode etik saat menjalankan profesinya. Termasuk ketua peradilan di tingkat provinsi dan kotamadya atau kabupaten untuk melakukan pengawasan kepada ’’anak buahnya’’.
’’Semua ketuanya harus tanggung jawab, membina dan mengawasi hakim di bawahnya. Ketua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi harus jadi pengawal terdepan,’’ tegasnya.

Secara terpisah, Komisioner Bidang Investiagsi dan Pengawasan Hakim Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, mengaku prihatin dengan kejadian yang semakin mencoreng harkat dan martabat penegak hukum itu. ’’Tragedi itu menjadi isyarat bahwa problem di dunia kehakiman bukan hanya menyangkut buruknya putusan hakim dalam penegakan hukum yang dikeluhkan masyarakat selama ini,’’ ujar Suparman.
Ia menjelaskan, penggunaan narkoba juga menjadi problem serius tersediri bagi penegakan hukum yang harus segera diselesaikan secara tegas dan tuntas. Pasalnya, sejauh ini sudah ada beberapa laporan terkait beberapa hakim yang menjadi pengguna barang itu, baik dari masyarakat, istri, maupun lawan selingkuhannya.

’’Selama kurun waktu 2011 - 2012, sudah ada sekitar 10 orang hakim yang dilaporkan ke kami, termasuk si Puji itu. Itu tidak hanya di Jawa, tapi juga di Luar Pulau Jawa. Kita belum bisa publikasikan karena masih dalam tahap penyelidikan,’’ urainya.
Terkait Puji, Suparman menegaskan, agar MA tegas dalam memberi sanksi para ’’anak buahnya’’ yang terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim dengan mengonsumsi barang-barang setan tersebut. ’’Tidak ada alasan MA untuk tidak memberikan sanksi kepada para hakim yang melanggar kode etik. MA tidak boleh terkesan melindungi dan merasa malu ketika hakim-hakimnya melanggar,’’ tutupnya. 
BNN juga menengarai bukan hanya Puji pengadil yang mengonsumsi ekstasi dan sabu.
’’Diduga masih ada hakim lain, yang terlibat kasus serupa,’’ kata Deputi Pemberantasan Narkoba BNN, Irjen Benny Mamoto, dalam jumpa pers di Hotel Santika, TMII, Jaktim, kemarin. (ris)

Selasa, 16 Oktober 2012

HENTIKAN LIBERALISASI, WUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN


“Sejarah Belum Berubah” demikianlah yang perlu kita amini dan kita akui secara bersama – sama bahwa rakyat kita masih tertindas.
Bentuk dan pengisapan yang terjadi di persada’nusantara selama berabad – abad, itu merupakan suatu hal yang tidak asing bagi rakyat indonesia. Mulai dengan masuknya Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang pernah menguasai bumi pertiwi. Termasuk kaum pribumi, tanah, air dan udara yang merupakan kekayaan bangsa indonesia yang ini yang ini telah dirasakan kurang lebih 3,5 abad.
Penindasan yang terjadi merupakan sebuah cacatan sejarah yang kelam yang sulit dihapus  dari memori setiap rakyat Indonesia. Sejarah kelam bangsa Indonesia  dimasa lampau hingga kini masih dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Penindasan yang dilakukan oleh penjajah dimasa lampau kini telah berubah bentuk, yang dulunya penindasan dilakukan cara penyiksaan fisik terhadap kaum terhadap kaum ibu pertiwi kini penindasan yang lebih halus akan tetapi akibat terjadi lebih besar dari pada bentuk penindasan sebelumnya. Penindasan yang dilakukan bisa berupa kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh coorporasi – coorporasi internasional, maupun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bangsa Indonesia sendiri yang ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia ssat ini masih menjadi target bidikan dari sistem yang diciptakan oleh negara - negara besar, di tambah dengan penciptaan sistem liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan perjanjian Internasional General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1994, setelah 1995, GATT berubah menjadi World Trade Organization (WTO).
Bila GATT hanya menggantung perdagangan dagang saja, maka peraturan WTO meliputi tiga bidang, yaitu perdangangan barang (termasuk pertanian), perdagangan jasa, dan hak  cipta terkait perdagangan.
Dalam hal ini hampir seluruh perekonomian indonesia diatur dan dikuasai dengan sistem yang terbangun atas kesepakatan tersebut, itu menjadi semakin terpuruknya perekonomian nasional bangsa Indonesia. Terlebih dalam hal pangan, bahwa hingga hari ini masih ribuan rakyat Indonesia yang kelaparan dan gizi buruk. Jika kita tinjau lebih jauh lagi, bukan karena bangsa Indonesia tidak memiliki persediaan bahan pangan yang cukup akan tetapi hal itu terjadi karena permainan ekonomi oknum – oknum dan elit - elit yang dibuat dalam kebijakan-kebijakan. Melihat dari letak Indonesia bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang seharusnya Indonesia memiliki potensi - potensi dalam mengembangkan industri pangan, akan tetapi hal ini tidak akan terjadi bahkan yang terjadi di Indonesia saat ini mengimport bahan pangan dari luar negeri untuk mencukupi persediaan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia, hal ini merupakan masalah besar yang seharusnya kita sebagai masyarakat Indonesia mempertanyakan masalah tersebut yang dimana bangsa Indonesia bangsa yang kaya akan hasil alamnya akan tetapi masih bergantung akan negara-negara lain, dan ini menyatakan bahwa kita bangsa Indonesia tidak berdaulat di bangsa sendiri.

Penindasan yang terjadi di sektor pangan merupakan kegagalan yang telah diciptakan oleh pemerintah itu sendiri, negara dalam artian pemerintah di negeri ini, yang seharusnya mengabdikan diri dalam hal melayani masyarakat Indonesia malah menjadi budak atau kaki tangan dari pihak asing. Derngan di berlakukannya sekian Undang - Undang dan perjanjian oleh pemerintah. Pembuatan Undang - Undang tanpa melihat tiga hal penting berlakunya undang - undang yaitu, dari sisi yuridis, filosofis, dan sosiologis.
Undang - Undang yang diciptakan saat ini menjadi sebuah pertanyaan besar ??, UU penanaman modal asing, UU pokok agraria, dan UU prifatisasi tanah, dan yang terakhir UU pengadaan tanah untuk umum, apakah dari sekian Undang - Undang yang diciptakan dari pemerintah merupakan kebutuhan rakyat Indonesia?? Ataukah sama sekali tidak ?? .Jawaban atas pertanyaan di atas adalah bahwa Undang - Undang yang dibuat mulai dari masa pemerintah Soeharto yakni Undang - Undang penanaman modal asing, hingga pada Undang - Undang pengadaan tanah untuk umum yang paling terakhir ini adalah merupakan konspirasi, atas penyimpangan negara dengan pihak asing, guna memperjelas bahwa pemerintahan Indonesia merupakan para hamba dari pihak asing, dan bukan wakil rakyat yang seyogyanya, maka yang akan terjadi di negeri ini bukannya nasionalisasi aset, namun yang akan terjadi adalah liberalisasi pangan yang lebih dahsyat. Dan akan eksploitasi alam secara besar - besaran di negeri ini termasuk pada sektoral pangan di Indonesia. Dan akan berdampak negatif, bertambahnya angka kematian dikarenakan tidak makan, serta mengalami gizi buruk. Maka dari pada itu, Kami Menyerukan kepada semesta rakyat indonesia, seluruh petani Indonesia, bahwa sudah saatnya kita mengkonsolidasi diri, pikiran, dan seluruh kekuatan kita dari derasnya dan pesatnya liberalisme global guna membantu terwujudnya bangsa atas sekian penindasan, dan pengisapan di sektoral pangan. Maka selaku bangsa yang berdaulat atas pangan di Indonesia kami menuntut :
1.      Wujudkan kedaulatan pangan
2.      Hapus Undang - Undang yang berkaitan dengan penindasan di sektoral pangan
3.      Stop liberalisasi pangan
4.      Kembalikan tanah rakyat
5.      Nasionalisasi aset termasuk pada sektoral pangan


Senin, 15 Oktober 2012

Negara Menggurita









Akhirnya..

Akhirnya semakin jelas dan nyata arah negara antah berantah itu...
Setelah beraksi dengan pembentukan kartel beberapa waktu lalu, kini gurita itu semakin menggurita..

gurita yang menggurita di dalam negara kartel..
presidennya boneka asing, wakilnya neolib dan akhirnya terpilih menteri baru penggila pasar bebas..
Siap2 jadi negara kacung..kampret..!

sang gurita makin menggurita dg mengangkat sepupu dari sang nyonya jadi menkeu
dan dosen pembimbing desertasi jadi wamenkeu..
ada dan nyata di negara kartel..

kalo cuma ngerti pasar dan pelaku pasar kenapa gak simbok2 yang jualan bumbon dan sayur mayur saja yang diangkat..
kalo perlu angkat semua rok dan jarik simbok2 itu biar makin ramai pasar bebas itu..
Dan siapa tahu ada "bumbu2" yang jatuh dari dalam rok dan jarik yang diangkat itu yang bisa menambah aroma bumbu yang dijualnya..

Kita negara sebagai pemilik pasar atau negara yang hanya sebagai pelaku pasar?
Pasar sekunder itu bias...
Indikator makro tidak sepenuhnya bisa dipercaya.
Bagaimana PDB meningkat tajam sementara rakyatnya tambah miskin..?
Saya selalu suka kata2 pak JK, meskipun saya bukan pengagum beliau, "pasar saham boleh runtuh, asal bukan pasar tanah abang"

Bagaimana dengan nasib rakyat jika hanya kepentingan pebisnis saja yang diurus..?
Dan tetap dengan utang dan utang pedomannya..mengerikan..!

Ketika "si dia" berkuasa (2004), total utang Pemerintah (TUP) Rp 1.299 triliun.
Sekarang 2010 (asumsi:18 bulan "si dia" berkuasa) TUP Rp 1.800 triliun.
Jadi, ada penambahan TUP sebesar Rp 501.000.000.000.000
Berarti tiap bulan TUP bertambah Rp 27.833.333.333.333.
Berarti tiap hari TUP bertambah Rp 927.777.777.778
Berarti tiap jam TUP bertambah 38.657.407.407
Berarti tiap menit TUP bertambah 644.290.123
Berarti tiap detik TUP bertambah 10.738.169

Catatan:
-Itupun belum termasuk Total Utang Swasta (TUS).
-Indonesia memang sanggup mengangsur pokok utang dan bunga sebesar Rp 240 triliun pertahun
-Masalahnya,setelah mengangsur, bikin utang baru lagi yang jumlahnya lebih besar daripada angsuran.
-Ketika "si dia" berkuasa (2004), tiap warganegara dibebani utang Rp 5 juta
-Sekarang (Mei 2010) tiap warganegara dibebani utang Rp 7 juta
-Jika total utang swasta (TUS) dihtung, maka sekarang ini tiap warganegara dibebani utang Rp 11,5 juta.

Modar! kata Hariyanto Imadha teman saya

kok jadi ngelantur kemana mana ya...
jadi, Selamat datang negara kartel yang menggurita..!

salam

welcome neolib, monggo pasar bebas

14-15 desember 2009

I
Kondisi paska-modernitas—atau bolehlah kita sebut juga dengan rezim pasar bebas—mengarahkan manusia pada kompetisi-kompestisi ilutif, baik pada tingkatan material maupun metameterial. Individu-individu di dalamnya tidak sama sekali berkompetisi sebenarnya. Sebab, syarat kompetisi adalah kondisi perbedaan, setidaknya dalam kompetisi terdapat dua eksistensi yang berbeda.

Namun nyatanya rezim pasar bebas bukan memproduksi berupa-ruba perbedaan. Sebaliknya, ia justru memproduksi homogenitas produk, dari komoditas material hingga komoditas jasa bahkan konseptual dan virtual. Artinya, mode sekaligus orientasi produksi pasar bebas tak lain kecuali “reproduksi” semata.

Misalnya saja jasa pendidikan—yang insitusinya karena “kebijaksanaan” pasar bebas telah terkorporasikan—menjual jurusan kebutuhan konsumen yang laku di pasar pendidikan, yang bersesuaian dengan trend pasar. Jurusan-jurusan itu berorientasi pekerjaan praktis dan pragmatis. Teknik informatika, kedokteran, teknik industri, psikologi industri contohnya.

Melihat sebuah universitas yang di dalamnya terdapat tiga jurusan itu ternyata meraih kesuksesan dan keuntungan tak terkira (kendati sekadar iklan sloganistik), kemudian berduyun-duyunlah universitas-universitas lainnya membuka jurusan-jurusan macam itu. Inilah reproduksi: upaya penjiplakan buta secara kolosal berdasar prinsip keuntungan. Atau ngenesnya berdasar prinsip hanya sekadar berjuang demi hidup, demi eksistensi (survival of the fittest) dalam pasar pendidikan.

Inilah budaya massa; kediktatoran pasar bebas. Semua universitas pada akhirnya sama saja jurusannya. Yang membedakan hanya tampilannya, simbolnya, formatnya, kemasannya, bungkusnya. Pluralisme bukan dalam isi, tapi dalam bentuk: rasionalitas formal kantian.

Kepraktisan dan pragmatisme konsumen ini dipengaruhi pula oleh logika tempo pendek dan logika berpikir dangkal yang terimpor ke indonesia dari pusat-pusat industri maju. Inilah instanitas, logika sarwa cepat yang menghindari resiko dan kerugian setipis mungkin, sambil berspekulasi “tentang” keuntungan setebal mungkin, logika bisnis yang secara natural dan tanpa sadar merasuk hingga level terdalam kesadaran manusia modern; dengan kata lain sebuah hegemoni atau kekerasan simbolik rezim pasar bebas.

Di pinggiran sana, nasib jurusan-jurasan lama pun tak terurus. Bisa terurus bila saja ia mau menerima imperatif rezim pasar bebas. Atau akan diurus bila pada jurusan-jurusa lama terlihat sesuatu yang dapat mendongkrak rating dan citra sebuah korporasi institusi pendidikan.

Keunikan tertelan homogenitas pasar. Tradisi runtuh. Identitas raib. Keunggulan komparatif sebuah korporasi institusi pendidikan, yang seharusnya jadi daya tawarnya dalam kompetisi pasar pendidikan yang secara teoritis meminta variasi jurusan, justru lenyap. Individualitas sangat-sangat tak direkognisi dalam rezim pasar bebas.

Dalam kondisi pasif tersebut, sebuah korporasi institusi pendidikan hanya bisa melakukan pencitraan, pengiklanan, simulasi, membentuk realitas baru. Tapi pada kenyataannya realitas bentukan tersebut tak pernah ada. Contohnya sertifikasi iso UIN Sunan Kalijaga pada 2009 ini. Secara konseptual, sertifikasi ISO tersebut menunjukkan bahwa mutu manajemen dan pendidikan korporasi institusi pendidikan yang menerimanya telah terjamin. Ini simulasi total. Senyatanya hal itu tak pernah ada. Kemayaan ini menunjukkan bagaimana ilutif dan metafisisnya lingkungan pasar bebas.

Rezim pasar bebas pada realitanya lebih dahsyat tingkat represifitasnya daripada rezim politik otoriter. Rezim pasar bebas seutuhnya metafisik; seolah-olah dibelakang semua ini kita bisa melihat polisi pasar (mark-pol) yang mengatur dan mensensor komoditas yang tak dikehendaki pasar, persis seperti thinkpol-nya George Orwell.

Begitu pula yang terjadi pada bisnis politik. Isu-isu politik dan langkah-langkah politik politisi atau program-programnya mengikuti imperatif rezim pasar bebas. Seluruh politisi, sebagaimana tampak belakangan ini, mengikuti kecenderungan pasar politik dengan menjual isu cicak vs buaya, centurygate, koin Prita, dan seterusnya dan seterusnya.

Ideologi para politisi yang tak sesuai dengan kondisi objektif pasar dikantongkan dulu. Suatu nanti, ketika [trend] pasar memerintahnya mengeluarkan, mengobral, dan menjual ideologi tersebut sebagai isu komoditas politik, maka ia akan menurutinya tanpa sadar dengan senang hat. Dan ajaibnya, menurut politisi pasar tersebut, penjualan ideologi tersebut wajar-wajar saja, alamiah, natural, memang sudah selayaknya begitu. Padahal sebaliknya: sama sekali tak alamiah, tapi by market design, rekonstruksi pasar, sabda pasar.

Kompetisi dalam rezim pasar bebas, jika terus kita telurusi, rupa-rupanya sekadar kompetisi simbolik, bukan kompetisi substansial. Dan simbolisasi kompetisi komoditas pada rezim pasar bebas inilah yang terus-menerus membentuk kesadaran masyarakat massa: kesadaran simbolisme, kesadaran semu, percaya pada ilusi, percaya pada kemayaan virtualitas.

Sesungguhnya kesadaran tipe ini amat dekat dengan kesadaran mistika: keprimitivan dalam kemodernan. Lingkungan pasar bebas merupakan kesejatian metafisis, sama sejatinya dengan metafisika ketuhanan.

Metafisika, bila sejarah salah-salah menafsirkannya, maka ia bisa jadi ideologi. Amat bahaya. Maka karena besifat metafisik-mistis, pasar bakal melahirkan dogmatismenya sendiri, dan akhirnya melahirkan nasionalisme bahkan chauvinisme atau primordialismenya sendiri.

Pasar bebas akan menjadi amat eksklusif dan tertutup. Ia tak mau lagi mengapresiasi dan berdialog dengan the others, bahkan alter egonya sendiri. Ketertutupan rezim pasar bebas ini bertolakbelakang dengan “doktrin” kompetisi pasar terbuka (free fight liberalism).

Pasar penuh dengan aturan-aturan, regulasi-regulasi yang tak terkonstitusikan baik secara tertulis maupun tak tertulis. Pasar pada akhirnya merupakan otoritas dan kekuasaan politik tersendiri berstatus ontologi metafisik.

Dalam khazanah pemikiran politik modern, pasar bisa kita samakan dengan negara. Hanya, negara bersifat fisik. Dan kesamaan antara pasar dan negara sebagai institusi otoritas politik (dan ekonomi) tersebut mendapatkan pembenarannya ketika belakangan ini para miliyarder dunia pemilik trans national corporation sepakat membentuk departemen keuangan dunia dan departemen kesehatan dunia. Mereka ingin memprokalmirkan sebuah negara dunia metafisik: rezim pasar bebas yang diktator (Global Justice Update).

