Materialisme Dialektika Historis
Perkenalkan !!!
MDH
(Materialisme • Dialektika • Historis)
Senjata Filsafat Milik Kelas Tertindas
PEMIKIRAN INI BUKAN UNTUK HIASAN SALON INTELEKTUAL SEMATA.
NAMUN UNTUK DIPAHAMI DAN DI-PRAXIS-KAN
UNTUK KALANGAN LUAS RAKYAT TERTINDAS!
Semacam Prolog
Kepada kawan-kawan yang budiman,
Draft pemikiran di tangan Anda berjudul “Perkenalkan, MDH
(Materialisme-Dialektika-Historis) Senjata Filsafat Milik Kelas
Tertindas” ini menjadi kebutuhan pokok untuk memperkokoh fundasi
ideologi perjuangan kita. Kenapa bahan ini semacam ‘sembako Perjuangan’,
sebab ia membahas persoalan filsafat sebagai peralatan untuk berpikir
radikal, komprehensif dan progresif yang memandu kita di setiap langkah
perjuangan. Penggunaan filsafat berpikir ini akan sangat menentukan cara
pandang kita agar terhindar dari pemikiran yang spekulatif dan
avonturistik. Cara pandang dalam filsafat ini adalah pisau tajam
pengelupas alam pikir klenik (magis-mistis); cara berpikir yang banyak
dipakai oleh kaum feodal di Abad Tengah yang penuh kegelapan itu. Tujuan
penggunaan filsafat ini adalah pencerahan akal budi dan nurani kita
untuk mempersenjatai diri melawan paham-paham milik kaum
penghisap-penindas.
Saya menamakan ini draft pemikiran sebab pembahasan ini masih banyak
kelemahan. Hal yang harus senantiasa diperbaharui khususnya adalah
tafsir filsafat Marxist atas kondisi kontemporer yang terus bergerak dan
berkembang. Bila tidak ditempa dalam konteks zamannya, ia menjadi dogma
yang menjemukan. Maka dari itu masukan berupa kritik dan saran sangat
dinanti untuk memperkokoh pemahaman kita. Akhir kata, bahan ini semoga
bermanfaat bagi kita semua, kawan-kawan yang tak peduli dalam suka atau
lara, ramai atau sepi, malam atau siang, 24 jam! senantiasa dalam agenda
revolusi kelas internasional untuk terciptanya keadilan sejati bagi
landasan hidup kemanusiaan semesta.
sampai menang!
Jogjakarta, Oktober 1999
Tjakra
I
Apakah Gerangan Filsafat?
“Semua orang punya akal budi dan berpikir, namun tidak semua orang
filosof”
Orang banyak kerap berpendapat bahwa filsafat itu bukan ilmu sembarangan
karena terkesan rumit, abstrak, mengawang-awang, tidak praktis dan
tidak merakyat. Kerap juga orang dalam masyarakat kita menyebut filsafat
itu lebih dekat pada klenik, atau berfilsafat sama dengan pekerjaan
paranormal yang tukang meramal segala peristiwa yang akan terjadi.
Itulah pendapat awam. Padahal tidak demikian. Mari kita bersihkan
‘filsafat’ dari debu-debu pengertian yang secara tidak sesuai telah
mengotorinya. Selanjutnya mari kita memaknainya secara bersih dan benar;
baik dari latar belakang sejarahnya, arti kata maupun pengertian dalam
operasionalisasi kegiatannya.
Filsafat senantiasa hidup dalam pikiran setiap manusia dalam kegiatan
keseharian masyarakat. Tidak ada seorang pun yang lepas dari filsafat
kecuali orang-orang yang tak berakal atau tidak menggunakan akalnya.
Melacak akar kelahiran filsafat, ia tumbuh bersemi pada tahun-tahun
600-an Sebelum Masehi (SM) di negeri Yunani Kuno. Jauh hari sebelum
pertumbuhannya, masyarakat Yunani Kuno merupakan masyarakat yang masih
mempercayai takhayul dalam bentuk dongeng atau mitologi. Segala bentuk
dongeng diterima begitu saja sebagai kebenaran yang tak perlu dibuktikan
lagi. Mitos waktu itu telah menjadi semacam iman masyarakat. Bagaimana
mitos diciptakan? Realitas ini bisa dijabarkan sebagai berikut:
Mitologi yang lazim dalam bentuk dongeng atau cerita-cerita merupakan
cerita yang direka-reka dari fantasi atau imajinasi manusia. Dongeng ini
biasanya berjalan secara tradisional, dilanggengkan secara lisan dan
turun-temurun antar generasi. Masih ingatkah kawan ketika Anda masih
bocah, di saat malam menjelang bobok Emak kita mendongeng tentang si
Kancil, ular Baru Klinting, hikayat Sangkuriang, dsb. Itulah mitologi
atau takhayul. Demikian juga yang terjadi di Yunani. Emak-emak orang
Yunani Kuno juga gemar mendongeng kepada anak-cucunya tentang berbagai
hikayat seperti Herakles, Oedipus, Pelayaran kaum Argonaut, pengembaraan
Odysseus, peperangan Troya, juga cerita tentang dewa-dewi dari langit.
Walaupun sistem mitologi Yunani Kuno paling komplit dan sistematis
dibanding masyarakat lainnya, namun yang namanya mitologi di mana saja
tetap sebuah hikayat penuh fantasi sebagai cara pandang suatu masyarakat
terhadap dunia dan alam semestanya.
Daya cipta masyarakat Yunani Kuno dalam menciptakan mitologi tak lepas
dari kondisi objektif manusia itu sendiri. Mereka memuja langit dengan
segala tanda-tandanya, memuja matahari yang memancarkan cahaya dan
menimbulkan panas yang memberi hidup, memuja laut juga gunung-gunung dan
bentuk kekuatan alam lainnya. Lama-lama mereka menciptakan
bentuk-bentuk seperti manusia kepada benda-benda yang dipujanya
dilengkapi sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia dengan kekuatan dan
kelemahannya. Keburukan, malapetaka, kebencian, dendam, keadilan,
cinta-kasih dan kebajikan ditempelkan pada benda-benda dan dewa-dewi.
Hal ini berarti, fantasi manusia dalam penciptaan mitologi dibentuk dan
ditentukan oleh alam sekitar dan segala fenomena yang menyertainya.
Sampai pada suatu waktu sekitar 600 tahun SM, sebagian kecil masyarakat
Yunani Kuno mulai bosan dan tak puas dengan dongeng-dongeng dalam
mitologi tersebut. Maka mulailah mereka mencari bukan dengan fantasi
melainkan akal pikiran (logos). Pada titik inilah dimulainya masa baru
dalam pemikiran manusia yakni pemikiran filsafat.
Filsafat itu gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani: philo
(kebenaran) dan sofia (cinta). Filsafat dengan demikian mempunyai arti:
cinta pada kebenaran atau kebijaksanaan. Kebenaran apakah yang pantas
dicintai? Kebenaran yang senantiasa dicari dengan akal budi manusia yang
mandiri sampai menemukan hakekat kebenaran yang sejati. Orang-orang
yang punya akal waras dan sibuk berpikir dalam upaya mencari kebenaran
yang sejati itulah yang disebut dengan ‘filosof’ atau ‘pencari
kebenaran’. Seorang yang mencari ada apa di balik tabir rahasia yang
terhampar di alam semesta, rahasia di balik tatanan hidup masyarakat,
alam pikiran manusia dan persoalan-persoalan hakekat lainnya. Kenapa
kebenaran harus dicari? Sebab kebenaran itu tak ter-beri secara gratis
begitu saja, atau sesuatu yang sudah tersedia di hamparan alam semesta
sehingga tinggal petik seperti kita memetik buah pepaya dari pohonnya.
Dengan demikian, berfilsafat adalah bentuk kegiatan yang menggunakan
akal sebagai perkakas untuk mencari dan menguji suatu kebenaran sampai
ke akar-akarnya (radikal), menyeluruh (komprehensif) dan mendalam.
Bersama logos inilah yang membedakan diri antara kegiatan berfilsafat
dan kegiatan bertakhayul (mitos).
Kenapa kita musti berfilsafat? Toh filsafat tidak bisa bikin perut kita
kenyang? Toh orang yang tidak berfilsafat atau menganut sistem filsafat
tertentu juga bisa hidup? Lantas apa perlunya filsafat?
Barang siapa yang tidak memiliki sistem filsafat tertentu bukannya tidak
bisa hidup, mereka memang bisa hidup, namun pertanyaannya adalah hidup
yang bagaimana? Seorang kawan menjawab pertanyaan ini dengan penjabaran;
orang tersebut memang benar bisa hidup, namun hidup yang senantiasa
terombang-ambing oleh keadaan, berjalan dengan meraba-raba kekaburan
karena tidak punya tongkat yang kokoh sebagai penuntun jalannya. Dengan
demikian, dalam hidupnya kita pastikan Ia akan masuk dalam pengaruh
sistem atau paham tertentu. Mereka akan seringkali berujar penuh
kepasrahan; “bahwa kesengsaraan dan kemiskinan itu sudah takdir dari
Yang Maha Kuasa, sebagai mahluk lemah kita hanya bisa pasrah”. Ini juga
satu pilihan seseorang walaupun jatuh dalam kubangan filsafat mistik.
Atau kalau tidak demikian, ia akan bersepakat tanpa pikir panjang
terhadap suatu sistem/paham yang tengah menguasai alam pikiran mayoritas
masyarakat. Ia tidak pernah tahu apakah paham itu benar dan mengandung
keadilan atau penuh manipulasi sehingga potensial melahirkan kesadaran
palsu dalam diri manusia.
Untuk menyingkap kesadaran palsu, membongkar dan menyerang penipuan yang
berkedok di balik paham/ideologi, serta membangun paham pembebasan;
inilah guna kita belajar filsafat. Belajar filsafat dalam konteks ini
adalah bukan filsafat untuk filsafat atau abstraksi untuk abstraksi yang
tidak merubah kenyataan, namun filsafat untuk praksis yang merubah
tatanan dunia yang brengsek ini. Selanjutnya akan menuntun jalan
perjuangan kita dengan penuh iman yang kokoh. Pengertian iman di sini
tentu pada iman perubahan yang musti rasional dan objektif. Sebab
perubahan tatanan sosial tidak akan berubah dengan hanya pasrah, do’a
dan zikir. Bahkan Tuhan sendiri pun bersabda; bahwa Ia tidak akan
merubah suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak merubahnya. Dengan
demikian, gayung bersambut dari pengertian di atas adalah; kaum
kere-proletariat se-jagat tidak akan berubah kalau mereka hanya diam dan
pasrah pada majikan yang menindasnya. Perubahan akan terjadi ketika
mereka bangkit dengan membangun kekuatan dari diri sendiri dan melakukan
perlawanan terhadap kelas majikan. Inilah titik tolak kita bersama
untuk membangun filsafat pembebasan disusul program-program kongkret
perjuangan menuju keadilan sejati.
II
Sebuah Pengantar
Kondisi Filsafat Sebelum Marxisme
1. Hegel (1768-1843)dan Hegelianisme: Puncak Idealisme
Syahdan di lorong waktu sejarah, pada suatu masa di peralihan abad ke-18
menuju ke-19, dalam perjalanan pemikiran filsafat yang
sambung-menyambung, tersebutlah sebuah perwujudan ideologi burjuasi yang
termuat dalam madzab Filsafat Klassik Jerman. Sebagai ideologi ia
tumbuh bersama membayang-bayangi kapitalisme Jerman yang rada
terbelakang dan feodalisme yang masih berdiri kokoh. Puncak dari
Filsafat Klassik Jerman ini adalah Hegelianisme, filsafat yang berporos
pada pemikiran seorang tokoh bernama Georg Wilhelm Friedrich Hegel,
(1770 -1831). Kejayaan Hegelianisme berarti juga puncak keagungan
filsafat idealisme. Hegel semula belajar teologi dan filsafat bersama
Schelling. Selama beberapa tahun ia bekerja sebagai dosen pribadi,
tetapi berkat warisan ia bisa meneruskan studi di Jena, tempat ia
menjadi dosen filsafat di kemudian hari. Sewaktu kota Jena diduduki
Napoleon (1806), Hegel minggat ke Nurnberg, di sana ia menjadi rektor
Gymnasium. Tahun 1817 ia diundang menjadi guru besar di Heildenberg,
selanjutnya ke Berlin. Di Berlin inilah karir Hegel menemui puncaknya.
Tokoh besar yang oleh para mahasiswa di Berlin dijuluki “professor
professorum”, atau biangnya profesor.
Latar sosio-politik yang melingkupi kehidupan Hegel adalah dimulainya
suatu “zaman bergerak” di hampir semua negara Eropa. Wilayah paling
membara adalah Perancis. Revolusi Perancis membara di sepanjang bulan
Mei 1789 sampai 1799. Rerakan revolusi Perancis sendiri sebenarnya pecah
pada tanggal 14 Juni 1789 dengan diserbunya penjara Bastille oleh
rakyat yang telah muak dengan kekuasaan kaum feodal. Wilayah Jerman juga
terimbas revolusi rakyat Perancis tersebut, terutama dalam hal format
pemerintahan feodal. Namun semenjak naiknya Napoleon Bonaparte
(1799-terhitung semenjak dibubarkannya Directorie kaum burjuis) diganti
dengan Consulate yang dikuasai sepenuhnya Napoleon Bonaparte; seorang
diktatur militer yang mampu menstabilkan pergolakan politik rakyat di
Perancis,yang menjadi arus balik kemerosotan revolusi Perancis.