Pasar, pada titik terakhir maka akan berperan sebagai tuhan yang mengatur segala-galanya, yang mahakuasa. Pasar adalah materialisasi tuhan, namun tetap mempertahankan keabstrakan dan kemetafisisannya. Kekuasaan terpusat pada pasar. Aih, dunia macam apa ini tuhan?

Dan kini kita terjajah secara absolut oleh pasar. Pasar mendehumanisasikan kita, membendakan seluruh sendi kehidupan.

Maka humanisasi dalam kediktatoran rezim pasar bebas sekarang ini berarti kemerdekaan dari pasar untuk menjadi manusia historis-aktif seutuhnya; gerakan literasi dan konsientisasi universal manusia dari rezim pasar bebas diktatorial. Sekarang, di sinilah makna gerakan dan strategi kebudayaan kita, revolusi pendidikan kita, teologi pembebasan kita: memerdekakan budaya dari pasar, memerdekakan pendidikan dari pasar, dan memerdekakan agama dari pasar; tak sekadar merdeka dari pasar tapi juga menaklukkan pasar; melakukan kerja inversi wacana dari market kuasa menjadi rakyat kuasa.

Musuh bersama kita sangat jelas sekarang kawan. Musuh bersama kita adalah pasar dan tidak lagi pemimpin-pemimpin diktator besar seperti Hitler, Stalin, Mussoloni, Soeharto, atau esbeye. Welcome neolib; monggo rezim pasar bebas diktatorial. Masuklah ke bahtera kami!

II
Maaf bila renungan ini tak beranjak dari teori-teori barat, sehingga renungan ini barangkali tak menarik buat Anda. Memang pekerja teori seperti Adorno, Erich Fromm, John Fiske, dan lain sebagainya telah mengemukakan situasi penjajahan market yang mana civil society tak bebas di dalamnya.

Kendati terdapat banyak kesamaan di sana-sini dengan teori mereka, namun sengaja saya tak menyelipkan pemikiran mereka di dalamnya (kecuali think-pol-nya Orwell sebagai pembanding). Sebab, saya masih yakin secara empirikal, barat dan timur berbeda. Teori barat semestinya kita tempatkan hanya sebagai pembanding atau referensi, teman ngobrol; bukan bos yang tahu segalanya, yang berhak memerintah seenak perutnya sendiri.

Mereka yang menganggap barat sebagai mercusuar teori, jiwanya belum merdeka. Sebaliknya, mereka yang terlalu mendewakan tradisi timur dan resisten terhadap pandangan barat, juga tak bisa kita tolerir.

The other perlu sejauh terdapat kondisi etika diskursif: sikap kesejajaran antara “aku” dengan “alter-aku” atau the other. Antara tradisi [timur] dengan teori barat sejajar. Karena sejajar, artinya tak ada siapa yang menguasai siapa dan tiada siapa menang-siapa kalah, maka sudah selayaknya keduanya saling berdialog, saling menginspirasi mengatasi resesi [peradaban] global yang mengkerangkeng kebebasan manusia merealisasikan dirinya. Ih, kayaknya kok ideal banget kali ya? Sementara sekian.