Pada tahun 1806, Politik luar negeri Prusia memutuskan perang berkoalisi
dengan Inggris dan Rusia untuk melawan Napoleon dari Perancis. Dalam
Perang Koalisi IV ini Prusia-lah yang dihantam habis-habisan oleh
Napoleon dalam pertempuran di Jena dan Auerstadt (1806). Berlin diduduki
Napoleon dan seluruh Prusia menyerah. Ketika menduduki Berlin ini ia
mengumumkan Sistem Continental: suatu blokade ekonomi-politik terhadap
Inggris.
Di Jerman pada tahun 1815 Kongres Wina lahir, Jerman ditetapkan bukan
sebagai negara persatuan lagi, tapi negara konfederasi dari 38
negara-negara kecil. Bentuk konfederasi ini konon upaya pecah-belah dari
Austria yang tidak mau mempunyai tetangga negara yang bersatu dan kuat.
Namun hasrat rakyat Jerman adalah negara kesatuan, yang mau tidak mau
harus menghadapi Austria sebagai lawan. Pada tahun-tahun itu mahasiswa
bergerak dalam Burschenschaft menuntut pemerintahan yang demokratis dan
kesatuan Jerman. Namun gerakan tersebut mampu ditindas oleh pemerintah
Austria yang melarang Burschenchaft dan mengawasi kampus-kampus dengan
ketat.
Di Prusia (Berlin), sekitar tahun 1840-an, rakyat bergerak menuntut raja
Friedrich Wilhelm IV melakukan perubahan pemerintahan secara demokratis
dan liberal. Wilhelm pun tunduk. Kaum liberal membuat UUD yang liberal
pula, namun Wilhelm menolak UUD versi kaum liberal tersebut, yang
berakhir kompromi dengan tawaran versi Wilhelm yang juga punya aroma
liberal. Namun perubahan ini hanya siasat politik Wilhelm, karena
kemudian ia menghajar kaum liberal dengan kekuatan tentara dan akhirnya
pemerintahannya bersifat reaksioner kembali. Dengan demikian gerakan
liberal di Prusia gagal.
Dalam zaman bergerak itulah, Filsafat Klassik Jerman mewarnai masyarakat
Jerman. Sebagai ideologi ia tumbuh bersama membayang-bayangi
perkembangan kapitalisme Jerman yang rada terbelakang dan feodalisme
Frierick Wilhelm III dan IV yang masih berdiri kokoh. Mengapa Filsafat
Klassik Jerman dikatakan sebagai ekspresi ideologi burjuasi? Frederick
Engels, sohib terkarib Marx, mempunyai argumen dalam buku Ludwig
Feuerbach dan Akhir Filsafat Klassik Jerman; betapa orang-orang pintar
Jerman adalah mereka barisan para professor, dosen, mahasiswa yang
karena kepintarannya mereka diangkat oleh negara. Pemikiran dan tulisan
mereka dipakai sebagai buku pelajaran di sekolah-sekolah, bahkan
Hegelianisme pada taraf tertentu dilantik dalam barisan filsafat resmi
negara kerajaan Prusia! Suatu yang bisa kita bayangkan, apakah mungkin
di belakang para professor itu, di balik kata-kata mereka yang abstrak,
samar, sok-pengetahuan, dan deretan kalimat mereka yang boyak dan
menjemukan itu, tersembunyi hasrat dan gelora api revolusi?
Sebagai contoh pengetarapan idealisme Hegel, tidak ada dalil filsafat
yang menimbulkan rasa terima kasih dari pemerintah feodal (monarkhi
Friedrick Wilhelm III) dan menerbitkan kemarahan kaum liberal waktu itu,
selain pernyataan Hegel yang terkenal, “segala sesuatu yang riil adalah
rasional dan segala sesuatu yang rasional adalah riil”. Pernyataan ini
adalah pernyataan reaksioner, karena telah memperkuat sendi-sendi
pemerintahan negara-kerajaan Prusia. Dalam arti lain, Hegel telah
mengirimkan do’a restu filsafat dan melimpahkan pada kekuasaan
despotisme. Mengapa demikian, marilah kita membongkar pernyataan Hegel
ini. Dari proposisi Hegel di atas bermakna bahwa dalam proses
perkembangannya realitas yang terbukti adalah suatu keharusan, rasional
dan nyata. Pernyataan ini jelas mengandung pembenaran terhadap segala
sesuatu yang nyata dan ada, yakni segala kebijakan politik-ekonomi
despotisme Monarkhi Prusia. Sebagai contoh, pungutan pajak yang tinggi,
badan sensor, mahkamah untuk kejahatan rakyat, penjara, dan segala polah
tingkah negara selama itu nyata berarti suatu keharusan dan berarti
pula suatu yang patut dan masuk akal warasnya Hegel (riil-rasional).
Aristokrasi dengan demikian direstui hak eksistensinya oleh Hegelianisme
(idealisme). Karena barang siapa menolak taat pada negara adalah
anarkhisme.
Dalam filsafat hukum Hegel pun, terbukti ide absolut-nya direalisasi
dalam monarkhi yang berdasarkan pangkat-pangkat sosial yang oleh
Friedrich Wilhelm III dijanjikan begitu gigihnya, tetapi sia-sia kepada
warga negaranya, yaitu di dalam kekuasaan terbatas, lunak, tidak
langsung dari kelas-kelas The Have yang sesuai dengan syarat-syarat
burjuis kecil Jerman kala itu. Itulah kenapa filsafat klasik Jerman dan
Hegelianisme menjadi elemen ideologi kaum burjuasi yang reaksioner.
Ajaran hegel tersebut adalah:
A. Idealisme Absolut
Filsafat Hegel berambisi menemukan kembali Yang- Mutlak, menyisihkan
yang nisbi atau semu. Seluruh kenyataan merupakan satu kejadian besar
dan kejadian besar tersebut adalah kejadian roh. Roh Absolut ini adalah
Allah. Allah di sini bukan dimengerti Allah sbg persona, tetapi lembaga
Allah (Illahiah) yang immanen dan transenden. Segala sesuatu,menurutnya,
bersumber dan berpuncak dari Roh Absolut ini.
B. Struktur Dialektis Filsafat Hegel.
Namun harus diakui, sumbangan Hegel terhadap sejarah perkembangan
pikiran umat manusia sangatlah besar nilainya. Dalam pemikiran Hegel
yang istimewa adalah pasal tentang hukum dialektika. Dalam banyak forum
Hegel acap menyatakan, “yang penting di dalam filsafat adalam metode,
bukan kesimpulan-kesimpulan khusus mengenai tetek-bengek abstraksi”.