oleh widodo

Materialisme Dialektika Historis

Materialisme Dialektika Historis

Perkenalkan !!! MDH (Materialisme • Dialektika • Historis) Senjata Filsafat Milik Kelas Tertindas PEMIKIRAN INI BUKAN UNTUK HIASAN SALON INTELEKTUAL SEMATA. NAMUN UNTUK DIPAHAMI DAN DI-PRAXIS-KAN UNTUK KALANGAN LUAS RAKYAT TERTINDAS! Semacam Prolog Kepada kawan-kawan yang budiman, Draft pemikiran di tangan Anda berjudul “Perkenalkan, MDH (Materialisme-Dialektika-Historis) Senjata Filsafat Milik Kelas Tertindas” ini menjadi kebutuhan pokok untuk memperkokoh fundasi ideologi perjuangan kita. Kenapa bahan ini semacam ‘sembako Perjuangan’, sebab ia membahas persoalan filsafat sebagai peralatan untuk berpikir radikal, komprehensif dan progresif yang memandu kita di setiap langkah perjuangan. Penggunaan filsafat berpikir ini akan sangat menentukan cara pandang kita agar terhindar dari pemikiran yang spekulatif dan avonturistik. Cara pandang dalam filsafat ini adalah pisau tajam pengelupas alam pikir klenik (magis-mistis); cara berpikir yang banyak dipakai oleh kaum feodal di Abad Tengah yang penuh kegelapan itu. Tujuan penggunaan filsafat ini adalah pencerahan akal budi dan nurani kita untuk mempersenjatai diri melawan paham-paham milik kaum penghisap-penindas. Saya menamakan ini draft pemikiran sebab pembahasan ini masih banyak kelemahan. Hal yang harus senantiasa diperbaharui khususnya adalah tafsir filsafat Marxist atas kondisi kontemporer yang terus bergerak dan berkembang. Bila tidak ditempa dalam konteks zamannya, ia menjadi dogma yang menjemukan. Maka dari itu masukan berupa kritik dan saran sangat dinanti untuk memperkokoh pemahaman kita. Akhir kata, bahan ini semoga bermanfaat bagi kita semua, kawan-kawan yang tak peduli dalam suka atau lara, ramai atau sepi, malam atau siang, 24 jam! senantiasa dalam agenda revolusi kelas internasional untuk terciptanya keadilan sejati bagi landasan hidup kemanusiaan semesta. sampai menang! Jogjakarta, Oktober 1999 Tjakra I Apakah Gerangan Filsafat? “Semua orang punya akal budi dan berpikir, namun tidak semua orang filosof” Orang banyak kerap berpendapat bahwa filsafat itu bukan ilmu sembarangan karena terkesan rumit, abstrak, mengawang-awang, tidak praktis dan tidak merakyat. Kerap juga orang dalam masyarakat kita menyebut filsafat itu lebih dekat pada klenik, atau berfilsafat sama dengan pekerjaan paranormal yang tukang meramal segala peristiwa yang akan terjadi. Itulah pendapat awam. Padahal tidak demikian. Mari kita bersihkan ‘filsafat’ dari debu-debu pengertian yang secara tidak sesuai telah mengotorinya. Selanjutnya mari kita memaknainya secara bersih dan benar; baik dari latar belakang sejarahnya, arti kata maupun pengertian dalam operasionalisasi kegiatannya. Filsafat senantiasa hidup dalam pikiran setiap manusia dalam kegiatan keseharian masyarakat. Tidak ada seorang pun yang lepas dari filsafat kecuali orang-orang yang tak berakal atau tidak menggunakan akalnya. Melacak akar kelahiran filsafat, ia tumbuh bersemi pada tahun-tahun 600-an Sebelum Masehi (SM) di negeri Yunani Kuno. Jauh hari sebelum pertumbuhannya, masyarakat Yunani Kuno merupakan masyarakat yang masih mempercayai takhayul dalam bentuk dongeng atau mitologi. Segala bentuk dongeng diterima begitu saja sebagai kebenaran yang tak perlu dibuktikan lagi. Mitos waktu itu telah menjadi semacam iman masyarakat. Bagaimana mitos diciptakan? Realitas ini bisa dijabarkan sebagai berikut: Mitologi yang lazim dalam bentuk dongeng atau cerita-cerita merupakan cerita yang direka-reka dari fantasi atau imajinasi manusia. Dongeng ini biasanya berjalan secara tradisional, dilanggengkan secara lisan dan turun-temurun antar generasi. Masih ingatkah kawan ketika Anda masih bocah, di saat malam menjelang bobok Emak kita mendongeng tentang si Kancil, ular Baru Klinting, hikayat Sangkuriang, dsb. Itulah mitologi atau takhayul. Demikian juga yang terjadi di Yunani. Emak-emak orang Yunani Kuno juga gemar mendongeng kepada anak-cucunya tentang berbagai hikayat seperti Herakles, Oedipus, Pelayaran kaum Argonaut, pengembaraan Odysseus, peperangan Troya, juga cerita tentang dewa-dewi dari langit. Walaupun sistem mitologi Yunani Kuno paling komplit dan sistematis dibanding masyarakat lainnya, namun yang namanya mitologi di mana saja tetap sebuah hikayat penuh fantasi sebagai cara pandang suatu masyarakat terhadap dunia dan alam semestanya. Daya cipta masyarakat Yunani Kuno dalam menciptakan mitologi tak lepas dari kondisi objektif manusia itu sendiri. Mereka memuja langit dengan segala tanda-tandanya, memuja matahari yang memancarkan cahaya dan menimbulkan panas yang memberi hidup, memuja laut juga gunung-gunung dan bentuk kekuatan alam lainnya. Lama-lama mereka menciptakan bentuk-bentuk seperti manusia kepada benda-benda yang dipujanya dilengkapi sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia dengan kekuatan dan kelemahannya. Keburukan, malapetaka, kebencian, dendam, keadilan, cinta-kasih dan kebajikan ditempelkan pada benda-benda dan dewa-dewi. Hal ini berarti, fantasi manusia dalam penciptaan mitologi dibentuk dan ditentukan oleh alam sekitar dan segala fenomena yang menyertainya. Sampai pada suatu waktu sekitar 600 tahun SM, sebagian kecil masyarakat Yunani Kuno mulai bosan dan tak puas dengan dongeng-dongeng dalam mitologi tersebut. Maka mulailah mereka mencari bukan dengan fantasi melainkan akal pikiran (logos). Pada titik inilah dimulainya masa baru dalam pemikiran manusia yakni pemikiran filsafat. Filsafat itu gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani: philo (kebenaran) dan sofia (cinta). Filsafat dengan demikian mempunyai arti: cinta pada kebenaran atau kebijaksanaan. Kebenaran apakah yang pantas dicintai? Kebenaran yang senantiasa dicari dengan akal budi manusia yang mandiri sampai menemukan hakekat kebenaran yang sejati. Orang-orang yang punya akal waras dan sibuk berpikir dalam upaya mencari kebenaran yang sejati itulah yang disebut dengan ‘filosof’ atau ‘pencari kebenaran’. Seorang yang mencari ada apa di balik tabir rahasia yang terhampar di alam semesta, rahasia di balik tatanan hidup masyarakat, alam pikiran manusia dan persoalan-persoalan hakekat lainnya. Kenapa kebenaran harus dicari? Sebab kebenaran itu tak ter-beri secara gratis begitu saja, atau sesuatu yang sudah tersedia di hamparan alam semesta sehingga tinggal petik seperti kita memetik buah pepaya dari pohonnya. Dengan demikian, berfilsafat adalah bentuk kegiatan yang menggunakan akal sebagai perkakas untuk mencari dan menguji suatu kebenaran sampai ke akar-akarnya (radikal), menyeluruh (komprehensif) dan mendalam. Bersama logos inilah yang membedakan diri antara kegiatan berfilsafat dan kegiatan bertakhayul (mitos). Kenapa kita musti berfilsafat? Toh filsafat tidak bisa bikin perut kita kenyang? Toh orang yang tidak berfilsafat atau menganut sistem filsafat tertentu juga bisa hidup? Lantas apa perlunya filsafat? Barang siapa yang tidak memiliki sistem filsafat tertentu bukannya tidak bisa hidup, mereka memang bisa hidup, namun pertanyaannya adalah hidup yang bagaimana? Seorang kawan menjawab pertanyaan ini dengan penjabaran; orang tersebut memang benar bisa hidup, namun hidup yang senantiasa terombang-ambing oleh keadaan, berjalan dengan meraba-raba kekaburan karena tidak punya tongkat yang kokoh sebagai penuntun jalannya. Dengan demikian, dalam hidupnya kita pastikan Ia akan masuk dalam pengaruh sistem atau paham tertentu. Mereka akan seringkali berujar penuh kepasrahan; “bahwa kesengsaraan dan kemiskinan itu sudah takdir dari Yang Maha Kuasa, sebagai mahluk lemah kita hanya bisa pasrah”. Ini juga satu pilihan seseorang walaupun jatuh dalam kubangan filsafat mistik. Atau kalau tidak demikian, ia akan bersepakat tanpa pikir panjang terhadap suatu sistem/paham yang tengah menguasai alam pikiran mayoritas masyarakat. Ia tidak pernah tahu apakah paham itu benar dan mengandung keadilan atau penuh manipulasi sehingga potensial melahirkan kesadaran palsu dalam diri manusia. Untuk menyingkap kesadaran palsu, membongkar dan menyerang penipuan yang berkedok di balik paham/ideologi, serta membangun paham pembebasan; inilah guna kita belajar filsafat. Belajar filsafat dalam konteks ini adalah bukan filsafat untuk filsafat atau abstraksi untuk abstraksi yang tidak merubah kenyataan, namun filsafat untuk praksis yang merubah tatanan dunia yang brengsek ini. Selanjutnya akan menuntun jalan perjuangan kita dengan penuh iman yang kokoh. Pengertian iman di sini tentu pada iman perubahan yang musti rasional dan objektif. Sebab perubahan tatanan sosial tidak akan berubah dengan hanya pasrah, do’a dan zikir. Bahkan Tuhan sendiri pun bersabda; bahwa Ia tidak akan merubah suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak merubahnya. Dengan demikian, gayung bersambut dari pengertian di atas adalah; kaum kere-proletariat se-jagat tidak akan berubah kalau mereka hanya diam dan pasrah pada majikan yang menindasnya. Perubahan akan terjadi ketika mereka bangkit dengan membangun kekuatan dari diri sendiri dan melakukan perlawanan terhadap kelas majikan. Inilah titik tolak kita bersama untuk membangun filsafat pembebasan disusul program-program kongkret perjuangan menuju keadilan sejati. II Sebuah Pengantar Kondisi Filsafat Sebelum Marxisme 1. Hegel (1768-1843)dan Hegelianisme: Puncak Idealisme Syahdan di lorong waktu sejarah, pada suatu masa di peralihan abad ke-18 menuju ke-19, dalam perjalanan pemikiran filsafat yang sambung-menyambung, tersebutlah sebuah perwujudan ideologi burjuasi yang termuat dalam madzab Filsafat Klassik Jerman. Sebagai ideologi ia tumbuh bersama membayang-bayangi kapitalisme Jerman yang rada terbelakang dan feodalisme yang masih berdiri kokoh. Puncak dari Filsafat Klassik Jerman ini adalah Hegelianisme, filsafat yang berporos pada pemikiran seorang tokoh bernama Georg Wilhelm Friedrich Hegel, (1770 -1831). Kejayaan Hegelianisme berarti juga puncak keagungan filsafat idealisme. Hegel semula belajar teologi dan filsafat bersama Schelling. Selama beberapa tahun ia bekerja sebagai dosen pribadi, tetapi berkat warisan ia bisa meneruskan studi di Jena, tempat ia menjadi dosen filsafat di kemudian hari. Sewaktu kota Jena diduduki Napoleon (1806), Hegel minggat ke Nurnberg, di sana ia menjadi rektor Gymnasium. Tahun 1817 ia diundang menjadi guru besar di Heildenberg, selanjutnya ke Berlin. Di Berlin inilah karir Hegel menemui puncaknya. Tokoh besar yang oleh para mahasiswa di Berlin dijuluki “professor professorum”, atau biangnya profesor. Latar sosio-politik yang melingkupi kehidupan Hegel adalah dimulainya suatu “zaman bergerak” di hampir semua negara Eropa. Wilayah paling membara adalah Perancis. Revolusi Perancis membara di sepanjang bulan Mei 1789 sampai 1799. Rerakan revolusi Perancis sendiri sebenarnya pecah pada tanggal 14 Juni 1789 dengan diserbunya penjara Bastille oleh rakyat yang telah muak dengan kekuasaan kaum feodal. Wilayah Jerman juga terimbas revolusi rakyat Perancis tersebut, terutama dalam hal format pemerintahan feodal. Namun semenjak naiknya Napoleon Bonaparte (1799-terhitung semenjak dibubarkannya Directorie kaum burjuis) diganti dengan Consulate yang dikuasai sepenuhnya Napoleon Bonaparte; seorang diktatur militer yang mampu menstabilkan pergolakan politik rakyat di Perancis,yang menjadi arus balik kemerosotan revolusi Perancis. Pada tahun 1806, Politik luar negeri Prusia memutuskan perang berkoalisi dengan Inggris dan Rusia untuk melawan Napoleon dari Perancis. Dalam Perang Koalisi IV ini Prusia-lah yang dihantam habis-habisan oleh Napoleon dalam pertempuran di Jena dan Auerstadt (1806). Berlin diduduki Napoleon dan seluruh Prusia menyerah. Ketika menduduki Berlin ini ia mengumumkan Sistem Continental: suatu blokade ekonomi-politik terhadap Inggris. Di Jerman pada tahun 1815 Kongres Wina lahir, Jerman ditetapkan bukan sebagai negara persatuan lagi, tapi negara konfederasi dari 38 negara-negara kecil. Bentuk konfederasi ini konon upaya pecah-belah dari Austria yang tidak mau mempunyai tetangga negara yang bersatu dan kuat. Namun hasrat rakyat Jerman adalah negara kesatuan, yang mau tidak mau harus menghadapi Austria sebagai lawan. Pada tahun-tahun itu mahasiswa bergerak dalam Burschenschaft menuntut pemerintahan yang demokratis dan kesatuan Jerman. Namun gerakan tersebut mampu ditindas oleh pemerintah Austria yang melarang Burschenchaft dan mengawasi kampus-kampus dengan ketat. Di Prusia (Berlin), sekitar tahun 1840-an, rakyat bergerak menuntut raja Friedrich Wilhelm IV melakukan perubahan pemerintahan secara demokratis dan liberal. Wilhelm pun tunduk. Kaum liberal membuat UUD yang liberal pula, namun Wilhelm menolak UUD versi kaum liberal tersebut, yang berakhir kompromi dengan tawaran versi Wilhelm yang juga punya aroma liberal. Namun perubahan ini hanya siasat politik Wilhelm, karena kemudian ia menghajar kaum liberal dengan kekuatan tentara dan akhirnya pemerintahannya bersifat reaksioner kembali. Dengan demikian gerakan liberal di Prusia gagal. Dalam zaman bergerak itulah, Filsafat Klassik Jerman mewarnai masyarakat Jerman. Sebagai ideologi ia tumbuh bersama membayang-bayangi perkembangan kapitalisme Jerman yang rada terbelakang dan feodalisme Frierick Wilhelm III dan IV yang masih berdiri kokoh. Mengapa Filsafat Klassik Jerman dikatakan sebagai ekspresi ideologi burjuasi? Frederick Engels, sohib terkarib Marx, mempunyai argumen dalam buku Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klassik Jerman; betapa orang-orang pintar Jerman adalah mereka barisan para professor, dosen, mahasiswa yang karena kepintarannya mereka diangkat oleh negara. Pemikiran dan tulisan mereka dipakai sebagai buku pelajaran di sekolah-sekolah, bahkan Hegelianisme pada taraf tertentu dilantik dalam barisan filsafat resmi negara kerajaan Prusia! Suatu yang bisa kita bayangkan, apakah mungkin di belakang para professor itu, di balik kata-kata mereka yang abstrak, samar, sok-pengetahuan, dan deretan kalimat mereka yang boyak dan menjemukan itu, tersembunyi hasrat dan gelora api revolusi? Sebagai contoh pengetarapan idealisme Hegel, tidak ada dalil filsafat yang menimbulkan rasa terima kasih dari pemerintah feodal (monarkhi Friedrick Wilhelm III) dan menerbitkan kemarahan kaum liberal waktu itu, selain pernyataan Hegel yang terkenal, “segala sesuatu yang riil adalah rasional dan segala sesuatu yang rasional adalah riil”. Pernyataan ini adalah pernyataan reaksioner, karena telah memperkuat sendi-sendi pemerintahan negara-kerajaan Prusia. Dalam arti lain, Hegel telah mengirimkan do’a restu filsafat dan melimpahkan pada kekuasaan despotisme. Mengapa demikian, marilah kita membongkar pernyataan Hegel ini. Dari proposisi Hegel di atas bermakna bahwa dalam proses perkembangannya realitas yang terbukti adalah suatu keharusan, rasional dan nyata. Pernyataan ini jelas mengandung pembenaran terhadap segala sesuatu yang nyata dan ada, yakni segala kebijakan politik-ekonomi despotisme Monarkhi Prusia. Sebagai contoh, pungutan pajak yang tinggi, badan sensor, mahkamah untuk kejahatan rakyat, penjara, dan segala polah tingkah negara selama itu nyata berarti suatu keharusan dan berarti pula suatu yang patut dan masuk akal warasnya Hegel (riil-rasional). Aristokrasi dengan demikian direstui hak eksistensinya oleh Hegelianisme (idealisme). Karena barang siapa menolak taat pada negara adalah anarkhisme. Dalam filsafat hukum Hegel pun, terbukti ide absolut-nya direalisasi dalam monarkhi yang berdasarkan pangkat-pangkat sosial yang oleh Friedrich Wilhelm III dijanjikan begitu gigihnya, tetapi sia-sia kepada warga negaranya, yaitu di dalam kekuasaan terbatas, lunak, tidak langsung dari kelas-kelas The Have yang sesuai dengan syarat-syarat burjuis kecil Jerman kala itu. Itulah kenapa filsafat klasik Jerman dan Hegelianisme menjadi elemen ideologi kaum burjuasi yang reaksioner. Ajaran hegel tersebut adalah: A. Idealisme Absolut Filsafat Hegel berambisi menemukan kembali Yang- Mutlak, menyisihkan yang nisbi atau semu. Seluruh kenyataan merupakan satu kejadian besar dan kejadian besar tersebut adalah kejadian roh. Roh Absolut ini adalah Allah. Allah di sini bukan dimengerti Allah sbg persona, tetapi lembaga Allah (Illahiah) yang immanen dan transenden. Segala sesuatu,menurutnya, bersumber dan berpuncak dari Roh Absolut ini. B. Struktur Dialektis Filsafat Hegel. Namun harus diakui, sumbangan Hegel terhadap sejarah perkembangan pikiran umat manusia sangatlah besar nilainya. Dalam pemikiran Hegel yang istimewa adalah pasal tentang hukum dialektika. Dalam banyak forum Hegel acap menyatakan, “yang penting di dalam filsafat adalam metode, bukan kesimpulan-kesimpulan khusus mengenai tetek-bengek abstraksi”. Sebagai pewaris filsafat sebelumnya Hegel tergolong istimewa karena mampu merumuskan metodologi dialektika paling komplit. Dengan tersusunnya Metode dialektika Hegel, maka terjadi revolusi berpikir yang menghancurkan metodologi tradisional-konservatif milik kaum metafisikawan yang sudah berkuasa 2000 tahunan. Bagaimana metode dialektika Hegel menghancurkan paham metafisika? Ia memaparkan kelemahan-kelemahan metodis metafisika, pertama) mereka tidak memandang sesuatu secara keseluruhan dan organik, tetapi menilik secara sendiri dan parsial. Kedua) mereka tidak memandang realitas dari geraknya, tapi objek yang mandek, tetap dan imanen. Padahal dalam metode dialektika Hegel, segala sesuatu itu berkembang, berubah dan banyak mengandung kontradiksi intern. Ketiga) Hegel menolak proses evolusi vulgar yang linear. Ia menawarkan teori baru “triade-triade dialektis”, yakni rangkaian dialektis terdiri 3 tahap, tesis-antitesis-sintesis. Arti dari trilogi ini adalah, ada-tidak ada-menjadi, atau dalam formula filsafatnya tercipta, “hukum (lahiriah)-moralitas (batin)-kesusilaan (sintesis lahir-batin). Dialektika merupakan suatu irama yang memerintahkan seluruh pikiran Hegel. Betapapun canggihnya metode dialektika Hegel namun tetap saja ia terbungkus dalam kulit mistik, reaksioner, yakni pandangan filsafat induknya yang masih berada di tataran idealisme. Sehingga ia memandang kenyataan dengan logika terbalik. Kontradiksi yang ada dalam filsafat Hegel ini justru mencerminkan keadaan masyarakat Jerman dalam masa burjuasi-demokratik. Kapitalisme di Jerman waktu itu yang belum sekokoh feodalisme, kondisi ini mencerminkan filsafat Hegel; di mana di tingkat metode dialektis ia revolusioner dan berpihak pada burjuasi, namun di sisi induk filsafatnya masih idealism yang justru memperkokoh kedudukan feodalism. Kelemahan dan watak kompromis Hegel ini mencerminkan kerapuhan burjuasi Jerman yang masih takut pada status quo dan tidak melihat realitas ketertindasan rakyat yang mengandung potensi pergolakan. C. Ajaran tentang Sejarah dan Negara Hegel memahami sejarah sebagai gerak ke arah rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. Roh Absolut berdiri di belakang sejarah, dan sejarah mendapat ungkapan yang paling kuat dalam negara. Karena negara mempunyai kehendak, ia dapat bertindak. Dengan demikian negara mengungkapkan hasrat Roh Absolut ; ia merupakan perjalanan Allah di muka dunia. Negara modern pasca revolusi Perancis, ia mencontohkan negara Prusia, merupakan pengejawantahan rasionalitas dan kebebasan. Dalam arti itu Hegel memandang negara mempunyai kehendak sejarah, dan barang siapa yang tidak mentaati negara, maka ia telah menolak kebenaran objektif sejarah. 