Sebagai pewaris filsafat sebelumnya Hegel tergolong istimewa karena
mampu merumuskan metodologi dialektika paling komplit. Dengan
tersusunnya Metode dialektika Hegel, maka terjadi revolusi berpikir yang
menghancurkan metodologi tradisional-konservatif milik kaum
metafisikawan yang sudah berkuasa 2000 tahunan. Bagaimana metode
dialektika Hegel menghancurkan paham metafisika?
Ia memaparkan kelemahan-kelemahan metodis metafisika, pertama) mereka
tidak memandang sesuatu secara keseluruhan dan organik, tetapi menilik
secara sendiri dan parsial. Kedua) mereka tidak memandang realitas dari
geraknya, tapi objek yang mandek, tetap dan imanen. Padahal dalam metode
dialektika Hegel, segala sesuatu itu berkembang, berubah dan banyak
mengandung kontradiksi intern. Ketiga) Hegel menolak proses evolusi
vulgar yang linear. Ia menawarkan teori baru “triade-triade dialektis”,
yakni rangkaian dialektis terdiri 3 tahap, tesis-antitesis-sintesis.
Arti dari trilogi ini adalah, ada-tidak ada-menjadi, atau dalam formula
filsafatnya tercipta, “hukum (lahiriah)-moralitas (batin)-kesusilaan
(sintesis lahir-batin). Dialektika merupakan suatu irama yang
memerintahkan seluruh pikiran Hegel.
Betapapun canggihnya metode dialektika Hegel namun tetap saja ia
terbungkus dalam kulit mistik, reaksioner, yakni pandangan filsafat
induknya yang masih berada di tataran idealisme. Sehingga ia memandang
kenyataan dengan logika terbalik. Kontradiksi yang ada dalam filsafat
Hegel ini justru mencerminkan keadaan masyarakat Jerman dalam masa
burjuasi-demokratik. Kapitalisme di Jerman waktu itu yang belum sekokoh
feodalisme, kondisi ini mencerminkan filsafat Hegel; di mana di tingkat
metode dialektis ia revolusioner dan berpihak pada burjuasi, namun di
sisi induk filsafatnya masih idealism yang justru memperkokoh kedudukan
feodalism. Kelemahan dan watak kompromis Hegel ini mencerminkan
kerapuhan burjuasi Jerman yang masih takut pada status quo dan tidak
melihat realitas ketertindasan rakyat yang mengandung potensi
pergolakan.
C. Ajaran tentang Sejarah dan Negara
Hegel memahami sejarah sebagai gerak ke arah rasionalitas dan kebebasan
yang semakin besar. Roh Absolut berdiri di belakang sejarah, dan sejarah
mendapat ungkapan yang paling kuat dalam negara. Karena negara
mempunyai kehendak, ia dapat bertindak. Dengan demikian negara
mengungkapkan hasrat Roh Absolut ; ia merupakan perjalanan Allah di muka
dunia. Negara modern pasca revolusi Perancis, ia mencontohkan negara
Prusia, merupakan pengejawantahan rasionalitas dan kebebasan. Dalam arti
itu Hegel memandang negara mempunyai kehendak sejarah, dan barang siapa
yang tidak mentaati negara, maka ia telah menolak kebenaran objektif
sejarah.
2. Tampilnya Ludwig Feuerbach (1804-1872)
Selanjutnya tampillah Feuerbach. Semula ia bercita-cita mau jadi pendeta
protestan. Di Berlin ia mengikuti kuliah Hegel, namun makin lama makin
jemu ia. Feuerbach selanjutnya melakukan penyangkalan terhadap idealisme
Hegel tentang Roh Absolut. Roh absolut baginya sama saja dengan omong
kosong metafisika, teologi dan takhayul sejenisnya. Berkaitan dengan
reoh semesta yang berada di balik semua kenyataan, ia menyatakan manusia
kalau begitu hanya menjadi wayang-wayang dari seorang dalang bernama
roh semesta tersebut. Menurutnya, Hegel ini telah memutar balikkan
kenyataan. Bahwa seakan-akan yang nyata adalah Allah. Padahal yang nyata
itu kan manusia, sehingga Allah itu hanya bikinan manusia. Atau, bukan
manusia di pikiran Allah, tapi Allah di pikiran manusia. Teologi dan
metafisikan dengan demikian masih menduduki filsafat Hegel. Menurutnya
hanya dengan ateisme dan materialisme saja yang bisa mengalahkan teologi
dan metafisika. Dan Feuerbach pun menyatakan, hakekat dunia adalah alam
material yang berada di alam ruang dan waktu.
Mengelupas Hegel dari selubung teologi dan metafisika, Feuerbach
menanggalkan sandaran Hegel pada Tuhan dan Roh Absolut dan
menggantikannya dengan manusia. Dengan terobosan pemikiran yang berani,
Feuerbach mendeklarasikan ateisme sebagai alat penangkal Tuhan dan
meletakkan manusia sebagai pusat bersama realitas materialisme.
Ketuhanan dilepaskan menjadi kemanusiaan. Dalam The Essence of
Cristianity dan publikasi selanjutnya, Feurbach berusaha menjungkirkan
dasar pikiran idealistik Hegel dengan mengatakan terang-terangan bahwa
studi tentang humanisme haruslah berangkat dari “manusia sejati” yang
hidup dalam “dunia materi” yang nyata. Sementara Hegel memandang titik
pandang humanisme bersumber dari “yang benar-benar” (real) sebagai
sumber yang bersifat ketuhanan (divine).
Menurut Feurbach bahwa yang bersifat Tuhan adalah produk dari impian
dari yang nyata; keberadaan (eksistensi) yang mendahului pikiran, dalam
arti bahwa orang yang merenung tentang dunia tanpa didahului bergerak di
dalam dunia itu adalah mustahil. Dengan demikian maka berlakulah yang
sebaliknya, bahwa manusia berpikir tentang Tuhan setelah menyatakan
keberadaannya di dunia nyata yang merekonstruksi semua alam pikiran
manusia. Inilah titik tolak manusia sejati dari kenyataan material. Dus
demikian, sampailah pada sebuah untaian simpul bahwa: “pikiran adalah
kelanjutan dari ‘ada’ dan ‘ada’ bukan merupakan kelanjutan dari
pikiran”. Sementara dalam filsafat Feurbach, Tuhan itu hanya bisa ada
selama manusia bertentangan dengan dirinya sendiri dan sepanjang manusia
mengasingkan diri dari pribadinya. Tuhan adalah ciptaan impian dan
kepadaNya manusia telah memproyeksikan segenap kekuatan dan
kemampuannNya yang maha tinggi, dan demikian dilihat sebagai sempurna
dan maha kuat dan yang sebaliknya menjadikan manusia tampak sebagai
makhluk terbatas dan tak berdaya. Akan tetapi pada saat yang sama,
Feurbach menyatakan perbandingan antara Tuhan dan manusia merupakan
sumber ilham terbesar untuk merealisasikan kemampuan-kemampuan manusia.