2. Tampilnya Ludwig Feuerbach (1804-1872) Selanjutnya tampillah Feuerbach. Semula ia bercita-cita mau jadi pendeta protestan. Di Berlin ia mengikuti kuliah Hegel, namun makin lama makin jemu ia. Feuerbach selanjutnya melakukan penyangkalan terhadap idealisme Hegel tentang Roh Absolut. Roh absolut baginya sama saja dengan omong kosong metafisika, teologi dan takhayul sejenisnya. Berkaitan dengan reoh semesta yang berada di balik semua kenyataan, ia menyatakan manusia kalau begitu hanya menjadi wayang-wayang dari seorang dalang bernama roh semesta tersebut. Menurutnya, Hegel ini telah memutar balikkan kenyataan. Bahwa seakan-akan yang nyata adalah Allah. Padahal yang nyata itu kan manusia, sehingga Allah itu hanya bikinan manusia. Atau, bukan manusia di pikiran Allah, tapi Allah di pikiran manusia. Teologi dan metafisikan dengan demikian masih menduduki filsafat Hegel. Menurutnya hanya dengan ateisme dan materialisme saja yang bisa mengalahkan teologi dan metafisika. Dan Feuerbach pun menyatakan, hakekat dunia adalah alam material yang berada di alam ruang dan waktu. Mengelupas Hegel dari selubung teologi dan metafisika, Feuerbach menanggalkan sandaran Hegel pada Tuhan dan Roh Absolut dan menggantikannya dengan manusia. Dengan terobosan pemikiran yang berani, Feuerbach mendeklarasikan ateisme sebagai alat penangkal Tuhan dan meletakkan manusia sebagai pusat bersama realitas materialisme. Ketuhanan dilepaskan menjadi kemanusiaan. Dalam The Essence of Cristianity dan publikasi selanjutnya, Feurbach berusaha menjungkirkan dasar pikiran idealistik Hegel dengan mengatakan terang-terangan bahwa studi tentang humanisme haruslah berangkat dari “manusia sejati” yang hidup dalam “dunia materi” yang nyata. Sementara Hegel memandang titik pandang humanisme bersumber dari “yang benar-benar” (real) sebagai sumber yang bersifat ketuhanan (divine). Menurut Feurbach bahwa yang bersifat Tuhan adalah produk dari impian dari yang nyata; keberadaan (eksistensi) yang mendahului pikiran, dalam arti bahwa orang yang merenung tentang dunia tanpa didahului bergerak di dalam dunia itu adalah mustahil. Dengan demikian maka berlakulah yang sebaliknya, bahwa manusia berpikir tentang Tuhan setelah menyatakan keberadaannya di dunia nyata yang merekonstruksi semua alam pikiran manusia. Inilah titik tolak manusia sejati dari kenyataan material. Dus demikian, sampailah pada sebuah untaian simpul bahwa: “pikiran adalah kelanjutan dari ‘ada’ dan ‘ada’ bukan merupakan kelanjutan dari pikiran”. Sementara dalam filsafat Feurbach, Tuhan itu hanya bisa ada selama manusia bertentangan dengan dirinya sendiri dan sepanjang manusia mengasingkan diri dari pribadinya. Tuhan adalah ciptaan impian dan kepadaNya manusia telah memproyeksikan segenap kekuatan dan kemampuannNya yang maha tinggi, dan demikian dilihat sebagai sempurna dan maha kuat dan yang sebaliknya menjadikan manusia tampak sebagai makhluk terbatas dan tak berdaya. Akan tetapi pada saat yang sama, Feurbach menyatakan perbandingan antara Tuhan dan manusia merupakan sumber ilham terbesar untuk merealisasikan kemampuan-kemampuan manusia. Dalam konteks inilah, tugas yang harus diemban filsafat adalah membuat orang bisa menemukan kembali pribadi manusia sendiri yang telah menjadi terasing melalui kritik-kritik transformatif dengan cara membalikkan perspektif Hegel dan dengan demikian membenarkan keunggulan dunia materi. Agama harus diganti dengan ‘humanisme’ di mana cinta kasih yang semula ditujukan kepada Tuhan menjadi diarahkan pada manusia sehingga akan menuntun manusia ke suatu penemuan kembali kesatuan umat manusia untuk dirinya sendiri. Bila filsafat kuno mengajarkan : “apa yang tidak terpikir, tidak akan ada, maka filsafat baru berkata sebaliknya bahwa apa pun yang tidak dicintai, yang tidak bisa dicintai, tidak akan ada”. III KARL MARK dan MARXISME 1. Lahirnya Karl Marx “The Philosophers have only interpreted the world in different ways. The point however is to change it!” Orok Karl Heinrich Marx lahir di jelang fajar seolah kabarkan berita gembira pada alam yang dikuasai kegelapan. Tangis pertamanya pecah pada tanggal 5 Mei 1818 di rumah sewaan di Bruckengasse, kota Trier, provinsi Rijn, negara bagian Prusia. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga rabi yang taat beragama, tapi ayahnya mengajak seluruh keluarganya pindah agama Protestan sebagai jalan keluar dari politik diskriminasi terhadap orang-orang Yahudi. Ayahnya bernama Heinrich Heschel Marx, seorang ahli hukum keturunan Yahudi yang memeluk agama Kristen Protestan pada tahun 1824. Sedang di pihak ibu, Heinritte Presburg, perempuan kelahiran Belanda yang tak banyak dibicarakan. Keluarga Karl Marx cukup berada, sopan dan progresif. Setelah lulus dari sekolah Gymnasium (setaraf dengan SMU) di Trier, Marx melanjutkan studi di Universitas Bonn (1835) mengambil studi hukum yang ternyata hanya bertahan setahun. Ia pindah ke Berlin (1836) untuk menuntut ilmu filsafat dan sejarah. Selama masa studinya minat terbesar Marx ternyata ilmu filsafat yang kemudian menghantarkan dirinya sebagai filosof dengan disertasinya berjudul “Perbandingan antara Filsafat Alam Demokritus dan Filsafat Alam Epicurus” pada 15 April 1841 di Universitas Jena. Sebagai professor di Berlin Marx banyak berkomplot dengan The Young Hegelians atau lebih dikenal dengan kelompok “Hegelian sayap Kiri” bersama Bruno Beuer yang getol menguji perspektif Hegel dari sudut pandang materialisme. Pada tahun 1837, di tengah suasana intelektual yang sangat dipengaruhi filsafat Hegel, Karl Marx tercatat sebagai mahasiswa suatu Universitas di kota Berlin. Dalam sepucuk surat kepada ayahandanya di tahun itu juga, ia mengungkapkan bahwa ia tengah tenggelam dalam gairah filsafat Hegel dan telah mencampakkan Kant dan Fichte yang tak cukup berdaya membangun fundamen filsafat yang memuaskan akal budinya. Dan telah pula ia campakkan kesenangan romantisme masa muda dalam puisi lirikal yang membelai hati. Karl Marx sempat membuat 56 puisi lirikal juga naskah drama. Pada waktu itu secara kognisi dan afeksi Karl Marx telah bersiap sedia dalam totalitas diri untuk mencari landasan terkuat sebagai basis filsafat berpikirnya. Di bawah pengaruh puncak filsafat Hegel, Marx ketika itu memang menjadi Hegelian bergairah walau bukan penganut Hegelian ortodok yang membabi-buta. Minat Marx bermula dari studi filsafat dan hukum selama ia menjadi mahasiswa di kota Berlin. Menurutnya, dualisme Kant mengenai imperatif hipotetis dan imperatif kategoris sama sekali tidak cocok dengan keinginan individu yang hendak menerapkan filsafat dalam usaha mencapai tujuannya. Terhadap filsafat Fichte ia mempunyai keberatan sama: filsafat ini memisahkan logika dan kebenaran (seperti halnya yang menyertai matematika dan ilmu pengetahuan empiris) dari campur tangan manusia di dalam dunia yang terus menerus berkembang. Oleh karenanya, pendirian ini harus diisi dengan pendirian yang mengakui keharusan bahwa ‘objek’ itu sendiri yang harus diteliti dalam perkembangannya dan tidak boleh ada pembagian yang sembarangan. Dasar pemikiran (vernunft) dari hal ini harus dikemukakan sebagaimana bentuk pertentangannya dan menemukan kesatuan di dalam objek itu sendiri. Selepas karier akademik yang terhambat karena kritisisme radikal yang dianut, Karl Marx bersama Bruno Beuer dan Frederick Engels banyak mengembangkan pikirannya dalam media massa, di antaranya surat kabar oposisi “Rheinische Zeitung” (harian Rijn) yang terbit perdana pada tanggal 1 Januari 1842. Berdiri sebagai media oposisi yang sangat kritis terhadap kekuasaan Prusia waktu itu, membuat surat kabar radikal ini tidak berumur panjang. Pada bulan Maret 1843, Rheinische Zeitung dibreidel atas nama stabilitas politik oleh badan sensor pemerintah Prusia yang reaksioner. Selanjutnya Marx getol belajar filsafat dan ketekunannya menghasilkan The Critique of Hegel’s Philosophy of Right. Pada tahun 1843 itu juga Karl Marx melangsungkan pernikahan secara sederhana dengan Jenny von Westfalen di kota Kreuznach. Jenny von Wesfalen adalah pacar Marx sejak keduanya belajar di Gymnasium dan bertunangan ketika Marx masih menjalani masa mahasiswa. Setelah menikah ia terpaksa hijrah ke Paris untuk meneruskan sikap kritis intelektualnya yang tertolak di kampus dan banyak diwadahi dalam terbitan-terbitan majalah radikal. Di kota Paris itulah ia bersama Arnold Ruge, seorang Hegelian Kiri yang ditangkap pemerintah Prusia (1823-1830) dan pergi sebagai buangan politik (1843) di kota Paris. Bersamanya Marx menerbitkan sebuah majalah bernama Deutch-Franzosische Jahrbucher (ajang pemikiran Jerman-Prancis) yang ternyata hanya sekali terbit karena perbedaan-perbedaan perspektif dengan Arnold Ruge, selain situasi politik yang tidak menguntungkan. Namun dalam majalah ini analisa Marx sudah menunjukkan benih-benih revolusioner terutama kritik terhadap peperangan, senjata dan perspektif populisme yang menggerakkan rakyat jelata dan kaum proletariat. Selama di Paris Marx menghasilkan karya-karya sebagai komunis awal dalam kritik panjang tentang kapitalisme, yang dikenal sebagai The Paris Manuscript atau Economic and Philosophical Manuscript of 1844. Sampai pada bulan September 1844, Marx kedatangan Frederick Engels, kawan paling karib dalam pikiran dan tindakan sampai akhir hayatnya. The Holy Family: or Critique of Critical Criticism lahir dari pena Engels. 1845-1848: Marx telah lama aktif di antara para politisi imigran Jerman di Paris dan sebagai akibat tekanan dari pemerintah Prusia ia harus meninggalkan Paris dan memilih Brussel sebagai tempat pengasingannya. Tiga tulisan penting yang menandai tahun-tahun perjuangannya, pada tahun 1845-1846, bersama Engels bahu-membahu menerbitkan The German Ideology, yang baru terbit setelah kematian Marx. Dalam buku ini filsafat materialisme historis mencapai kematangannya. Tahun 1847 terbit buku The Poverty of Philosophy, suatu jawaban atas Philosophie de la Misere, karya P.J. Proudhon. Tahun 1848, kolaborasi pemikiran revolusioner antara Marx-Engels melahirkan karya yang monumental Manifesto Komunis yang sangat legendaris sebagai panduan teori dan taktik sosialisme proletariat, sekaligus menjawab kesempitan doktrin Proudhon (juga yang termuat dalam Poverty of Philoshopy) dan kepicikan sosialisme burjuis waktu itu. Manifesto Komunis menawarkan rencana baru tatanan masyarakat dunia yang adil-sejahtera-sejati lewat perjuangan revolusioner kelas proletariat menuju masyarakat komunis. Manifesto Komunis semenjak diterbitkannya tidak hanya kitab paling lugas dan garang merobek-robek sistem munafik borjuasi, merubuhkan menara kardus intelektual beserta semua bala tentara sistem tua yang boyak dan karatan di belakangnya. Hingga kini Manifesto Komunis masih banyak dipakai sebagai rujukan teori dan praksis oleh sebagian besar masyarakat dunia, terutama mereka yang mengklaim diri sebagai kaum Sosialis-Komunis sejati. 1848-1849: pada 26 Oktober 1848,kabar tentang revolusi proletariat yang meledak di Paris terdengar sampai di Brussel. Satu minggu kemudian, Marx kembali ke Paris dan selanjutnya ke Cologne pada awal April untuk menjadi editor Nueu Rheinische Zeitung yang sempat menerbitkan 300 nomor sebelum surat kabar ini gulung tikar pada Mei 1849. Dalam artikel-artikelnya, Marx semula mendorong agar para burjuis Jerman memperjuangkan revolusi demokratis, namun ketika mereka berpaling dari apa yang menurut Marx adalah misi sejarah kaum burjuis Jerman, perlahan-lahan kebijakannya mulai beralih ke kiri. Namun dia tidak mampu menghadang pasang anti-revolusioner. Ketika Marx diasingkan dari Jerman pada bulan Mei 1849, dia terpaksa juga meninggalkan dunia politik aktif untuk beberapa waktu. 1850-1852: dari Agustus 1849 sampai kematiannya, Marx menetap di London. Dari sekumpulan tulisan Marx di Neue Rheinische Zeitung tentang politik Perancis yang diterbitkan oleh Engels pada 1895 dengan judul The Class Struggle in France. Tulisan ini mencakup rentang waktu dari pecahnya Revolusi Februari sampai Agustus 1850 dan mencakup periode dari 1848 sampai kudeta Louis Napoleon pada Desember 1851. dalam tulisan ini menjadi sumber utama kita untuk memahami teori Marx tentang masyarakat kapitalis bersamaan dengan artikel-artikel kontemporer tentang politik Inggris. Pada tahun-tahun itu, Eropa dalam semangat revolusi pengetahuan dan industri seiring dengan dimulainya gelora-gelora api revolusi sosial dan perkembangan kapitalisme modern. Sementara dalam negeri Prusia, pertahanan Austria yang semakin tumbuh kuat memaksa Prusia membangun kekuatan tentara dan sistem pertahanan yang sama kuat. Wilhelm I mengusulkan kepada Parlemen Prusia untuk kenaikan anggaran membangun tentara. Namun parlemen menolak sebab takut kalau tentara kuat nanti akan memukul parlemen sendiri. Konflik antara raja dan parlemen ini baru berakhir ketika Prusia telah terbukti mengalahkan Austria. 1862, Otto Van Bismarck tampil sebagai Perdana Menteri. Ia membangun kekuatan tentara yang kuat dan modern tanpa persetujuan parlemen. Waktu itu Bismarck membuat apa yang kemudian disebut politik Eisen und Blut: yakni, politik yang tidak didasarkan pada perundingan, tapi kekuatan senjata, darah dan kekerasan. Menurutnya Jerman tidak mungkin bersatu dengan jalan damai, tapi perang dan darah. Sebagai batu ujian pertama, Prusia membangun koalisi dengan Austria menyerang Denmark (1864). Prusia-Austria menang dan lewat perjanjian Wina Denmark melepaskan wilayah Scheswig-Holstein. Keduanya dibagi dua, Prusia mendapat Scheswig, Austria mendapat Holstein. Namun karena kekuatan tentara Prusia merasa lebih kuat atas Austria, maka ambisi politik Bismarck mulai berkobar ingin menaklukkan Austria juga. Beberapa persiapan pun dilakukan, ia menghubungi Napoleon III di Biarritz (1865) dan berhasil memikat hatinya dengan iming-iming kalau Napoleon III bersikap netral, ia akan diberi daerah Jerman di sepanjang sungai Rijn. Kedua, Bismarck juga melobby Italia, membujuk dan setuju bahwa Italia akan membantu memerangi Austria dari arah selatan. Sebagai hadiahnya Bismarck memberikan Venetia. Peperangan pun terjadi, dalam waktu 6 minggu Austria kalah. Tentaranya dihancurkan, Praha diduduki dan Wina diancam. Dengan demikian Bismarck berhasil membersihkan kekuasaan Austria di Jerman. Namun bukan berarti Jerman bersatu telah tercipta. Melihat kemenangan Prusia atas Austria, Napoleon III di Perancis merasa terancam dengan kekuasaan Prusia yang menguat dan membesar. Bismarck sebagai otot-otak tentara berani menantang Perancis untuk berperang. Maka terjadilah perang antara Prusia dan Perancis (1870-1871). Prusia berhasil mengalahkan Perancis dan jayalah Prusia membentuk Jerman Bersatu. Pada tanggal 18 Januari 1871 di bangsal Versailles negara Kesatuan Jerman diproklamirkan di bawah kaisar Wilhelm I. Selanjutnya Jerman menjadi negara terkuat di Eropa. Sementara Bismarck jaya di Eropa, di dalam negeri ia mempunyai dua lawan: kaum Katolik-Roma (Partai Centrum) dan kaum Sosialis. Langkah penaklukan pun ditempuh. Pertama, kaum Rooms-Katolik dihancurkan namun gagal, kemudian didekati dan membangun koalisi. Kedua, koalisi Bismarck dan Rooms-Katolik ini menghantam kaum Sosialis. Pada tahun 1859 karya Critique of Political Economy terbit. Buku ini konon menjadi karya yang paling otoritatif dalam meletakkan dasar-dasar Marxisme terutama dalam menjabarkan pasal tentang materialisme historis. 1867: Adalah tahun yang sangat penting ditandai dengan lahirnya Capital I, sebuah karya yang menjawab keraguan banyak pihak dan merupakan sebuah karya yang sama penting dengan pencapaian Charles Darwin lewat karya legendaris, Origin of Species. Sekalipun Marx memaksudkan buku ini sebagai pembelaan terhadap kelas buruh, buku inilah yang secara terang-terangan membongkar pencurian terselubung kelas burjuasi. Berikutnya Capital II terbit pada tahu 1884 dan Capital III terbit pada 1894, keduanya diterbitkan oleh kawan karibnya, Engels. Pada masa bangunnya kembali gerakan demokrasi di akhir tahun 1850 dan awal 1860, dunia pergerakan memanggil Marx kembali turun ke lapangan politik praktis. Momen terpenting dunia pergerakan buruh terjadi pada tanggal 28 September 1864 saat dibentuknya Perserikatan Buruh Internasional di London. Perserikatan ini adalah apa yang disebut Internasionale pertama yang terkenal itu. Bisa dikatakan Karl Marx menjadi jiwa perserikatan buruh internasional ini. Marxlah yang menggagas dan berusaha mempersatukan pergerakan buruh dari berbagai negeri. Marx pula yang berjuang ‘membereskan’ pelbagai bentuk dari gerakan non-sosialisme proletariat pra-Marx (Mazzini, Proudhon, Bakunin, paham serikat pekerja liberal di Inggris, kaum Lasalle kanan yang bimbang di Jerman) ke arah selat gerakan buruh yang bersatu. Dan Marxlah yang menggodamkan teori dan taktik bersama perjuangan proletariat dan menyeru pada kelas proletariat: “kaum buruh sedunia, bersatulah!”. Dalam Konferensi Kaum Buruh Internasional itu, pada tahun-tahun pertama ditandai dengan serangkaian keberhasilan Marx dalam memperjuangkan kaum buruh melawan faksi pengikut Proudhon; sementara pada tahap berikutnya ia kurang berhasil dalam mengatasi desakan pengikut Mikhael Bakunin. Namun karya yang tak kalah penting dalam periode ini adalah The Civil War in France, sebuah post-mortem berisi kupasan kebangkitan kembali kembali revolusi 1871 atau yang tenar dengan Paris Commune. Pada tanggal 2 Desember 1881 istri Marx meninggal dunia. Karl Marx menyusul wafat dengan damai pada tanggal 14 Maret 1883. Ia dimakamkan di sebelah kuburan istrinya dan kuburan Helene Demuth, bujang mereka yang setia yang hampir menjadi anggota keluarga Marx, di Higtgate Cemetery, London. Demikian sekilas riwayat hidup pujangga jeni terbesar, nabi peradaban kaum proletariat di bumi yang nyata; Karl Marx. IV Maka Datanglah Marxisme Marxisme, dapat digolongkan sebagai anak emas dari tradisi Renaissance dan Aufklarung yang keluar dari wilayah idealisme abstrak dan melampaui semua pemikiran filosof dari tradisi Abad Pencerahan yang pernah ada. Ia berhasil mematahkan kekokohan bangunan filsafat Hegel yang metafisis, membongkar empirisisme Feuerbach dan menanggalkan sejarah filsafat dalam pengertian kritik atas sejarah abstraksi-abstraksi. Corak filsafat dalam panduan Marxisme selanjutnya adalah filsafat yang bertolak dari realitas material dan dibumikan bagi perubahan dunia nyata pula. Pendeknya, Marxisme adalah praxis baru bagi filsafat. Filsafat praxis yang mencampakkan para filosof burjuis dan amatiran yang melulu spekulatif; spekulan analisis dan argumentasi secara naif. Semenjak kelahirannya di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-21 kini, ia membawa dampak luar biasa bagi orde kehidupan umat manusia terutama sebagai panduan ideologi massa rakyat tertindas. Sementara bagi para penentangnya, Marxisme menjadi satu kata yang kotor, momok yang menakutkan, subversi yang paling subversi, suatu ajaran yang tidak diberi tempat hanya karena ia sebagai sarana pembebasan kelas tertindas. Kaum reaksioner seringkali melontarkan tuduhan tidak senonoh terhadap Marxisme dengan berlindung di balik alasan-alasan semacam kesopanan, kemuliaan, agama, tata tertib sosial maupun moralitas tradisional. Namun tetap saja gagal menghambat Marxisme. Karl Marx, walau sudah wafat lebih dari 100 tahun, sampai detik ini ia seolah ada di sekitar kita. Teristimewanya, Marxisme menghalau pesimisme kaum tertindas dan menawarkan dunia baru; optimisme historis sebagai antitesa masyarakat kapitalisme yang penuh kontradiksi dan antagonisme kelas, serta mendugakan adanya keadilan merata secara nyata di bumi manusia. Pergolakan-pergolakan rakyat revolusioner di sepanjang abad itu terutama di dataran negara-negara Eropa, Amerika Latin, maupun Asia, banyak diwarnai dan dipandu oleh ajaran ideologi kaum tertindas ini. Disebabkan Marxisme menolak eskapisme dan mimpi berisi mitos-mitos kosong dan mencandu, ia menurunkan ajaran tentang filsafat berpikir, metode berpikir dan seperangkat pisau analisa untuk membedah realitas objektif dan mengumandangkan perjuangan bersama kaum tertindas untuk merebut harapan -- firdaus kaum tertindas di muka bumi (Revolusi Sosialisme). Apakah Marxisme? Sebagai ajaran pemikiran ia mempunyai dua orang bapak yang sama-sama brewokan: Karl Marx (1818-1883) dan Frederick Engels (1820-1895). Keduanya dikenal sebagai dwi-tunggal atau sejoli yang dipertemukan oleh teori dan praksis. Seperti laras dan peluru, keduanya menyatu sebagai man behind the gun of Marxisme. Kekokohan Marxisme dibangun dari pengalaman kongkret tiga poros negara dengan keunggulannya masing-masing; kekokohan sistematika filsafat Jerman, pengalaman eksperimentasi sosialisme di Perancis dan praxis-politik yang dinamis dan semarak di Inggris. Namun demikian definisi Marxisme sebagai sebuah pemikiran ilmiah sering dipandang banyak kalangan penuh ambigu dalam prasangka buruk suatu tendensi “manipulasi ideologis” tertentu, ketimbang klaimnya atas status ilmiah. Di satu pihak ada yang mengakui keniscayaan objektif hubungan keberpihakan Marxisme terhadap satu golongan sosial (kelas proletar), namun tetap menarik kesimpulan bahwa Marxisme bukan ilmu karena telah berpihak sehingga tidak obyektif sebagai ilmu. Di pihak lain ada yang mengakui status ilmiah Marxisme kemudian menarik kesimpulan bahwa gagasan Marxis tidak bisa hanya berasal dari sudut pandang proletariat, karena kaitannya dengan kelas buruh semacam itu akan merendahkan derajat Marxisme hanya ke tingkat ideologi saja. Pembantahan ini mencerminkan kebingungan teoritis-dikhotomis dalam dua hal: pertama tentang sifat-sifat ilmu-ilmu alam, kedua tentang perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam acapkali mengklaim diri sebagai seperangkat pengetahuan yang paling akurat dan obyektif tanpa pengaruh sosial, makanya ilmu alam ini dianjurkan sebagai model untuk ilmu sosial yang berambisi menjadi akurat dan obyektif. Namun anggapan terhadap ilmu alam itu justru adalah buatan sosial, dan berasal dari persekutuan antara para ilmuan dan kaum burjuis dalam perjuangan mereka untuk menghapuskan masyarakat feodal dan membangun perekonomian baru industrial. Seperti kaum burjuis gambarkan hukum-hukum masyarakat kapitalis sebagai suatu hal yang bersifat alamiah dan abadi, begitu juga mereka menggambarkan hasil-hasil ilmu alam sebagai suatu kebenaran yang tak terbantahkan. Namun jika kita menyimak sejarah ilmu alam, kita akan melihat bahwa hasil-hasil itu merupakan sejumlah kebenaran yang bersifat temporer dan relatif. Kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ini nyatalah dirangsang oleh kepentingan subyektif manusia, dan hasil-hasil tersebut hanya terbukti benar jika bisa memuaskan kepentingan manusia tersebut. Makanya mensikapi ilmu alam mari melihat bukan sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang terus bergerak, berubah dan berkembang. Tak perlu panjang lebar terjebak dalam perdebatan dualisme ilmu yang memperlebar ruang dikotominya, memperbincangkan Marxisme, musti diakui ia merupakan prasasti hidup paling istimewa yang berisi pandangan ilmiah Karl Marx yang mempunyai daya tahan luar biasa dari segala gempuran para penentangnya. Ia tangguh sebagai konsepsi sebab di dalamnya terhimpun sinergi persenyawaan dari penjabaran rasionalitas ilmiah, keberpihakan pada moralitas keadilan paling sejati sebagai alas hidup humanisme universal, sekaligus memberi tongkat pemandu menuju perubahan nyata lewat proyek revolusi kaum tertindas (proletariat) yang menjanjikan. Pendeknya, Marxisme menyatukan filsafat, moralitas, ideologi, ekonomi-politik ke dalam panduan praksis untuk merombak ketimpangan tatanan struktural masyarakat dunia. Lantas apakah pengertian Marxisme sesungguhnya? Marxisme itu sendiri oleh para pengikutnya dibagi dalam tiga komponen utama: filsafat, ekonomi-politik dan sosialisme. Paparan berikut ini mempunyai pamrih hanya membentang prinsip-prinsip pokok secara sederhana tentang komponen dasar Marxisme dalam jabaran sebagai sistem filsafat (materialisme, materialisme historis, dialektika materialisme dan kelas proletariat). V Tentang Filsafat Materialisme Sejarah pemikiran filsafat merupakan suatu bagian tak terpisah dari proses sejarah perkembangan masyarakat manusia di muka bumi. Sebagaimana kita ketahui, filsafat menjadi tonggak pencerah lahirnya rasionalitas manusia yang sebelumnya terbungkus secara gelap dalam dongeng dan mitologi yang membutakan pemahaman umat manusia tentang realitas. Filsafat pula, melalui instrumen akal budi telah mempermalukan dongeng dusta masa lampau di hadapan generasi baru manusia di teras bumi dengan memberikan pandangan dunia baru perihal dunia-kehidupan keseluruhannya; ontologi kehidupan, fenomena alam semesta sebagai realitas objektif dengan seperangkat hukum-hukumnya, patah-tumbuh masyarakat manusia dalam sejarah, dan pergumulan pemikiran dan corak produksi masyarakat untuk menjawab tantangan zaman dari masa ke masa. Pada pertengahan kedua abad ke-19 hadir sebuah pertentangan sengit antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama (dogma). Dalam pertarungan tersebut tampak sekali betapa sains dengan bersenjatakan akal budi lebih menguasai semua argumen rasionalitas dan memenangkan di semua lini perdebatan. Perdebatan yang lebih menampilkan antara rasionalitas (ilmu) sebagai senjata baru masyarakat manusia versus dogma (kepercayaan) sebagai senjata usang masyarakat lama. Pada pertahanan kaum agama yang terkalahkan, pada akhirnya mengajukan suatu apologia yang menyatakan bahwa kitab suci tidak bisa lagi ditafsirkan secara harafiah semata sebagai bentangan dogma yang mengajarkan kesalehan jiwa sederhana. Pada perkembangannya setelah kekalahan konsepsi puritanisme agama, perdebatan pokok di dalam filsafat beralih memperkarakan hubungan antara fikiran dengan keadaan, antara realitas dunia-subyektif dan dunia-obyektif. Dalam peta sejarah pertarungan pemikiran filsafat selanjutnya maka tersebutlah dua aliran besar: materialisme versus idealisme. Keduanya bertarung dengan mengerahkan segenap bala tentara argumentasi terhebat yang dimiliki akal budi untuk memperebutkan dalil kebenaran tentang; apakah instansi pertama yang hadir dan determinan sebagai konstruksi realitas? ide atau materi, jiwa atau alam, pikiran atau kenyataan? Titik tolak pemikiran Karl Marx tidak selalu menginduk pada filsafat Hegel. Sebagai penjelajah filsafat, Karl Marx juga menemukan Feurbach yang memposisikan pemikiran filsafatnya sebagai lawan tanding utama filsafat Hegel terutama dalam konteks kritik agama dan sejarah. Selanjutnya, materialisme Feuerbach. Terhadap kedua filosof ini, Marx dan Engels merombak dialektika Hegel (yang idealis menjadi materialis) dan membongkar materialisme Feuerbach (yang non dialektik menjadi dialektik). Maka jadilah materialisme dialektik. Namun demikian, Marx melakukan tinjauan kritis terhadap materialisme Feuerbach. Filsafat Feuerbach mengandung beberapa kelemahan: yakni, pertama) materialisme Feuerbach adalah materialisme naturalis. Dalam pandangan ini pemaknaan terhadap manusia bukan sebagai bagian dalam realitas kemasyarakatan yang mempunyai hukum produksi, namun manusia hanya sebagai anggota dari unsur-unsur alamiah. Posisi manusia dan pemaknaan Feuerbach ini sangat lemah karena manusia berada di luar hubungan produksi kemasyarakatan, juga bukan pelaku aktif dalam pekerjaan mengubah alam. Kedua) materialisme Feuerbach non-dialektik; yakni memandang segala sesuatu hanya bersandar pada materialisme an sich, sehingga terjebak dalam naturalisme yang mekanik dan intuitif. Sementara itu Karl Marx sendiri menulis dalam pembukaan buku “Das Capital vol. I”, dengan menyatakan berseberangan dengan filsafat idealisme Hegel. Bagi Hegel, proses kehidupan otak manusia terdapat dalam proses berpikir, pada tataran mana, atas nama “The idea”, oleh Hegel malah diubah ke dalam subjek yang berdiri sendiri, adalah pencipta (demiurgos) dunia yang nyata dan dunia yang nyata hanyalah bentuk luaran, fenomena dunia yang nyata sebagai bentuk dari “The idea”. Sedang menurut Marx sebaliknya, “The idea” tiada lain dari dunia materi yang direfleksikan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pemikiran manusia (Karl Marx, 1890, 19). Sementara Engels juga menjawab Hegel dalam bukunya Anti-Duhring. Bahwa persatuan dunia tidak terjadi dari keadaan atau kejadiannya. Persatuan dunia yang nyata terjadi dari wujud ke-materi-annya dan ini telah dibuktikan oleh usaha keras filsafat dan ilmu alam. Jika kita bertanya dari manakah datangnya pikiran dan kesadaran? Kita mendapat jawab, bahwa mereka adalah hasil otak manusia, dan manusia adalah hasil alam yang berkembang bersama-sma dengan kenyataan di sekelilingnya. Maka Hegel adalah seorang idealis; bahwa pikiran-pikiran dalam kepalanya seperti rumah kaca berisi realitas-realitas materi, sedang materi itu sendiri berikut evolusinya hanyalah refleksi idea belaka yang sudah ada pada suatu tempat, bahkan lebih dahulu dari dunia. Ini adalah penjungkir-balikan realitas dengan apa yang acap dianalogkan; berjalan dengan kepala, berpikir dengan kakinya. Inilah pekerjaan kaum idealis. Dalam satu simpul pendek penjabaran, Manual menuliskan dalam buku The Fundamental of Marxisme-Leninisme; filsafat materialisme adalah filsafat yang melakukan penyangkalan kenyataan roh sebagai pencipta kenyataan. Filsafat materialisme berlandaskan pada pengakuan organik semua kenyataan materi; yakni eksistensi alam—bintang, matahari, bumi beserta gunung, lembah dan ngarai, samudra dan hutan, binatang dan manusia yang diberkati dengan kesadaran dalam kemampuan berpikir. Tiada fenomena pada hal-hal ghaib. Manusia adalah kesatuan partikel dari bermacam-ragam unsur alam dengan kesadaran sebagai satu kecakapan dalam diri manusia. Lebih lanjut Manual menyatakan bahwa idealisme adalah filsafat penuh kegelapan (philoshophy of gloom). Banyak bukti bisa kita ajukan dalam sejarahnya. Adalah filsafat idealisme, bukan materialisme, yang pernah menyangkal kemampuan manusia dalam memperoleh pengetahuan dan menyebarluaskan ketidakpercayaan terhadap sains. Berapa banyak sudah para ilmuan yang mati hanya karena menemukan teori objektif (kebenaran rasional) yang kebetulan menyalahi dogma idealisme dan agama. Adalah pekerjaan idealisme yang senantiasa menjadi sumber ideologi bagi manifestasi kebencian yang anti-humanisme--teori rasis dan kegelapan fasis. Idealism pula yang sering berlindung di bawah kekuatan supranatural hanya untuk melanggengkan kekuasaannya. Suatu tindakan yang banyak disingkiri oleh filsafat materialism. A) Materi adalah Material Dalam pengertian filsafat materi adalah segala sesuatu yang terhampar secara nyata (material) dalam realitas alam semesta. Keberadaannya tidak tergantung pada manusia, ide, jiwa maupun roh. Taruh contoh, gunung yang berdiri kokoh, bilamana suatu saat ia meletus; adalah murni proses gerak materi dari kondisi alamiah yang tersusun dan mengakibatkan letusan. Ia tidak pernah dikendalikan ole ide atau roh. Juga angin yang bertiup, daun-daun yang berguguran, ombak bergelora di lautan, sejuta bintang atau bunga-bunga yang kuncup. Mereka, hamparan materi tersebut, senantiasa ada dan berproses walau mata manusia terpejam. Sebab keberadaan mereka tidak tergantung pada merem atau melek-nya mata manusia. Atau dalam contoh lain, bila seorang kawan menenggak berbotol-botol minuman dengan kadar alkohol sangat tinggi maka akan mengakibatkan mabuk. Dalam kondisi mabuk ia merasakan dan melihat dunia bergoyang-berpusing seperti naik komidi putar. Nah, bergoyang-berpusingnya dunia dalam kasus ini, bukan karena bumi objektif yang bergoyang-perpusing namun karena kondisi subjektif si kawan ini yang memang sedang mabuk dilanda alkohol. Dalam kasus si kawan yang mabuk ini, materi bernama alkohol bahkan memberi pengaruh atas kondisi subjektif. Dengan demikian, realitas materi tidak bergantung pada ide, manusia atau roh. Semua yang terhampar merupakan proses organisasi alamiah yang berseluk-beluk dengan bahan-bahan material yang mengitarinya. B) Ide adalah Cerminan Materi dalam Otak Otak manusia merupakan materi, yakni suatu organisme sistem urat syaraf tertinggi yang dimiliki manusia dan mempunyai kemampuan merefleksikan segala sesuatu dalam relasi antara subjek (manusia) dan objek (alam material). Artinya, kelahiran ide senantiasa ditentukan oleh materi, sebagai hasil hubungan langsung antara manusia dengan dunia materi dan diolah oleh otak yang diterjemahkan dalam bentuk fikiran-fikiran. Dengan demikian, lahirnya sebuah ide senantiasa didahului oleh kegiatan hidup praktis di alam materi. sebagaimana contoh, seorang berpikir bahwa cabe itu pedas adalah karena ia mengecap dan merasakan sebiji cabe sebagai suatu praktek pembuktian bahwa cabe itu pedas. proses ini melibatkan manusia dan sistem inderawinya dan sebuah cabe. Selanjutnya memory yang tersimpan dalam otak akan selalu merekam bahwa cabe itu pedas. Bilamana otak si kawan itu berpikir dialektis, ia akan mampu mensiasati rasa pedas cabe dengan unsur lainnya, sehingga cabe bisa diproses dalam berbagai rupa kombinasi unsur dan menjadi sambal yang lezat, misalnya. VI Tentang Dialektika Dialectique, dialectica, dialectike semuanya berasal dari bahasa Latin yang dijelaskan sebagai seni berdebat dan berdiskusi, yang kemudian diturunkan sebagai investigasi kebenaran dengan jalan diskusi. Dalam penjabaran yang berbeda-beda, Plato mendefinisikan dialektika sebagai seni untuk menentukan ide-ide dan metode untuk menentukan interelasi ide-ide dalam penerangan prinsip tunggal. Dalam bahasa Ingris awal, dialectic mempunyai makna sebagai seni penalaran formal yang mempelajari kebenaran dan segala sesuatunya dengan perselisihan. Kemudian pada perkembangannya yang sangat dipengaruhi filsafat idealis Jerman, kata dialectic memperoleh makna yang lebih luas sebagai pemikiran tentang kontradiksi dalam diskusi atau berselisih gagasan tentang kenyataan. Dialektika itu ketika sampai di zaman Hegel, dikonsepsikan bahwa dalam realitas ini tidak ada lagi bidang-bidang kehidupan yang terpisah atau terisolasi. Semuanya saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran. Dalam tinjauan lain, dialektika berarti sesuatu itu hanya berlaku benar apabila dilihat dengan keseluruhan hubungan dalam relasi yang bersifat negasi-dialektis (tesis-antitesis-sintesis). Penjabaran dalam konteks sejarah diterangkan bahwa sejarah bukanlah sembarang deretan peristiwa yang berserak dalam ruang-waktu, tapi suatu proses yang dapat dimengerti dan dikuasai oleh hukum-hukum objektif yang hanya terpahami dengan memandang sejarah sebagai suatu keseluruhan. Ia bukannya sebuah kisah yang seragam satu arah, melainkan proses yang “dialektis”. Setiap langkah perkembangannya selalu dibentuk oleh adanya hukum pertentangan antara kekuatan-kekuatan yang kontradiktif. Ia hanya merukun kembali dalam suatu sintesis yang lebih tinggi di tingkat selanjutnya, namun demi menghimpun pertentangan-pertentangan baru. Demikianlah hukum dialektika seterusnya. Dalam garis besarnya, Karl Marx menganut hukum pertentangan ini sepanjang hidupnya dan menjadi landasan filsafatnya. Yang tercampak dari filsafat Hegel hanyalah unsur “idealismenya”. Idealisme dalam arti teknis filsafat adalah pandangan yang menganggap bahwa “pikiran” atau “ide-ide” merupakan faktor primer dan determinan sementara benda-benda fisikal menjadi sekunder. Menurut Hegel, sejarah pertama-tama adalah cerita tentang perkembangan “akal” dan dialektika dari ide-ide itulah yang menjadi motor penggerak sejarah. Di dalam komitmennya untuk menemukan sebuah pola ajek dari metode berpikir materialis, Karl Marx menggunakan metode yang dirumuskan Hegel ini yang berhasil membongkar filsafat Platonis tentang dialektika. Dialektika sebagai gagasan Platonis dirumuskan sebagai proses argumentasi yang mengarah pada penyangkalan suatu pernyataan dengan cara menyingkirkan ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan inherennya atau acap dinamakan dengan kontradiksi-kontradiksi. Hegel menyusun kembali proses argumentasi ini menjadi sebuah ciri perubahan historis umum. Di dalam perubahan historis itu, gagasan-gagasan menyusun dirinya sendiri dalam peristiwa-peristiwa historis sampai gagasan-gagasan itu dalam situasi baru yang ingin diciptakan gagasan-gagasan itu. Dengan cara ini Hegel ingin mengatasi ketegangan kuno antara pikiran di satu pihak dan eksistensi material di lain pihak. Inilah yang disebut dualisme pikiran dan materi. Sejarah dapat dilihat sebagai proses di mana jurang antara dunia eksternal dan pikiran yang mengalami, yang mencakup alienasi subjek yang mengalami dari kenyataan eksternal, diatasi dengan usaha-usaha progresif yang lebih berhasil untuk memahami dan dengan demikian mengubah dunia melalui pelaksanaan rasio. Di dalam masing-masing kehidupan individu dan bahkan lebih lagi dalam perkembangan setiap masyarakat, pikiran sampai menaklukkan dunia material dengan mereduksinya ke dalam sebuah bentuk yang dapat dipahami dan mengubahnya untuk menyesuaikan dengan susunannya sendiri. Dalam penjelasan pendek, Leon Trotsky menulis, dialektika bukanlah suatu fiksi atau mistisism, melainkan format berpikir secara saintis sejauh tidak terbatasi pada masalah hidup sehari-hari namun usaha untuk mencapai pemahaman yang lebih rumit sekalipun dan mengikuti pada proses. Dengan demikian dialektika dipakai sebagai metode berpikir dan menafsirkan dunia baik dalam konteks alam maupun masyarakat dalam relasi kontradiksi. Dialektika merupakan jalan untuk melihat alam semesta (universe) sebagai hamparan realitas yang senantiasa berubah