Dalam konteks inilah, tugas yang harus diemban filsafat adalah membuat
orang bisa menemukan kembali pribadi manusia sendiri yang telah menjadi
terasing melalui kritik-kritik transformatif dengan cara membalikkan
perspektif Hegel dan dengan demikian membenarkan keunggulan dunia
materi. Agama harus diganti dengan ‘humanisme’ di mana cinta kasih yang
semula ditujukan kepada Tuhan menjadi diarahkan pada manusia sehingga
akan menuntun manusia ke suatu penemuan kembali kesatuan umat manusia
untuk dirinya sendiri. Bila filsafat kuno mengajarkan : “apa yang tidak
terpikir, tidak akan ada, maka filsafat baru berkata sebaliknya bahwa
apa pun yang tidak dicintai, yang tidak bisa dicintai, tidak akan ada”.
III
KARL MARK dan MARXISME
1. Lahirnya Karl Marx
“The Philosophers have only interpreted the world in different ways. The
point however is to change it!”
Orok Karl Heinrich Marx lahir di jelang fajar seolah kabarkan berita
gembira pada alam yang dikuasai kegelapan. Tangis pertamanya pecah pada
tanggal 5 Mei 1818 di rumah sewaan di Bruckengasse, kota Trier, provinsi
Rijn, negara bagian Prusia. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga
rabi yang taat beragama, tapi ayahnya mengajak seluruh keluarganya
pindah agama Protestan sebagai jalan keluar dari politik diskriminasi
terhadap orang-orang Yahudi. Ayahnya bernama Heinrich Heschel Marx,
seorang ahli hukum keturunan Yahudi yang memeluk agama Kristen Protestan
pada tahun 1824. Sedang di pihak ibu, Heinritte Presburg, perempuan
kelahiran Belanda yang tak banyak dibicarakan. Keluarga Karl Marx cukup
berada, sopan dan progresif. Setelah lulus dari sekolah Gymnasium
(setaraf dengan SMU) di Trier, Marx melanjutkan studi di Universitas
Bonn (1835) mengambil studi hukum yang ternyata hanya bertahan setahun.
Ia pindah ke Berlin (1836) untuk menuntut ilmu filsafat dan sejarah.
Selama masa studinya minat terbesar Marx ternyata ilmu filsafat yang
kemudian menghantarkan dirinya sebagai filosof dengan disertasinya
berjudul “Perbandingan antara Filsafat Alam Demokritus dan Filsafat Alam
Epicurus” pada 15 April 1841 di Universitas Jena. Sebagai professor di
Berlin Marx banyak berkomplot dengan The Young Hegelians atau lebih
dikenal dengan kelompok “Hegelian sayap Kiri” bersama Bruno Beuer yang
getol menguji perspektif Hegel dari sudut pandang materialisme.
Pada tahun 1837, di tengah suasana intelektual yang sangat dipengaruhi
filsafat Hegel, Karl Marx tercatat sebagai mahasiswa suatu Universitas
di kota Berlin. Dalam sepucuk surat kepada ayahandanya di tahun itu
juga, ia mengungkapkan bahwa ia tengah tenggelam dalam gairah filsafat
Hegel dan telah mencampakkan Kant dan Fichte yang tak cukup berdaya
membangun fundamen filsafat yang memuaskan akal budinya. Dan telah pula
ia campakkan kesenangan romantisme masa muda dalam puisi lirikal yang
membelai hati. Karl Marx sempat membuat 56 puisi lirikal juga naskah
drama. Pada waktu itu secara kognisi dan afeksi Karl Marx telah bersiap
sedia dalam totalitas diri untuk mencari landasan terkuat sebagai basis
filsafat berpikirnya. Di bawah pengaruh puncak filsafat Hegel, Marx
ketika itu memang menjadi Hegelian bergairah walau bukan penganut
Hegelian ortodok yang membabi-buta.
Minat Marx bermula dari studi filsafat dan hukum selama ia menjadi
mahasiswa di kota Berlin. Menurutnya, dualisme Kant mengenai imperatif
hipotetis dan imperatif kategoris sama sekali tidak cocok dengan
keinginan individu yang hendak menerapkan filsafat dalam usaha mencapai
tujuannya. Terhadap filsafat Fichte ia mempunyai keberatan sama:
filsafat ini memisahkan logika dan kebenaran (seperti halnya yang
menyertai matematika dan ilmu pengetahuan empiris) dari campur tangan
manusia di dalam dunia yang terus menerus berkembang. Oleh karenanya,
pendirian ini harus diisi dengan pendirian yang mengakui keharusan bahwa
‘objek’ itu sendiri yang harus diteliti dalam perkembangannya dan tidak
boleh ada pembagian yang sembarangan. Dasar pemikiran (vernunft) dari
hal ini harus dikemukakan sebagaimana bentuk pertentangannya dan
menemukan kesatuan di dalam objek itu sendiri.
Selepas karier akademik yang terhambat karena kritisisme radikal yang
dianut, Karl Marx bersama Bruno Beuer dan Frederick Engels banyak
mengembangkan pikirannya dalam media massa, di antaranya surat kabar
oposisi “Rheinische Zeitung” (harian Rijn) yang terbit perdana pada
tanggal 1 Januari 1842. Berdiri sebagai media oposisi yang sangat kritis
terhadap kekuasaan Prusia waktu itu, membuat surat kabar radikal ini
tidak berumur panjang. Pada bulan Maret 1843, Rheinische Zeitung
dibreidel atas nama stabilitas politik oleh badan sensor pemerintah
Prusia yang reaksioner. Selanjutnya Marx getol belajar filsafat dan
ketekunannya menghasilkan The Critique of Hegel’s Philosophy of Right.