dan berkembang. Realitas tidak pernah mati. Dalam dialektika menjelaskan bagaimana perubahan dan gerak juga mengandung kontradiksi dan gerak dan perubahan terjadi dalam wilayah yang mengandung kontradiksi ini. Selanjutnya Materialisme dialektika Marxis, mempunyai saripati ajaran sebagai berikut: A) Materialisme dialektik adalah gejala berhubungan antara materi-materi dalam suatu kesatuan organisme. Dalam mata filsafat dialektik, Marx dan Engels menganggap bahwa dalam realitas ini tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri untuk selamanya, tidak ada sesuatu yang mutlak dan suci seperti yang dimetafisikakan oleh Hegel dengan sebutan “roh absolut”. Di dalam sesuatu dan di atas sesuatu tampak bekas kemunduran yang tak terelakkan. Tidak ada sesuatu yang dapat melawan dengan selamat proses tiada henti dari pembentukan, pemusnahan, hukum kenaikan tak terhingga atau kerendahan dan sebaliknya—semua berproses dalam mana filsafat sendiri hanya bisa merefleksikannya dalam otak manusia dan tak kuasa menentang. Jadi dialektik, menurut Marx, merupakan pengetahuan hukum-hukum umum dalam proses dan gerak, yang berlaku dalam dunia materi. Di dalam dunia materi berlaku segala hukum-hukum pertentangan, perubahan, lompatan, dorongan dari pelbagai kekuatan yang saling berhubungan di segala lapangan fenomena. misalnya, keadaan kehidupan masyarakat manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan alam di sekitarnya, sebab satu sama lain saling terkait dan berhubungan dan mempengaruhi. Posisi hubungan antara manusia dan alam menjadi satu faktor penentu alam fikir manusia dalam perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi. Bilamana suatu desa mengalami gempa, banjir atau musibah lainnya, fikiran manusia tentu akan merespon adanya tindakan-tindakan yang akan menanggulangi bencana tersebut. Dengan tetap membangun relasi yang akan menghubungkan manusia dan alam sekitarnya secara organik dan tak terpisahkan. Lebih mendetail lagi dua prinsip pokok dari dialektika Marxis adalah, Pertama, dialektika Marxis berlawanan dengan metafisika. Dialektika Marxis tidak memandang alam sebagai suatu tumpukan segala fenomena atau tumpukan fenomena yang kebetulan saja, tidak berhubungan dan bebas satu sama lainnya. Namun semua fenomena alam sebagai realitas yang organik satu sama lainnya. Kedua, berbeda dengan metafisika, dalam konsepsi dialektika berpendapat bahwa alam bukanlah satu keadaan yang statis namun realitas yang terus menerus bergerak dan berubah, rontok, mati dan tumbuh kembali. Ketiga, dialektika juga menerangkan proses perkembangan bukanlah suatu proses pertumbuhan yang sederhana, di mana perubahan-perubahan kuantitatif akan menuju perkembangan yang terbuka ke arah perubahan yang kualitatif. Tafsiran dalam perubahan ini adalah bahwa dalam dialektika proses perkembangan tidak boleh diartikan sebagai gerak dalam lingkaran atau sebagai ulangan biasa dari apa yang sudah terjadi, melainkan sebagai peralihan keadaan kuantitatif yang lama menuju kualitatif yang baru B) Materialisme Dialektika adalah Gejala Bergerak dan Berkembang. Materialisme dialektika adalah bukan semata-mata gejala materi dari kesatuan yang organik, melainkan bergerak dan berkembang. Seluruh alam, kata Engels, dari yang sebutir pasir sampai matahari, dari sperma sampai manusia, adalah selalu dalam keadaan senantiasa mengalir dengan bergerak dan berkembang. Gerak adalah bentuk eksistensi materi, di manapun tak pernah ada dan tak mungkin ada materi tanpa gerak. Sebab materi tanpa gerak adalah sama mustahilnya gerak tanpa materi atawa nonsens! Oleh sebab itu, gerak sebagaimana materi itu sendiri, tak dapat diciptakan atau dilenyapkan. Ia hanya bisa ditransfer. Sebagai contoh, dalam masyarakat, ia juga tidak pernah diam. Masyarakat sebagai suatu himpunan material dari sekumpulan manusia, selalu terlibat dalam gerak dalam bentuk kerja atau kegiatan yang beraneka ragam. Sehingga tak ada masyarakat (materi) yang diam tanpa gerak, dan tak ada gerak tanpa materi (masyarakat). C) Gerak materi adalah Gerak Mandiri dan Menentukan. Disebabkan gerak materi adalah bentuk eksistensi materi, ini bermakna gerak meteri itu bukan disebabkan oleh faktor luar. Ia adalah gerak mandiri sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan yang dihimpun di dalam eksistensi materi itu sendiri. Faktor-faktor luar, peranannya hanya mempengaruhi dan mendorong. Bukan menentukan. Pengalaman sejarah masyarakat pun juga demikian. Kuat atau lemah suatu masyarakat, selalu ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Lahirnya Indonesia, contohnya, ketika rakyat tertindas di seantero negeri bangkit dan melawan kapitalisme-kolonialisme, kemudian sebuah negara baru lahir dari proses perjuangan mandiri rakyat Indonesia. Kebangkitan dan perlawanan rakyat dalam hal ini harus kita baca sebagai kekuatan pokok yang mandiri dan paling menentukan sukses atau hancurnya revolusi nasional tempo dulu. Hal ini berarti, keberadaan imperialis Amerika atau Inggris atau negara lain atau faktor luar rakyat Indonesia adalah bukan dalam posisi menentukan. Demikian juga dengan Indonesia masa reformasi sekarang, sebuah masyarakat pasca kehancuran selama 32 tahun di bawah rezim kapitalis-fasis Soeharto, berhasil atau hancurnya negeri ini keluar dari krisis multi-dimensi yang paling menentukan adalah rakyat Indonesia sendiri. Yakni seberapa kuat rakyat Indonesia mampu mengorganisir diri dalam kekuatan pokok yang menentukan bagi nasib rakyat dan bangsa sendiri. Bukan berapa dana segar yang diinfus dari donasi vampir internasional seperti, IMF atau World Bank. Bila demikian yang terjadi adalah kesalah-kaprahan fundamental karena menyalahi asas dialektika dan disusul pada kenyataan saat ini Indonesia tidak akan bangkit dengan seutuhnya. Bahkan Indonesia semakin kering-kerontang terjerumus dalam jeratan hutang pada vampir-vampir penghisap darah bernama kapitalisme internasional. D) Segala sesuatu ditentukan oleh Relasi Keadaan, Ruang dan Waktu. Pencapaian suatu realitas objektif tertentu selalu berhubungan dan ditentukan oleh syarat-syarat objektif berupa keadaan, ruang dan waktu. Sebagai contoh, tumbuhnya corak produksi kapitalistik memerlukan syarat-syarat objektif berupa kapital skala besar dan tersedianya buruh upahan dalam skala banyak. Syarat-syarat ini baru tercapai pada akhir zaman feodalisme (ruang-waktu) di Eropa. Waktu itu kaum burjuasi menjadi kelas revolusioner karena syarat-syarat objektif yang ia miliki; secara ekonomi mereka terampil, mandiri dan lepas dari patronase terhadap feodalisme (raja dan bangsawan yang tidak terampil menguasai ilmu perkakas modern), secara politik mereka radikal karena didukung kelas bawah, secara pikiran mereka rasional-sekuler karena lepas dari doktrin agama dan belenggu doktrin kerajaan. Namun apa yang terjadi ketika mereka berhasil merubuhkan pilar-pilar feodalisme dan mampu membangun kapitalisme, lihatlah sekarang, karena syarat-syarat yang ia bangun dan pencapaian dalam ruang-waktu (imperialisme mutakhir), saat ini mereka bukan lagi kaum revolusioner, melainkan reaksioner konservatif yang tidak mau perubahan. Ini artinya, mereka tak beda jauh dengan posisi kaum feodal aristokrat yang sama gigih mempertahankan monarkhi atas revolusi burjuis waktu abad pertengahan dahulu. Artinya, bila kita membaca kelas burjuasi di akhir abad pertengahan dan masa sekarang lewat kerangka pasal dialektika ini; mereka menjadi kelas paling revolusioner karena syarat-syarat yang mereka miliki waktu itu, namun keadaan, ruang dan waktu zaman sekarang telah merubah kualitas revolusioner mereka pada abad pertengahan menjadi kaum reaksioner-konservatif pada zaman sekarang. Kasus lain bisa kita ambil contoh di sekitar kita, seorang mahasiswa di suatu keadaan, ruang dan waktu yang meletakkan kesadaran dirinya sangat radikal-progresif-revolusioner di suatu waktu semasa kuliah, jangan percaya dulu ia akan selamanya mempunyai watak dan sifat demikian. Sebab bisa jadi di suatu keadaan, ruang dan waktu tertentu di kemudian hari ia akan menjelma dari seorang yang konon di masa lalunya radikal-progresif-revolusioner menjadi seorang ‘Pemuda Kardus’: prototipe seorang pemuda yang masih sehat-segar-bugar namun ringkih karena memang tidak tahan banting (baca: fragile); gampang rusak hanya karena ‘panas’ dan mudah remuk hanya karena ‘hujan’, gampang ambruk karena ‘angin’. Artinya secara alamiah ia sebagai kader perjuangan pasti tidak teruji dalam praxis. Moralnya gampang remuk hanya persoalan-persoalan sepele khas kelas menengah seperti romantism, domestikism, pragmatism yang dihadapinya. Bersolek rupa adalah pekerjaannya, merias diri dalam identitas-identitas semu yang ditempelkan semacam intelektualism, kritisism, revolusionerism dan aneka asesori yang ditempelkan di-diri-nya, namun semua orang tahu bahwa semua itu palsu atau artifisial semata. Jadi pendek kata, bisa dikatakan bahwa “Pemuda Marxis” suatu waktu dalam ruang dan keadaan bisa berubah kualitas menjadi “Pemuda Kardus” yang mandek dan menjemukan! E) Relasi Hubungan Pokok dan Non-pokok Segala sesuatu mempunyai hubungan dengan banyak hal. Relasi antara satu dengan yang lainnya juga ditentukan kedudukan dan posisi. Tidak semua kedudukan itu sama karena mempunyai peranan dalam relasi yang determinan dan non-determinan. Relasi yang faktor determinan, itulah yang menentukan, selain didukung faktor-faktor non-determinan lainnya. Selama faktor pokok belum kuat, ia berpeluang gagal dalam menentukan perubahan. Sebagai contoh, perjuangan kelas antara burjuasi dan proletariat, faktor determinan yang menentukan adalah seberapa kuat dan bersatunya kelas proletariat untuk bangkit menghantam kelas burjuasi. Inilah faktor pokok paling menentukan (determinan). Artinya, selama aktor pokok belum bangkit dan kuat, ia tidak berpeluang menyelesaikan antagonisme kelas melawan kelas musuhnya yakni kaum burjuasi. Sementara faktor non-pokok, bisa dibaca: dalam perjuangan kelas proletariat ia musti melibatkan aktor-aktor penting (non-determinan) seperti membangun aliansi dengan kelas menengah, mahasiswa dan kaum cendekiawan progresif dalam sebuah perjuangan organik bersama-sama. Dari semua rentetan ajaran tentang materialism dialektik, terdapat beberapa kesimpulan pokok yang bisa menjadi panduan untuk membaca sejarah masyarakat, baik masa lalu atau masa kini. Ajaran ini terbagi dalam tiga hukum pokok. Pertama) hukum kontradiksi, kedua) Hukum perubahan dari kuantitas menuju kualitas dan, ketiga) hukum negasi dari negasi. Kesemuanya ini kita uraikan sbb: a1. Hukum Kontradiksi Hukum kontradiksi merupakan sokoguru atau tulang punggung hukum dialektika. Karena ia menerangkan hakekat segala sesuatu perkembangan. Tentang hal ini Lenin mengatakan, terbaginya kesatuan dan mengenal bagian-bagian yang berkontradiksi adalah hakekat dari dialektika. Lebih detailnya, hukum kontradiksi adalah metode untuk mengenali bahwa segala sesuatu selalu mengandung bagian-bagian yang berbeda-beda sehingga menciptakan kontradiksi. Sebagaimana dalam pelajaran di atas telah diutarakan, kontradiksi menjadi unsur penggerak karena di dalamnya mengandung suatu unsur yang saling bertentangan. Sebagai misal dalam ilmu pengetahuan; terdapat aksi dan reaksi dalam mekanika, listrik + dan - dalam elektronika, diferensial dan integral dalam matematika, ada persenyawaan dan penguraian atom-atom dalam kimia, serta ada pertentangan kelas dalam masyarakat. Oleh karena setiap kontradiksi menempati kedudukan objektif tertentu, maka Kontradiksi itu bermacam-macam. Ia terbagi dalam beberapa sub-pasal: Pertama: Kontradiksi Umum Kontradiksi memuat di dalamnya dua persoalan penting, yakni, 1) bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini selalu mengandung segi-segi yang berkontradiksi, 2) bahwa di dalam seluruh proses perkembangannya dari satu tingkatan menuju tingkatan berikutnya selalu mengandung kontradiksi. Suatu kontradiksi ketika mampu menyelesaikan tahap yang lama ia senantiasa menuju ke tingkat yang baru. Demikian seterusnya. Pasal ini berarti mengandung seruan praxis, bahwa dalam menghadapi kehidupan kita tidak lepas dari hukum kontradiksi ini. Kita harus menghadapi, jangan takut dan tidak boleh melarikan diri sebab lari berarti bunuh diri pelan-pelan. Dan dalam kehidupan ini tidak ada suatu hal yang hanya mampu diselesaikan dengan satu kali pukul, lantas hilang selamanya. Persoalan baru akan muncul, menyusun diri dalam kontradiksi yang baru pula. Kedua: Kontradiksi Khusus Ia juga mempunyai dua pengertian, yakni, 1) bahwa di dalam setiap hal mempunyai kontradiksi sendiri-sendiri secara khusus. Suatu kontradiksi yang berbeda antara satu dan lainnya. 2) bahwa suatu hal dalam proses perkembangan yang bersifat khusus akan mencapai tingkat perkembangan yang khusus pula sampai melahirkan kualitas baru. Sebagai contoh, proses perkembangan kupu-kupu; dimulai dari telor, ia akan berbeda kontradiksinya ketika menjelma ulat, sebelum melahirkan seekor kupu-kupu dengan sayapnya yang indah dan kembali menjadi kepompong kembali. Hal ini berarti terdapat perkembangan khusus dalam kasus kupu-kupu, yang berbeda dengan kasus cenderawasih, ular atau ikan paus. Pasal ini menyeru kepada kita, marilah kita membaca dan mengenali kenyataan secara kongkret dan akurat, untuk kemudian memecahkan persoalan harus secara akurat dan kongkret juga. Kita dilarang menjiplak atau memandu pemecahan masalah hanya bersandar pada hal yang umum semata. Bahwa revolusi proletariat di Rusia 1917, mengandung sifat khusus dari bumi kenyataan yang menghidupkan kontradiksinya sendiri. Kita dilarang asal jiplak apa yang terjadi di Rusia atau Cina atau Cuba, hanya dipindahkan ke Indonesia tanpa pengkajian secara khusus. Sebab penjiplakan ini jelas menyalahi prinsip dalam hukum kontradiksi khusus yang membedakan antara satu kasus dengan kasus lainnya dan penjiplakan jelas satu tindakan a-Marxist karena tidak objektif, tidak ilmiah, asal membeo dan hanya akan menunjukkan manusia tanpa akal budi yang aktif berikhtiar mencari landasan kontradiksi di bumi sendiri. Sekali lagi, sikap macam ini harus disingkirkan di kalangan kader Marxis di manapun ia berada. Ketiga: Kontradiksi Dasar Dalam pelataran kenyataan objektif senantiasa terdapat kontradiksi-kontradiksi, adapun salah satu yang terpenting adalah adanya kontradiksi dasar. Ia mengandung pengertian sebagai kualitas kontradiksi yang menciptakan kondisi objektif dalam hal corak produksi masyarakat. Inilah yang dimaksud kontradiksi dasar. Kontradiksi dasar adalah kontradiksi yang menempatkan antara satu kelas dan kelas lainnya pada posisi yang saling bertentangan. Atau dalam bahasa Marxis, between bourguese and proletariat there are manifestation of the irreconcilability of class-antagonism. Dengan demikian antara burjuis dan proletarait mengandung kontradiksi dasar yang saling bertentangan dan tak bisa didamaikan. Sebagai contoh, kepentingan kelas pemilik modal pada satu sisi adalah melakukan hukum kapitalisme; bagaimana dengan modal sesedikit mungkin bisa meraup untung serakus mungkin. Dengan demikian, ia sebagai segelintir orang pemilik modal dalam prakteknya bagaimana mengeksploitasi buruh yang mayoritas dengan sekian banyak siasat untuk mencuri nilai lebih sehingga terakumulasi setumpuk kekayaan. Melihat dua kelas ini kita melihat dua segi yang saling bertentangan; satu sisi burjuis pengin untung besar satu sisi lain buruh pengin sejahtera. Dalam konteks ini tidak mungkin mengandung hukum kompromi atau kesalehan selain tipu daya seorang maling licik, lihai lagi pintar. Kontradiksi dasar adalah bagaimana menguak kebenaran adanya penghisapan dari satu kelas terhadap kelas lainnya sehingga terjadinya manifestasi dari antagonism kelas. Adapun adanya perubahan kontradiksi dasar akan disusul terjadinya perubahan kwalitas pertama menuju kualitas berikutnya. Sebagai contoh dalam pelataran masyarakat kapitalis; terdapatnya penghisapan kelas burjuasi terhadap proletariat merupakan suatu kontradiksi dasar dalam sepanjang sejarah masyarakat kapitalis. Kontradiksi dasar ini akan lenyap dengan mensyaratkan hancurnya masyarakat kapitalis menuju masyarakat yang baru di bawah payung sosialisme-komunisme. Pasal ini mengajak kepada kita untuk meneliti dengan seksama apa yang menjadi kontradiksi dasar dalam masyarakat kita saat ini. Hanya dengan demikian kita akan mengetahui dengan jelas bagaimana kenyataan lama harus dirubah, dengan antitesis apa, dan kita akan mengetahui sejauh mana perubahan itu mengandung ciri kualitatif atau tidak. Keempat: Kontradiksi Pokok Dalam setiap tingkat perkembangan tertentu, tidak semua kontradiksi mengandung ciri yang sama. Di antara kontradiksi ini selalu ada satu hal yang memainkan peranan utama atau peranan pokok. Kontradiksi pokok adalah kontradiksi yang menjadi poros utama, yaitu poros yang paling menentukan, yang mampu memimpim dan yang mampu mendobrak untuk memenangkan suatu perjuangan. Sebagai yang pokok ia juga akan menentukan yang tidak pokok. Kontradiksi pokok ini menjadi aktor penentu dan paling utama. Sebagai contoh, dalam revolusi nasional 1945, kontradiksi pokok adalah kontradiksi antara proletariat nasional melawan imperialisme asing yang telah mengeksploitasi dan menindas selama 300-an tahun. Dalam posisi ini, proletariat Indonesia menjadi aktor pokok yang memimpin dan menentukan, sementara 4 burjuis kecil macam Sukarno, Hatta, Sjahrir atau Amir, hanyalah sebagai faktor non-pokok. Namun apa yang terjadi dengan revolusi kemerdekaan nasional adalah kesalahan fatal, yakni ketika faktor non-pokok (policy 4 burjuis kecil yang memilih meja perundingan dan bukan revolusi total) menjadi yang memimpin dan menentukan, maka telah terjadi pengkhianatan pada hukum pokok massa tertindas. Dalam kasus ini kita bisa membaca bagaimana kualitas revolusi nasional adalah suatu peristiwa yang tidak banyak berubah atas nasib proletariat indonesia. Dalam kasus ini kita bisa bersaksi, 4 burjuis kecil itu tidak memakai hukum dialektika, tapi memakai logika hukum kompromi khas burjuis kecil yang oportunis dan tak teguh pendirian. Sehingga proletariat Indonesia terjebak dalam pepesan kosong bernama nasionalisme. Ketika nasionalisme bukan sebagai kontradiksi pokok, ia telah merampok posisi aktor-aktor pokok yang semestinya hanya mereka yang mampun menyelesaikan kontradiksi pokok. Kelima: Mutasi Kontradiksi Pasal ini mengandung pengertian, bahwa dalam suatu kontradiksi pokok senantiasa diganggu dengan banyak kontradiksi yang juga dimainkan, dengan demikian kontradiksi pokok ini tidak tetap kedudukannya. Pergeseran atau penggantian kedudukan kontradiksi ini disebut mutasi kontradiksi pokok menuju non-pokok. Sebagai contoh di zaman kita sekarang di bawah orde reformasi, pihak imperialis setelah berhasil mendongkel kekuasaan Soeharto dari tampuk kepemimpinan pemerintah, berusaha menghalau dan menutup akses tampilnya aktor-aktor dalam kontradiksi pokok semisal kelas buruh atau kelas petani Indonesia. Cara menutupi atau menggeser kontradiksi