Pada tahun 1843 itu juga Karl Marx melangsungkan pernikahan secara
sederhana dengan Jenny von Westfalen di kota Kreuznach. Jenny von
Wesfalen adalah pacar Marx sejak keduanya belajar di Gymnasium dan
bertunangan ketika Marx masih menjalani masa mahasiswa. Setelah menikah
ia terpaksa hijrah ke Paris untuk meneruskan sikap kritis intelektualnya
yang tertolak di kampus dan banyak diwadahi dalam terbitan-terbitan
majalah radikal. Di kota Paris itulah ia bersama Arnold Ruge, seorang
Hegelian Kiri yang ditangkap pemerintah Prusia (1823-1830) dan pergi
sebagai buangan politik (1843) di kota Paris. Bersamanya Marx
menerbitkan sebuah majalah bernama Deutch-Franzosische Jahrbucher (ajang
pemikiran Jerman-Prancis) yang ternyata hanya sekali terbit karena
perbedaan-perbedaan perspektif dengan Arnold Ruge, selain situasi
politik yang tidak menguntungkan. Namun dalam majalah ini analisa Marx
sudah menunjukkan benih-benih revolusioner terutama kritik terhadap
peperangan, senjata dan perspektif populisme yang menggerakkan rakyat
jelata dan kaum proletariat. Selama di Paris Marx menghasilkan
karya-karya sebagai komunis awal dalam kritik panjang tentang
kapitalisme, yang dikenal sebagai The Paris Manuscript atau Economic and
Philosophical Manuscript of 1844.
Sampai pada bulan September 1844, Marx kedatangan Frederick Engels,
kawan paling karib dalam pikiran dan tindakan sampai akhir hayatnya. The
Holy Family: or Critique of Critical Criticism lahir dari pena Engels.
1845-1848: Marx telah lama aktif di antara para politisi imigran Jerman
di Paris dan sebagai akibat tekanan dari pemerintah Prusia ia harus
meninggalkan Paris dan memilih Brussel sebagai tempat pengasingannya.
Tiga tulisan penting yang menandai tahun-tahun perjuangannya, pada tahun
1845-1846, bersama Engels bahu-membahu menerbitkan The German Ideology,
yang baru terbit setelah kematian Marx. Dalam buku ini filsafat
materialisme historis mencapai kematangannya. Tahun 1847 terbit buku The
Poverty of Philosophy, suatu jawaban atas Philosophie de la Misere,
karya P.J. Proudhon. Tahun 1848, kolaborasi pemikiran revolusioner
antara Marx-Engels melahirkan karya yang monumental Manifesto Komunis
yang sangat legendaris sebagai panduan teori dan taktik sosialisme
proletariat, sekaligus menjawab kesempitan doktrin Proudhon (juga yang
termuat dalam Poverty of Philoshopy) dan kepicikan sosialisme burjuis
waktu itu. Manifesto Komunis menawarkan rencana baru tatanan masyarakat
dunia yang adil-sejahtera-sejati lewat perjuangan revolusioner kelas
proletariat menuju masyarakat komunis. Manifesto Komunis semenjak
diterbitkannya tidak hanya kitab paling lugas dan garang merobek-robek
sistem munafik borjuasi, merubuhkan menara kardus intelektual beserta
semua bala tentara sistem tua yang boyak dan karatan di belakangnya.
Hingga kini Manifesto Komunis masih banyak dipakai sebagai rujukan teori
dan praksis oleh sebagian besar masyarakat dunia, terutama mereka yang
mengklaim diri sebagai kaum Sosialis-Komunis sejati.
1848-1849: pada 26 Oktober 1848,kabar tentang revolusi proletariat yang
meledak di Paris terdengar sampai di Brussel. Satu minggu kemudian, Marx
kembali ke Paris dan selanjutnya ke Cologne pada awal April untuk
menjadi editor Nueu Rheinische Zeitung yang sempat menerbitkan 300 nomor
sebelum surat kabar ini gulung tikar pada Mei 1849. Dalam
artikel-artikelnya, Marx semula mendorong agar para burjuis Jerman
memperjuangkan revolusi demokratis, namun ketika mereka berpaling dari
apa yang menurut Marx adalah misi sejarah kaum burjuis Jerman,
perlahan-lahan kebijakannya mulai beralih ke kiri. Namun dia tidak mampu
menghadang pasang anti-revolusioner. Ketika Marx diasingkan dari Jerman
pada bulan Mei 1849, dia terpaksa juga meninggalkan dunia politik aktif
untuk beberapa waktu.
1850-1852: dari Agustus 1849 sampai kematiannya, Marx menetap di London.
Dari sekumpulan tulisan Marx di Neue Rheinische Zeitung tentang politik
Perancis yang diterbitkan oleh Engels pada 1895 dengan judul The Class
Struggle in France. Tulisan ini mencakup rentang waktu dari pecahnya
Revolusi Februari sampai Agustus 1850 dan mencakup periode dari 1848
sampai kudeta Louis Napoleon pada Desember 1851. dalam tulisan ini
menjadi sumber utama kita untuk memahami teori Marx tentang masyarakat
kapitalis bersamaan dengan artikel-artikel kontemporer tentang politik
Inggris.
Pada tahun-tahun itu, Eropa dalam semangat revolusi pengetahuan dan
industri seiring dengan dimulainya gelora-gelora api revolusi sosial dan
perkembangan kapitalisme modern. Sementara dalam negeri Prusia,
pertahanan Austria yang semakin tumbuh kuat memaksa Prusia membangun
kekuatan tentara dan sistem pertahanan yang sama kuat. Wilhelm I
mengusulkan kepada Parlemen Prusia untuk kenaikan anggaran membangun
tentara. Namun parlemen menolak sebab takut kalau tentara kuat nanti
akan memukul parlemen sendiri. Konflik antara raja dan parlemen ini baru
berakhir ketika Prusia telah terbukti mengalahkan Austria. 1862, Otto
Van Bismarck tampil sebagai Perdana Menteri. Ia membangun kekuatan
tentara yang kuat dan modern tanpa persetujuan parlemen. Waktu itu
Bismarck membuat apa yang kemudian disebut politik Eisen und Blut:
yakni, politik yang tidak didasarkan pada perundingan, tapi kekuatan
senjata, darah dan kekerasan. Menurutnya Jerman tidak mungkin bersatu
dengan jalan damai, tapi perang dan darah. Sebagai batu ujian pertama,
Prusia membangun koalisi dengan Austria menyerang Denmark (1864).
Prusia-Austria menang dan lewat perjanjian Wina Denmark melepaskan
wilayah Scheswig-Holstein. Keduanya dibagi dua, Prusia mendapat
Scheswig, Austria mendapat Holstein.
Namun karena kekuatan tentara Prusia merasa lebih kuat atas Austria,
maka ambisi politik Bismarck mulai berkobar ingin menaklukkan Austria
juga. Beberapa persiapan pun dilakukan, ia menghubungi Napoleon III di
Biarritz (1865) dan berhasil memikat hatinya dengan iming-iming kalau
Napoleon III bersikap netral, ia akan diberi daerah Jerman di sepanjang
sungai Rijn. Kedua, Bismarck juga melobby Italia, membujuk dan setuju
bahwa Italia akan membantu memerangi Austria dari arah selatan. Sebagai
hadiahnya Bismarck memberikan Venetia. Peperangan pun terjadi, dalam
waktu 6 minggu Austria kalah. Tentaranya dihancurkan, Praha diduduki dan
Wina diancam. Dengan demikian Bismarck berhasil membersihkan kekuasaan
Austria di Jerman. Namun bukan berarti Jerman bersatu telah tercipta.
Melihat kemenangan Prusia atas Austria, Napoleon III di Perancis merasa
terancam dengan kekuasaan Prusia yang menguat dan membesar. Bismarck
sebagai otot-otak tentara berani menantang Perancis untuk berperang.
Maka terjadilah perang antara Prusia dan Perancis (1870-1871). Prusia
berhasil mengalahkan Perancis dan jayalah Prusia membentuk Jerman
Bersatu. Pada tanggal 18 Januari 1871 di bangsal Versailles negara
Kesatuan Jerman diproklamirkan di bawah kaisar Wilhelm I. Selanjutnya
Jerman menjadi negara terkuat di Eropa. Sementara Bismarck jaya di
Eropa, di dalam negeri ia mempunyai dua lawan: kaum Katolik-Roma (Partai
Centrum) dan kaum Sosialis.
Langkah penaklukan pun ditempuh. Pertama, kaum Rooms-Katolik dihancurkan
namun gagal, kemudian didekati dan membangun koalisi. Kedua, koalisi
Bismarck dan Rooms-Katolik ini menghantam kaum Sosialis.
Pada tahun 1859 karya Critique of Political Economy terbit. Buku ini
konon menjadi karya yang paling otoritatif dalam meletakkan dasar-dasar
Marxisme terutama dalam menjabarkan pasal tentang materialisme historis.
1867: Adalah tahun yang sangat penting ditandai dengan lahirnya Capital
I, sebuah karya yang menjawab keraguan banyak pihak dan merupakan sebuah
karya yang sama penting dengan pencapaian Charles Darwin lewat karya
legendaris, Origin of Species. Sekalipun Marx memaksudkan buku ini
sebagai pembelaan terhadap kelas buruh, buku inilah yang secara
terang-terangan membongkar pencurian terselubung kelas burjuasi.
Berikutnya Capital II terbit pada tahu 1884 dan Capital III terbit pada
1894, keduanya diterbitkan oleh kawan karibnya, Engels.
Pada masa bangunnya kembali gerakan demokrasi di akhir tahun 1850 dan
awal 1860, dunia pergerakan memanggil Marx kembali turun ke lapangan
politik praktis. Momen terpenting dunia pergerakan buruh terjadi pada
tanggal 28 September 1864 saat dibentuknya Perserikatan Buruh
Internasional di London. Perserikatan ini adalah apa yang disebut
Internasionale pertama yang terkenal itu. Bisa dikatakan Karl Marx
menjadi jiwa perserikatan buruh internasional ini. Marxlah yang
menggagas dan berusaha mempersatukan pergerakan buruh dari berbagai
negeri. Marx pula yang berjuang ‘membereskan’ pelbagai bentuk dari
gerakan non-sosialisme proletariat pra-Marx (Mazzini, Proudhon, Bakunin,
paham serikat pekerja liberal di Inggris, kaum Lasalle kanan yang
bimbang di Jerman) ke arah selat gerakan buruh yang bersatu. Dan Marxlah
yang menggodamkan teori dan taktik bersama perjuangan proletariat dan
menyeru pada kelas proletariat: “kaum buruh sedunia, bersatulah!”.
Dalam Konferensi Kaum Buruh Internasional itu, pada tahun-tahun pertama
ditandai dengan serangkaian keberhasilan Marx dalam memperjuangkan kaum
buruh melawan faksi pengikut Proudhon; sementara pada tahap berikutnya
ia kurang berhasil dalam mengatasi desakan pengikut Mikhael Bakunin.
Namun karya yang tak kalah penting dalam periode ini adalah The Civil
War in France, sebuah post-mortem berisi kupasan kebangkitan kembali
kembali revolusi 1871 atau yang tenar dengan Paris Commune.
Pada tanggal 2 Desember 1881 istri Marx meninggal dunia. Karl Marx
menyusul wafat dengan damai pada tanggal 14 Maret 1883. Ia dimakamkan di
sebelah kuburan istrinya dan kuburan Helene Demuth, bujang mereka yang
setia yang hampir menjadi anggota keluarga Marx, di Higtgate Cemetery,
London. Demikian sekilas riwayat hidup pujangga jeni terbesar, nabi
peradaban kaum proletariat di bumi yang nyata; Karl Marx.
IV
Maka Datanglah Marxisme
Marxisme, dapat digolongkan sebagai anak emas dari tradisi Renaissance
dan Aufklarung yang keluar dari wilayah idealisme abstrak dan melampaui
semua pemikiran filosof dari tradisi Abad Pencerahan yang pernah ada. Ia
berhasil mematahkan kekokohan bangunan filsafat Hegel yang metafisis,
membongkar empirisisme Feuerbach dan menanggalkan sejarah filsafat dalam
pengertian kritik atas sejarah abstraksi-abstraksi. Corak filsafat
dalam panduan Marxisme selanjutnya adalah filsafat yang bertolak dari
realitas material dan dibumikan bagi perubahan dunia nyata pula.
Pendeknya, Marxisme adalah praxis baru bagi filsafat. Filsafat praxis
yang mencampakkan para filosof burjuis dan amatiran yang melulu
spekulatif; spekulan analisis dan argumentasi secara naif.
Semenjak kelahirannya di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-21 kini,
ia membawa dampak luar biasa bagi orde kehidupan umat manusia terutama
sebagai panduan ideologi massa rakyat tertindas. Sementara bagi para
penentangnya, Marxisme menjadi satu kata yang kotor, momok yang
menakutkan, subversi yang paling subversi, suatu ajaran yang tidak
diberi tempat hanya karena ia sebagai sarana pembebasan kelas tertindas.
Kaum reaksioner seringkali melontarkan tuduhan tidak senonoh terhadap
Marxisme dengan berlindung di balik alasan-alasan semacam kesopanan,
kemuliaan, agama, tata tertib sosial maupun moralitas tradisional. Namun
tetap saja gagal menghambat Marxisme. Karl Marx, walau sudah wafat
lebih dari 100 tahun, sampai detik ini ia seolah ada di sekitar kita.
Teristimewanya, Marxisme menghalau pesimisme kaum tertindas dan
menawarkan dunia baru; optimisme historis sebagai antitesa masyarakat
kapitalisme yang penuh kontradiksi dan antagonisme kelas, serta
mendugakan adanya keadilan merata secara nyata di bumi manusia.