ini dengan menebarkan bermacam-macam isu semisal kontradiksi agama, kontradiksi etnis, otonomi daerah, elite kontra elite, tentara kontra sipil dan semua upaya untuk menggeser agar tidak muncul kontradiksi pokok yang meletakkan kelas buruh kontra kelas majikan dalam pergolakan di Indonesia. Jelas, kawan, dalam pasal ini kita diajak untuk membaca dan membongkar persoalan dengan seksama, bagaimana kita harus mampu membaca setiap daya upaya licik musuh-musuh kita dalam menutupi kontradiksi pokok. Untuk melawan mutasi kontradiksi ini jelas kita harus mengenali sebaik-baiknya keadaan untuk mencapai bagaimana syarat-syarat kontradiksi pokok akan lahir dan muncul memimpin keadaan. Sebab hanya dengan demikian kita akan dapat mendorong dan mempercepat pencapaian perubahan kualitas. Keenam: Kontradiksi Antagonis Adalah kontradiksi dalam pengertian bahwa penyelesaian antara dua kelas yang saling bermusuhan adalah mengandung cara yang saling menghancurkan dengan kekerasan sebagai jalan penyelesaian permusuhan. Tanpa penghancuran atau kekerasan, ia tak akan menyelesaikan masalah. Sebagai contoh, penyelesaian masalah antagonism kelas antara burjuis dan proletariat adalah bagaimana kelas proletariat merebut dengan cara kekerasan (karena kompromi mustahil) sebagai alat produksi yang semula dimiliki burjuis menjadi milik mereka bersama. Perebutan adalah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan penghisapan dan ketidakadilan. Sebab majikan paling sholeh di dunia sekalipun tidak bakalan ikhlas memberikan pabriknya kepada buruh, atau hanya sekedar membagi nilai lebih secara adil kepada buruhnya. Karena kemustahilan inilah maka pabrik harus direbut, majikan harus ditaklukkan dan pabrik dan semua assetnya dikelola secara kolektif berdasar kesepakatan kelas buruh sendiri. Sementara non-antagonistik untuk sementara mengambil peran seperti melakukan kompromi di meja perundingan, melakukan protes, mogok kerja atau cara-cara boikot. Cara ini disebut non-antagonis karena belum melakukan perebutan yang lebih manifes seperti merebut pabrik, merampas tanah dari tangan tuan tanah besar. a2.Perubahan Kuantitatif menuju Perubahan Kualitatif Ia memiliki pengertian: hukum perubahan itu terdiri dari dua syarat, yakni tingkatan kuantitatif menuju kualitatif. Pada tingkatan kuantitatif ia berlangsung secara evolusioner dan menyiapkan perubahan yang lebih kualitatif; tetapi sampai pada batas tertentu, apabila bingkai lama telah diterjang, masyarakat lama sudah terbuang atau mencapai titik maksimum perubahan, maka ia telah melewati tapal batas kuantitas dan beranjak ke kualitas. Pada tingkatan kualitas ia bersifat revolusioner karena telah merubah kualitas lama menjadi kualitas baru. Sebagai kaum Marxis kita harus akurat membaca, apakah perubahan politik yang dilokomotifi kaum reformis Indonesia sekarang telah mencapai perubahan kualitas atau belum? Untukmenjawab pertanyaan ini tak perlu mengutip dogma, cukup membaca kenyataan. Kondisi objektif memaparkan pada kita tentang bagaimana upah buruh yang jauh di bawah angka kesejahteraan, buruh-tani yang tidak punya tanah belum mendapat legitimai hukum formal yang memungkinkan mereka mendapat tanah untuk kelangsungan hidupnya. Sementara kaum miskin kota, mereka tetap hidup di emperan toko, tanpa rumah, tanpa jaminan sosial, tanpa pekerjaan tetap selain mengemis pada kelas kaya yang lalu-lalang dengan mobil mewah di muka tubuh mereka yang lusuh. Menyaksikan realitas ini adakah perubahan kualitatif atas rakyat negeri ini? Ingat dan camkan kawan, perubahan kuantitatif tanpa disusul perubahan kualitatif adalah terjebak dalam pepesan kosong reformisme seperti sekarang menimpa kita dan rakyat negeri ini. Sedangkan perubahan kualitatif tanpa didahului proses kuantitatif adalah spekulasi dan avonturisme. Maka inilah tantangan yang kita hadapi, bila kita membaca Indonesia masa kini yang kapitalistis, setengah feodal dan juga mengandung fasism, maka pertanyaannya adalah bagaimana perubahan menuju Indonesia yang sosialistis? Inilah pertanyaan yang harus kita jawab bersama. Bagaimana kita harus merancang perubahan bertolak dari kuantitatif untuk mencapai perubahan kualitatif. a3. Hukum tentang Negasi dari Negasi Negasi bermakna meniadakan. Negasi dari negasi bararti proses meniadakan yang meniadakan. Hukum negasi dari negasi adalah metode mengungkapkan arah atau kecenderungan umum dari gerak atau perkembangan sesuatu. Ia mengandung perubahan dari kualitas lama menjadi kualitas baru dalam proses peningkatan dan perkembangan dari bentuk yang rendah, sederhana menuju ke bentuk yang lebih tinggi dan kompleks. Itulah sebabnya hukum negasi dari negasi ini memuat makna progresif karena ia tidak mengenal mundur atau mandek, melainkan maju. Sebagai ilustrasi dari hukum ini mari kita ambil contoh: Mari kita ambil sebutir biji padi, jika biji padi itu ditabur di atas tanah yang cocok dan kemudian didukung hawa dn kelembaban yang cocok, ia akan mengalami perubahan yang khas; bagaimana ia berkecambah dan tumbuh kehijauan. Perubahan bentuk dari biji ke tumbuhan itu proses negasi, karena biji telah berubah menjadi tumbuhan. Ketika tumbuhan itu subur dan matang dan akhirnya menghasilkan butir-butir padi yang banyak dan masak, pohon itu pun mati ( sebagai negasi dari negasi). Sebagai akibat dari negasi dari negasi ini kita mendapat butir padi yang banyak dan berlipat-lipat, bukan cuma satu sebagaimana semula. Sebagai contoh dalam sejarah masyarakat, terdapat sebuah tesis yang menyatakan bahwa masyarakat bermula dari komunitas primitif yang homogen. Invdividu-individu waktu itu pada dasarnya tidak berbeda satu sama lainnya, di antara meraka tidak terdapat ciri-ciri dari karakter atau fungsi-fungsi produksi yang berbeda. Masyarakat terhimpun dalam komunitas yang lebih bermakna ketimbang individu. Namun pada perkembangannya (negasi I) dimulai dengan munculnya alienasi atau masyarakat kelas (perbudakan, feodalisme, kapitalisme) yang mencerai-beraikan komunitas bermakna tadi. Pada tahap perkembangan individu-individu yang ekstrem ini proses disintegrasi sosial terjadi dalam relasi struktural. Ketidaksejajaran, hisap-menghisap, perintah-memerintah (ketidakadilan struktural) menjadi ciri utama masyarakat ini. Sampai datangnya tahap selanjutnya (negasi dari negasi), dengan datangnya sosialisme akan menyeimbangkan kembali kekacauan struktural masyarakat, namun tanpa menghancurkan individualitas. Tidak perlu takut HAM akan diinjak-injak, sebab komunitas sosial baru akan terbentuk bersama tatanan masyarakat yang humanis, berkeadilan dan demokratis. VIII Sekilas Tentang Materialisme Historis Materialisme historis dipahami sebagai perluasan prinsip-prinsip materialisme dialektik pada analisa mengenai kehidupan masyarakat, atau pengeterapan prinsip-prinsip materialisme dialektik pada gejala kehidupan masyarakat, atau semua aspek yang terjadi dalam fenomena masyarakat dan sejarah. Bertolak dari proposisi bahwa yang terpenting dari filsafat adalah bukan hanya bongkar pasang makna tentang dunia namun bagaimana ia mampu merubah kenyataan dunia, Karl Marx meneruskan konsistensi pemikirannya pada kasus hukum dialektika sejarah dalam masyarakat manusia. Sementara itu dalam materialisme historis, Marx menunjukkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, menjabarkan secara ilmiah mata rantai sebab-sebab kelahiran, perkembangan dan kehancuran sistem masyarakat beserta kelas-kelas sosial dalam suatu kurun sejarah. Marx menfokuskan pada tinjauan objektif atas corak produksi masyarakat sebagai struktur dasar masyarakat. Hubungan corak produksi yang melibatkan keselarasan antara aktivitas masyarakat berikut bahan-bahan dan perkakas yang ada sebagai basis material (faktor determinan) pembentuk sistem ekonomi masyarakat dan struktur sosial di dalamnya. Termasuk manivestasi hukum, politik, estetika dan agama. Totalitas produksi inilah yang menyusun masyarakat sekaligus dijadikan dasaran tempat berpijak struktur-atas politik yang sah berdiri dengan pongah. Sampai pada puncak perkembangannya, ketika suatu sistem produksi yang ada mengandung kontradiksi yang melibatkan pertentangan kekuatan-kekuatan produktif dalam masyarakat—kelas tanpa modal versus kelas berkuasa dan bermodal—maka hukum sejarah berlaku dialektik. Yakni perubahan yang sesuai dialektika hukum objektif, di mana masyarakat bawah yang terperas dan terhisap akan melakukan perombakan secara revolusioner sebagai anti-tesa sistem lama menuju sistesa dalam masyarakat baru yang diperjuangkan sendiri oleh semua kaum tertindas (proletariat). Lenin berpendapat, dengan ditemukannya konsepsi materialisme historis, ia telah mengatasi dua kelemahan pokok dari teori-teori sejarah terdahulu. Pertama, mereka paling hanya meneliti motif-motif ideologis dari aktivitas sejarah manusia, tanpa menyelidiki apa yang melahirkan motif-motif tersebut dan tanpa berpegang pada hukum-hukum objektif yang menguasai perkembangan sistem hubungan sosial. Mereka juga tidak melihat akar-akar dari hubungan-hubungan pada tingkat perkembangan produksi materi. Kedua, teori-teori sejarah terdahulu tidak meliputi tinjauan aktivitas masyarakat dalam berbagai aspek corak-corak produksi dan perkembangannya. Sedang materialisme historis Marx meninjau keadaan objektif sosial dan perubahan dalam hukum dialektikanya dengan tingkat akurasi yang hampir menyamai ilmu-ilmu alam. Sebab dalam materialisme historis, Marx menunjukkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, menjelaskan secara objektif kelahiran, perkembangan dan kehancuran suatu sistem masyarakat. Ia juga menyatakan bahwa pencipta sejarah sebenarnya adalah massa rakyat kelas pekerja, bukan individu istimewa macam raja atau pahlawan. Pencarian konsepsi materialisme historis Karl Marx itu sendiri, terhitung sejak Naskah-Naskah 1844 sampai Ideologi Jerman, pada akhirnyanya menemukan taman pemikirannya dalam Tesis-Tesis tentang Feuerbach yang ditulis Marx dalam bulan Maret 1845. Dalam pengantar buku Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Jerman Engels menyebut 11 Tesis Karl Marx ini sebagai dokumen pertama yang di dalamnya terkandung benih-benih brilian pandangan dunia baru. Dalam tesis ini Marx mengupas dalam rumusan kritis pokok-pokok pikiran materialisme Feuerbach yang dipandang Marx tidak historis. Feuerbach di dalam pikirannya membuat seorang manusia abstrak yang mendahului masyarakatnya; ia tidak hanya menurunkan manusia menjadi seorang saleh, namun juga gagal melihat bahwa rasa saleh itu sendiri merupakan produk sosial, dan bahwa manusia abstrak yang ia analisis itu termasuk dalam suatu bentuk masyarakat tertentu. Kedua, materialisme Feuerbach tetap berada pada tingkat suatu doktrin filsafat yang semata-mata menganggap gagasan-gagasan sebagai renungan dari kenyataan material. Pada kenyataannya ada hubungan timbal balik antara kesadaran dan praksis manusia. Sebagaimana ahli filsafat materialis terdahulu, Feuerbach memperlakukan kenyataan material sebagai sesuatu yang menentukan kegiatan manusia, dan tidak menganalisa modifikasi dunia ‘objektif’ dengan ‘subjeknya’, yaitu dengan kegiatan manusia. Dengan cara lain Marx juga membuat titik persoalan menjadi sangat penting dengan mengatakan bahwa doktrin materialisme Feuerbach itu tidak bisa menangani fakta, bahwa kegiatan revolusioner adalah hasil dari tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan sadar dan yang dikehendaki, tetapi sebaliknya Feuerbach menggambarkan dunia ini dalam kaitan pengaruh ‘searah’ kenyataan materi atas gagasan-gagasan. Akan tetapi dikemukakan sendiri dengan terus terang oleh Marx dalam Tesisnya, bahwa “keadaan diubah sendiri oleh manusia dan ..... sang pendidik sendiri pun harus dididik .... Dengan demikian Marx mengkonsepsikan pengertian materialisme historis sebagai kontruksi sejarah masyarakat yang berasal dari basis material dalam suatu proses daya cipta, pemenuhan kebutuhan dan penciptaan ulang dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat manusia yang tiada henti. Faktor daya cipta inilah yang membedakan manusia dan binatang, yang kebutuhannya bersifat instingtif, pasti dan tidak banyak berubah. Manifestasi daya cipta manusia ini terletak pada kerja sebagai tulang punggung produksi, yang dimaknai sebagai pengejawantahan segenap daya kreatif manusia-manusia dan lingkungan sekitarnya sebagai landasan dari masyarakat manusia. Dengan demikian kehidupan sosial pada hakekatnya adalah berisi kegiatan-kegiatan praktis; kerja dan berproduksi. Segala kegaiban yang menyesatkan manusia pada pelarian mistik, telah menemukan pemecahannya yang rasional dalam praktek kerja nyata manusia dan dicerahkan dalam pemahaman praktek itu sendiri. Inilah pencerahan versi materialisme historisnya Marx. A. Kelas-kelas, Antagonism Kelas dan Perjuangan Kelas Teori kelas merupakan satu peralatan kunci dalam kajian Marxisme. Ambisi Karl Marx untuk membangun analisa secara sistematis perihal teori kelas, pada akhirnya tak kesampaian karena malaikat maut keburu datang dan merenggut pena tajam dari tangannya. Dalam satu bab khusus (bab 52) dan paling akhir dalam Capital jilid III, Marx memberi judul “Kelas-kelas” (Classes) dan baru menginjak separuh dari lembar kedua. Penyajiannya diakhiri dengan sepenggal kata-kata dari editor sekaligus kawan terkaribnya, Frederick Engels: “Di sini manuskrip terputus” (Karl Marx, 1962, 863). Frederick Engels, sang Editor juga tidak melanjutkan pembahasan bab terakhir dan terpenting tentang “kelas-kelas” ini. Namun demikian, bukan berarti Karl Marx tidak mempunyai konsepsi tentang kelas. Dalam buku terpentingnya Das Capital jilid I-III, The Class Struggle in France 1848-1850 maupun Manifesto Komunis bertebaran di dalamnya penjabaran tentang kelas-kelas sosial yang sangat membantu memberikan pengertian kelas-kelas sosial seperti apa yang hendak dikonsepsikan Karl Marx. Istilah kelas atau kelas-kelas itu sendiri konon bermula dari para penguasa Romawi untuk membagi penduduk ke dalam kelompok-kelompok pembayar pajak, yang tentu tak menduga akan menjadi peralatan kunci dalam kajian sosial, terutama oleh Marx. Kategorisasi yang dibuat oleh para penguasa Romawi menyebutkan adanya kaum assidui, yakni mereka orang-orang yang termasuk ke dalam 100.000 penduduk yang mereka hormati; di lain pihak terdapat kaum proletarii, yakni mereka yang hanya memiliki ‘kekayaan’ yang terdiri dari sejumlah anak-cucu (proles) dan yang menang atas lumpenproletariat hanya karena dihitung menurut jumlah kepala (capita censi) mereka belaka. Melakukan tinjauan terhadap kelas-kelas dalam sejarah dan masyarakat dengan perspektif Marxian, konsepsi kelas tidak pernah lepas dari tesis pokok Karl Marx perihal corak produksi masyarakat sebagai basis-struktur terbangunnya super-struktur dengan segenap konsekuensi struktural teririsnya masyarakat dalam kelas-kelas sosial. Sejarah masyarakat itu sendiri, seperti yang diungkapkannya dalam Manifesto Komunis merupakan periodesasi yang sarat dengan pertarungan kelas. Ide-ide atau pemikiran yang menguasai suatuzaman tertentu, selamanya adalah ide-ide milik kelas yang berkuasa. Di setiap zaman cara berpikir kelas berkuasa selalu adalah cara berpikir yang berkuasa pula; yakni kelas yang menguasai kekuasaan material masyarakat, yang bermakna sekaligus menguasai intelektual masyarakat. Kelas yang mengendalikan alat-alat produksi material adalah sekaligus mengendalikan alat-alat produksi intelektual. Dengan demikian, dalam tinjauan kontemporer bisa dimaknai bahwa konsepsi negara modern merupakan suatu perserikatan yang diselenggarakan oleh kaum burjuis dan pastilah institusi yang dibentuk untuk melayani kepentingan kaum burjuis sendiri itu sendiri. Konsep kelas dengan demikian diambil dari perspektif ekonomi-politik. Kelas-kelas dipertegas lagi dalam koeksistensi konflik yang saling bertentangan dan jatuh dalam pola dominasi dan eksploitasi yang memunculkan antagonisme kelas yang tak terdamaikan. Yang ada dalam corak produksi masyarakat kapitalistik, misalnya, kemudian hanyalah antagonisme dua kelas pokok; kelas proletariat yang melarat sebagai pihak terhisap dan tertindas dan kelas burjuis yang loba dan bergelimpangan harta sebagai pihak penghisap dan penindas. Jawaban atas polarisasi kelas ini menurut Marx tidak ada pilihan lain kecuali perjuangan kelas sebagai manivestasi penjungkalan struktural kelas berkuasa (the ruling class) lewat jalan kekerasan bernama revolusi proletariat. Sebuah “aksara penuh api dan darah” perjuangan kelas menuju keadilan sejati milik mayoritas kaum proletariat ini, dimaknai sebagai muatan kongkrit hukum dialektika sejarah yang ia pinjam dari Hegel. Manifesto Komunis Karl Marx dan Engels dalam perspektif historis menafsirkan bahwa sejarah yang terentang dari semua masyarakat adalah sejarah panjang perjuangan kelas. Orang-orang merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli dan tukang pembantu, pendeknya; penindas dan yang ditindas senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lainnya, melakukan perjuangan tiada putus-putusnya, terkadang dengan sembunyi, terkadang terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan kembali masyarakat umumnya atau sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan. Dalam zaman permulaan sejarah, hampir di mana saja kita dapati suatu susunan rumit dari masyarakat yang terbagi menjadi berbagai golongan, menjadi banyak tingkatan kedudukan sosial. Di Roma purbakala terdapat kaum patrisir, kaum kesatria, kaum plebejer, kaum budak dan pada abad pertengahan terdapat kaum tuang feodal, kaum vasal, kaum tukang-ahli, kaum tukang pembantu, kaum malang dan kamu hamba; di dalam hampir semua kelas ini terdapat lagi tingkatan-tingkatan bawahan. Masyarakat borjuasi modern yang timbul dari reruntuhan feodalisme tidak mampu menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau. Namun masa kita, masa borjuis, mengandung gejala yang jelas telah menyederhanakan antagonisme kelas itu. Masyarakat umumnya kian lama kian pecah menjadi dua kelompok yang sangat bermusuhan, dua kelas besar yang keduanya berhadapan secara langsung; borjuis dan proletar...... Borjuasi di banyak tempat telah menghanyutkan getaran yang paling suci dari damba keagamaan, dari gairah kesatriaan, dari sentimentalisme filistin, ke dalam air dingin pembayaran tunai dan perhitungan egoisme yang menjadi akar-akar dari watak loba manusia. Melakukan telaah bagaimana terbaginya masyarakat dalam kelas-kelas sosial, pembahasan bisa dimulai dari penjabaran sebagai berikut: bahwa perkembangan masyarakat itu sendiri ditinjau oleh Marx sebagai hasil interaksi yang produktif dan berulangkali antara alam dan manusia. Manusia, bukankah mulai membedakan dirinya dari binatang, segera setelah ia mulai aktivitas memproduksi peralatan kehidupannya? Proses Produksi dan reproduksi kehidupan, keduanya merupakan kepentingan mendesak, yang didiktekan oleh kebutuhan-kebutuhan biologis dari organisme manusia, dan yang lebih penting lagi merupakan sumber kreatif dari kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan-kemampuan. Dengan demikian kegiatan produksi itu, baik dalam pengertian sejarah maupun analitis, merupakan akar dari masyarakat. Produksi adalah ‘tindakan sejarah pertama’; dan ‘produksi kehidupan material adalah syarat dasar dari semua sejarah, yang – seperti ribuan tahun lampau—harus dipenuhi tiap jam, tiap hari, tiap minggu dan seterusnya guna menopang kehidupan manusia. Konsepsi kelas lahir sebagai keniscayaan derivatif pembagian produksi dalam masyarakat yang sesuai dengan watak produksinya. Lebih khusus lagi irisan-irisan kelas terbentuk melalui hubungan antar pengelompokan-pengelompokan individu dengan kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi. Dalam konsepsi Marx, kelas-kelas ini membentuk mata rantai utama antara hubungan produksi dalam masyarakat, atau struktur luar biasa dalam masyarakat. Hubungan antar kelas merupakan poros utama dan kekuasaan politik didistribusikan di sekitar sumbu ini, sedangkan organisasi politik tergantung pada sumbu ini pula. Dalam konteks inilah, kekuasaan ekonomi dan politik bertalian erat sekali. B. Konsepsi tentang Negara Kata ‘ideologi’ pertama kali muncul dalam bahasa Inggris pada tahun 1796 sebagai terjemahan langsung dari kata baru Perancis ideologie, yang diperkenalkan oleh seorang filosof bernama Destutt de Tracy. Ia mengartikan ideologi sebagai konsepsi pengetahuan yang dibedakannya dengan konsepsi metafisika kuno. Selanjutnya ideologi sering dipakai dalam teori epistemologi dan linguistik sampai abad ke-19. Dalam pengertian berbeda, kata ideologi ini juga dipopulerkan oleh Napoleon Bonaparte yang digunakan secara khusus untuk menyerang prinsip-prinsip kaum republik dan Destutt de Tracy sebagai musuh politiknya. Sementara itu Karl-Marx dan Engels juga terlibat dalam pengertian ideologi sebagaimana yang tertuang dalam karya-karya The German Ideology dan Ludwig Feuerbach und der Ausgang der Klassischen Deutschen Philosophie (1888). The German Ideology merupakan sebuah buku yang menyerang secara langsung tradisi ideologi filsafat Jerman yang pekat dengan tradisi idealisme yang bersumber dari metafisika dan spiritualitas. Karl Marx dalam konteks ini memberikan jawaban yang bersumber dari relasi material dalam sejarah yang kemudian membangun dunia gagasan bernama ideologi. Sebuah konsepsi ideologi yang dinyatakannya sebagai ‘kenaikan dari bumi ke surga’ dan bukan sebaliknya. Dalam keseluruhan ideologi manusia dan kemunculan relasi terbaliknya sebagaimana dalam kamera yang kabur (camera obscura), hal ini suatu keharusan sebagaimana proses kehidupan sejarah sebagai pembalikan (inversi) objek pada retina yang memang seharusnya pada kelangsungan proses kehidupan fisik mereka. Dalam oposisi langsung terhadap filsafat Jerman yang turun dari surga ke bumi, maka inilah kenaikan (mikraj) dari bumi ke surga. Ini bermakna bahwa proses kita tidak berasal dari apa kata orang, apa yang mereka khayalkan atau imajinasikan, bukan pula berasal dari apa yang telah orang-orang katakan, telah mereka khayalkan atau imajinasikan untuk sampai suatu pengertian darah-gading manusia; kita berproses dari manusia yang sungguh-sungguh aktif dan menyaksikan pertumbuhan refleksi ideologi dan bergema dari proses kehidupan nyata (Karl Marx dan Frederick Engels, 1957, 74) F. Engels, menjelaskan: Negara memperlihatkan diri kepada kita sebagai kekuasaan ideologi yang pertama atas umat manusia. Masyarakat menciptakan untuk dirinya sendiri suatu alat untuk melindungi kepentingan umumnya terhadap serangan baik dari dalam maupun luar. Alat itu adalah kekuasaan negara. Baru saja lahir, ia langsung menciptakan dirinya lepas dan berhadap-hadapan dengan rakyat. Ia memang telah menjadi alat kepentingan dari kelas khusus (F. Engels, 1963, 64) Dalam sebuah surat untuk Mehring (1893), Engels juga menjelaskan: Ideologi merupakan sebuah proses ulung dengan apa yang kemudian dinyatakan oleh para pemikir dengan sengaja namun penuh dengan kesadaran palsu. Motif nyata mendorong mereka tetap yang tidak mereka ketahui, akibatnya hal ini tidak menjadi proses ideologi seluruhnya. Karena itu dia mengkhayalkan motif-motif nyata atau palsu. Karena proses berpikir dia berasal dari dua bentuk dan berisi dari pikiran murni, baik dia sendiri maupun leluhurnya (Raymond Williams, 1985, 155). Berkaitan dengan pengertian ideologi, baik Marx maupun Engels menggunakannya sebagai pisau pengupas gagasan-gagasan konservatif kelas berkuasa dan membikin perhitungan dengan para pemikir dari kelas burjuasi yang harus bertanggung jawab atas kesempurnaan ilusif di balik jubah kepentingan ideologi mereka. Pengertian utama ideologi konservatif dimaknainya sebagai konsepsi yang penuh ilusi, kesadaran palsu, tidak nyata, realitas terbalik. Baik Marx maupun Engels berkeyakinan bahwa ideologi berupa filsafat dan agama selalu jauh dan menjauh dari realitas basis material dan basis ekonomi. Sebagai balasannya, Marx menjelaskan bahwa untuk menerangi ilusi realitas ideologi tersebut maka persoalan bukan bertolak dari metafisika, spiritualitas, agama ataupun pikiran murni, melainkan dari kondisi-kondisi yang paling nyata, material, basis produksi ekonomi masyarakat. Konsepsi Marx dan Engels tentang negara, ideologi dan politik tidak lepas dari konsepsi kelas-kelas dalam masyarakat sebagaimana yang dikonsepsikan dalam pandangan materialisme historis. Dalam karya buku Contribution to the Critique of Political Economics (1859), Marx kemudian melahirkan satu konsepsi tentang apa yang dinamakannya sebagai basis-struktur dan supra-struktur. Pengertian basis-struktur adalah: Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki hubungan-hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tergantung pada kemauan mereka; hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan tertentu dari tenaga-tenaga produktif materialnya. Jumlah seluruh hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat, dasar nyata di mana di atasnya timbul suatu bangunan atas yuridis dan politis dan dengannya bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu bersesuaian. Cara produksi kehidupan material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik dan spiritual pada umumnya. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya, keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Bangunan-bawah (basis-struktur) dimaknainya sebagai basis produksi kehidupan material masyarakat yang menjadi batu fundasi tempat berpijaknya bangunan-atas (supra-struktur), wilayah dilangsungkannya faktor-faktor sosial, politik dan spiritual masyarakat. Basis-struktur itu sendiri terbagi dalam dua bagian, pertama) tenaga-tenaga produktif yang dimaknai sebagai kekuatan-kekuatan yang dipakai masyarakat untuk mengerjakan dan mengubah alam. Sebagai kekuatan perubah ia terdiri dari tiga unsur: alat-alat kerja, kecakapan manusia dengan alat kerjanya dan pengalaman-pengalaman dalam produksi. Kedua) hubungan-hubungan produksi yang dijabarkan sebagai hubungan kerja sama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi, pemilik modal dan buruh, misalnya. Sementara itu bangunan atas juga mempunyai dua unsur tatanan: pertama) Tatanan institusional sebagai lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi. Mencontohkannya, sistem pendidikan, sistem pasar, sistem kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, sistem hukum dan negara. Kedua) memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna dan orientasi spiritual kepada usaha manusia. Dalam konteks ini termuat pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas masyarakat, nilai-nilai seni-budaya dan sebagainya. Ideologi kaum burjuasi dengan sistem kapitalisme yang dianut dan dikerjakan oleh para pendukungnya juga menjanjikan terbentuknya tatanan masyarakat yang demokratis dan sejahtera. Kesemua kepentingan itu mereka termuat di dalam sebuah sistem besar: tatanan kehidupan politik bernegara dan bermasyarakat. Menyimpulkan analisa tentang negara kapitalis serta kepentingan ideologi, Engels mengatakan: negara adalah hasil dari masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; ia adalah pengakuan bahwa masyarakat ini telah terlibat dalam suatu kontradiksi-kontradiksi yang tak terpecahkan dengan sendirinya, bahwa ia terbelah dalam antagonisme-antagonisme tak terdamaikan dan tak mampu dilenyapkan olehnya. Tetapi supaya antagonisme-antagonisme ini, kelas-kelas yang berbenturan dalam hal kepentingan ekonomi, jangan membinasakan dirinya dan masyarakat dalam perjuangan yang tiada hasilnya, suatu kekuasaan tampaknya berdiri di atas masyarakat menjadi perlu untuk tujuan melunakkan bentrokan, mempertahankan di dalam ikatan-ikatan susunan tata tertib; dan kekuasaan ini, yang timbul keluar dari masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atas dan semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat, dan itulah negara. Dengan merujuk pada tinjauan ini, bagaimana Engels sebagai salah seorang bapak Marxisme, meninjau konsepsi negara sebagai hasil dan bentukan kelas atas dan ia memanifestasikan antagonisme-antagonisme kelas yang tak terdamaikan. Dengan demikian kepentingan ideologi kelas burjuasi dan kelas berkuasa termuat di dalam konsepsi tata tertib negara yang berfungsi sebagai wasit yang berpihak pada kaum burjuasi. Negara dalam konteks ini bermakna sebagai institusi politik atau pihak penjaga sistem (status quo), yang menjaga kohesi kelas, mengaburkan antagonisme kelas dan melanggengkan ideologi kelas atas. Konsepsi ini jelas lahir sebagai derivasi dari pemahaman materialisme historis dan dialektika historis yang pada pencapaian sejarah masyarakat telah melahirkan negara. Counter ideologi yang ditawarkan Marxisme tentu saja bukan sembarang counter moral atau politik semata terhadap ideologi kaum burjuasi (kapitalisme); Marxisme bahkan menawarkan antitesa-nya, lawan tanding yang meniadakan negara berpaham kapitalisme sekaligus menawarkan sistem baru secara radikal dan komprehensif. Dalam German Ideology Marx menulis: “Komunisme bagi kami bukan keadaan yang diciptakan, cita-cita yang wajib diikuti oleh kenyataan. Kami menyebutnya komunisme sebagai gerakan nyata yang meniadakan keadaan sekarang. Sedangkan syarat-syarat gerakan itu dapat disimpulkan dari pengandaian yang terdapat sekarang. Cukup jelas kiranya bahwa dalam kajian Marxisme, posisi negara, politik dan ideologi berada di wilayah suprastruktur. Artinya, sebagai suprastruktur ia berada dalam determinasi basis-struktur, yakni ekonomi atau kelas yang berkuasa secara ekonomi. Pertentangan ini dengan demikian terjadi di tiga aras utama, pertama) Aras ekonomi yang melibatkan antara kaum tanpa modal yang dieksploitasi oleh kaum pemilik modal dan alat produksi, kedua) Aras politik akan merebak seiring dengan pertentangan kelas karena relasi mereka dengan kekuasaan politik negara disebabkan negara selalu mewakili kelas khusus atau kelas burjuasi. Kelas proletar berjuang dengan organisasi politik dengan maksud merebut kekuasaan negara dan menghancurkan negara burjuis. Ketiga) Aras pertentangan ideologis juga terjadi ketika kaum proletar harus berjuang karena kaum burjuis memakai indoktrinasi untuk mengelabuhi massa rakyat baik dengan agama, pendidikan, keluarga, partai politik dan media massa yang mereka biayai. Melakukan telaah lebih jauh di aras suprastruktur politik dalam konteks anatomi negara kapitalis dengan demikian memuat beberapa hal pokok: yakni negara menjadi instrumen penting yang disusun menurut cara yang sesuai dengan organisasi normatif masyarakat kapitalis. Kelangsungan operasional negara banyak disuntik dari dukungan monopoli kapital. Dalam relasi antar kelas, negara berfungsi sebagai manajer krisis yang jelas tidak mampu mendamaikan kepentingan antar kelas yang berbenturan, sehingga ketika terjadi krisis kapitalisme ini bermakna krisis negara permanen. Bagaimana pun negara beserta sistem politik yang diciptakan selalu melayani dan mempertahankan supremasi kelas burjuasi. Negara sebagai benteng pertahanan kelas atas juga membangun dirinya sistem pertahanan dengan aparatus kekuasaan seperti tentara, polisi dan birokrasi. Pada golongan tentara maupun polisi mereka digunakan untuk menghadapi ancaman fisik para pemberontak atau penentang sistem, sementara birokrasi dipakai untuk mengurusi kepentingan administratif kelas atas. Keduanya menjadi sub-sistem negara. Supremasi hukum lebih banyak menciptakan ilusi keadilan sosial karena seakan-akan negara dapat melaksanakan tindakan pemerataan kekayaan pada kelas-kelas sosial. Posisi politik sebagai suprastruktur berarti pemisahan kekuasaan dari demokrasi langsung dari kelas proletariat. Bagaimana proses pemilihan para wakil rakyat hanya memungkinkan sampai di kotak suara, sehingga negara juga memungkinkan mencegah gerakan politik anti-kapitalis yang bersifat kolektif dan terorganisir. Namun ketika Marxisme menyatakan negara beserta perangkat dan sistemnya tetap tak mampu mendamaikan kelas, hal inilah sumber konflik politik yang membuktikan dan mencerminkan pertentangan antar kelas, bagaimana kelas bawah yang tertindas dan tak terakomodasi dalam koridor formal sistem politik negara akan terus melakukan perjuangannya secara terus menerus. Revolusi kelas akan menjadi faktor determinan hancurnya tatanan lama atau langgengnya kekuasaan tersebut. Ketika sistem politik negara modern juga mengenalkan kekuasaan lagislatif atau parlementarisme sebagai bagian dari komponen relasi formal masyarakat dan negara, ideologi politik kaum Marxis tetap menolak jalan demokratis liberal (burjuasi) yang sudah lazim berlangsung dalam masyarakat modern ini. Dalam buku Perang dalam Negeri di Perancis, Marx menyatakan: “Komune haruslah sebuah badan pekerja, bukannya badan parlementer yang sekaligus eksekutif dan legislatif .... Hak pilih umum juga bukanlah untuk menetapkan sekali dalam tiga atau enam tahun anggota yang mana dari kelas berkuasa harus mewakili dan menindas rakyat di dalam parlemen. Tetapi hak pilih umum haruslah mengabdi rakyat, tersusun dalam komune-komune seperti halnya dengan hak pilih perseorangan yang mengabdi setiap majikan yang mana saja dalam memilih buruh, mandor dan pemegang buku untuk perusahaannya. Lebih dalam lagi Lenin dalam buku Negara dan Revolusi selain melakukan peninjauan terhadap diktatur proletariat dan format demokrasi proletar, ia juga meninjau sistem parlementerisme ini di negara-negara Barat sebagai warung obrolan berisi omong kosong dan hanya menipu rakyat. Ia mencontohkan di Amerika, Swiss, Perancis, Inggris, Norwegia maupun di Rusia sebelum kemenangan kaum Bolshevik; di negeri-negeri tersebut urusan sebenarnya dari negara dilakukan di belakang layar dan dikerjakan oleh departemen-departemen, kementerian dan staf-staf umum pemerintah. Parlemen itu sendiri dibiarkan menjadi arena pembicaraan para petugas yang disuap dan sudah bisa ditebak putusan akhirnya. Di Rusia sendiri sebelum kemenangan kaum Bolshevik, Lenin mencermati kaum sosialis-revolusioner dan Menshevik di parlemen yang hanya untuk bermain resmi-resmian membuat resolusi dan putusan hiburan yang hanya menipu kaum buruh serta buruh-tani di desa-desa. Oleh sebab parlementarisme sebagai institusi politik masyarakat burjuis di mana kemerdekaan berpendapat dan berunding telah merosot menjadi lembaga penipuan rakyat, maka dalam pandangan kaum Marxis, parlementarisme harus dihapuskan. Disebabkan sistem negara modern tidak berpihak pada kelas tertindas, baik Marx maupun Engels sama-sama menyatakan, negara sebagai mesin politik kelas berkuasa menjadi sasaran utama pertarungan politik dan harus direbut dengan cara kekerasan lewat revolusi kelas proletariat. Diktatur proletariat akan melangsungkan sendiri demokrasi ekonomi-politik kelas tertindas, bagaimana pabrik dikelola secara bersama dan dibagi untuk kepentingan bersama, bagaimana negara direbut dan parlementarisme diganti dengan komune yang bekerja sebagai perwakilan politik kaum tertindas dan diisi sendiri oleh orang-orang yang mereka percayai. Demikianlah, bagaimana konsepsi negara kaum kapitalis di-antitesa-kan dengan konsepsi negara sosialis sebagai masa transisi menuju tatanan masyarakat tanpa kelas dalam zaman komunisme: zaman demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, masyarakat tanpa kelas, egalitarian dan adil-sejahtera bersama-sama. Setelah misi tersebut tercapai, masyarakat komunis tercipta, maka menurut paham Marxisme, negara diktatur proletariat bukan saja tidak dibutuhkan lagi, tetapi bahkan negara sebagai lembaga harus dihapus. Masyarakat untuk kemudian mengurus dirinya sendiri, tanpa ada lembaga kekuasaan yang permanen. Kalau ada persoalan, secara ad hoc masalah itu dibicarakan untuk dipecahkan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat komunis adalah masyarakat tanpa negara. Dengan demikian, dalam pemikiran Marxisme, negara dengan kekuasaan mutlak hanya diperlukan pada waktu terjadi transisi dari sosialisme menuju komunisme (Tj). ***** Daftar Pustaka Aidit, D. N., 1963, Tentang Marxisme, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Jakarta Brewer, Anthony, 1999, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Teplok Press, Jakarta. Engels, Frederick, 1963, Perkembangan Sosialisme dari Utopi Menjadi Ilmu, Jajasan Pembaharuan, Jakarta. ---------------------, 1963, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klassik Jerman, Jajasan Pembaharuan, Jakarta. --------------------, 1962, Anti-Duhring, Third edition, Foreign Languages Publishing House, Moscow. Elster, Jon, 2000, Karl Marx: Marxisme Analisis Kritis, Pt. Prestasi Pustakaraya, Jakarta. Giddens, Anthony, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Penerbit UI, Jakarta. Godechot, Jacques, Revolusi di Dunia Barat, UGM Press, Yogyakarta. Lange, Frederick Albert, 1950, The History of Materialism, Routledge and Kegan Paul, ltd, London. Lenin, Vladimir Illich, 1961, Negara dan Revolusi, Jajasan Pembaharuan, Jakarta. ----------------------, 1964, Ajaran-Ajaran Karl Marx, Haruman Hidup, Jakarta. Malaka, Tan, 1962, Madilog, penerbit Widjaya, Jakarta. Manual, 1964, Fundamentals of Marxisme-Leninisme, Progress Publisher, Moscow. Marx, Karl, 1890, Capital Vol. I, Foreign Languages Publishing House, Moscow. ---------------------, The Poverty of Philosophy, Foreign Languages Publishing House, Moscow. Marx, Karl dan F. Engels, Manifesto Komunis, Yayasan Bintang Merah. ---------------------, 1957, On Religion, Foreign Languages Publishing House, Moscow. ---------------------, 1962, Selected Work in Two Volume, Foreign Languages Publishing House, Moscow. McDougal, William, 1929, Modern Materialism and Emergent Evolution, Methuen and Co ltd, London. Soebantardjo, 1956, Sari Sejarah Eropa-Amerika, Penerbit Bopkri, Yogyakarta. Stalin, J. W.,1955, Materialisme Dialektika Historis, Jajasan Pembaharuan, Jakarta. Wood, Alan and Ted Grant, 1995, Reason in Revolt: Marxist Philosophy and Modern Science, Wellred Publications, London. William, Raymond, 1985, Keyword, Oxford University, NY.