Pergolakan-pergolakan rakyat revolusioner di sepanjang abad itu terutama
di dataran negara-negara Eropa, Amerika Latin, maupun Asia, banyak
diwarnai dan dipandu oleh ajaran ideologi kaum tertindas ini. Disebabkan
Marxisme menolak eskapisme dan mimpi berisi mitos-mitos kosong dan
mencandu, ia menurunkan ajaran tentang filsafat berpikir, metode
berpikir dan seperangkat pisau analisa untuk membedah realitas objektif
dan mengumandangkan perjuangan bersama kaum tertindas untuk merebut
harapan -- firdaus kaum tertindas di muka bumi (Revolusi Sosialisme).
Apakah Marxisme? Sebagai ajaran pemikiran ia mempunyai dua orang bapak
yang sama-sama brewokan: Karl Marx (1818-1883) dan Frederick Engels
(1820-1895). Keduanya dikenal sebagai dwi-tunggal atau sejoli yang
dipertemukan oleh teori dan praksis. Seperti laras dan peluru, keduanya
menyatu sebagai man behind the gun of Marxisme. Kekokohan Marxisme
dibangun dari pengalaman kongkret tiga poros negara dengan keunggulannya
masing-masing; kekokohan sistematika filsafat Jerman, pengalaman
eksperimentasi sosialisme di Perancis dan praxis-politik yang dinamis
dan semarak di Inggris. Namun demikian definisi Marxisme sebagai sebuah
pemikiran ilmiah sering dipandang banyak kalangan penuh ambigu dalam
prasangka buruk suatu tendensi “manipulasi ideologis” tertentu,
ketimbang klaimnya atas status ilmiah. Di satu pihak ada yang mengakui
keniscayaan objektif hubungan keberpihakan Marxisme terhadap satu
golongan sosial (kelas proletar), namun tetap menarik kesimpulan bahwa
Marxisme bukan ilmu karena telah berpihak sehingga tidak obyektif
sebagai ilmu. Di pihak lain ada yang mengakui status ilmiah Marxisme
kemudian menarik kesimpulan bahwa gagasan Marxis tidak bisa hanya
berasal dari sudut pandang proletariat, karena kaitannya dengan kelas
buruh semacam itu akan merendahkan derajat Marxisme hanya ke tingkat
ideologi saja.
Pembantahan ini mencerminkan kebingungan teoritis-dikhotomis dalam dua
hal: pertama tentang sifat-sifat ilmu-ilmu alam, kedua tentang perbedaan
antara ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam acapkali mengklaim diri
sebagai seperangkat pengetahuan yang paling akurat dan obyektif tanpa
pengaruh sosial, makanya ilmu alam ini dianjurkan sebagai model untuk
ilmu sosial yang berambisi menjadi akurat dan obyektif. Namun anggapan
terhadap ilmu alam itu justru adalah buatan sosial, dan berasal dari
persekutuan antara para ilmuan dan kaum burjuis dalam perjuangan mereka
untuk menghapuskan masyarakat feodal dan membangun perekonomian baru
industrial. Seperti kaum burjuis gambarkan hukum-hukum masyarakat
kapitalis sebagai suatu hal yang bersifat alamiah dan abadi, begitu juga
mereka menggambarkan hasil-hasil ilmu alam sebagai suatu kebenaran yang
tak terbantahkan. Namun jika kita menyimak sejarah ilmu alam, kita akan
melihat bahwa hasil-hasil itu merupakan sejumlah kebenaran yang
bersifat temporer dan relatif. Kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil
ini nyatalah dirangsang oleh kepentingan subyektif manusia, dan
hasil-hasil tersebut hanya terbukti benar jika bisa memuaskan
kepentingan manusia tersebut. Makanya mensikapi ilmu alam mari melihat
bukan sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang terus bergerak,
berubah dan berkembang.
Tak perlu panjang lebar terjebak dalam perdebatan dualisme ilmu yang
memperlebar ruang dikotominya, memperbincangkan Marxisme, musti diakui
ia merupakan prasasti hidup paling istimewa yang berisi pandangan ilmiah
Karl Marx yang mempunyai daya tahan luar biasa dari segala gempuran
para penentangnya. Ia tangguh sebagai konsepsi sebab di dalamnya
terhimpun sinergi persenyawaan dari penjabaran rasionalitas ilmiah,
keberpihakan pada moralitas keadilan paling sejati sebagai alas hidup
humanisme universal, sekaligus memberi tongkat pemandu menuju perubahan
nyata lewat proyek revolusi kaum tertindas (proletariat) yang
menjanjikan. Pendeknya, Marxisme menyatukan filsafat, moralitas,
ideologi, ekonomi-politik ke dalam panduan praksis untuk merombak
ketimpangan tatanan struktural masyarakat dunia.
Lantas apakah pengertian Marxisme sesungguhnya? Marxisme itu sendiri
oleh para pengikutnya dibagi dalam tiga komponen utama: filsafat,
ekonomi-politik dan sosialisme. Paparan berikut ini mempunyai pamrih
hanya membentang prinsip-prinsip pokok secara sederhana tentang komponen
dasar Marxisme dalam jabaran sebagai sistem filsafat (materialisme,
materialisme historis, dialektika materialisme dan kelas proletariat).
V
Tentang Filsafat Materialisme
Sejarah pemikiran filsafat merupakan suatu bagian tak terpisah dari
proses sejarah perkembangan masyarakat manusia di muka bumi. Sebagaimana
kita ketahui, filsafat menjadi tonggak pencerah lahirnya rasionalitas
manusia yang sebelumnya terbungkus secara gelap dalam dongeng dan
mitologi yang membutakan pemahaman umat manusia tentang realitas.
Filsafat pula, melalui instrumen akal budi telah mempermalukan dongeng
dusta masa lampau di hadapan generasi baru manusia di teras bumi dengan
memberikan pandangan dunia baru perihal dunia-kehidupan keseluruhannya;
ontologi kehidupan, fenomena alam semesta sebagai realitas objektif
dengan seperangkat hukum-hukumnya, patah-tumbuh masyarakat manusia dalam
sejarah, dan pergumulan pemikiran dan corak produksi masyarakat untuk
menjawab tantangan zaman dari masa ke masa.
Pada pertengahan kedua abad ke-19 hadir sebuah pertentangan sengit
antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama (dogma). Dalam pertarungan
tersebut tampak sekali betapa sains dengan bersenjatakan akal budi lebih
menguasai semua argumen rasionalitas dan memenangkan di semua lini
perdebatan. Perdebatan yang lebih menampilkan antara rasionalitas (ilmu)
sebagai senjata baru masyarakat manusia versus dogma (kepercayaan)
sebagai senjata usang masyarakat lama. Pada pertahanan kaum agama yang
terkalahkan, pada akhirnya mengajukan suatu apologia yang menyatakan
bahwa kitab suci tidak bisa lagi ditafsirkan secara harafiah semata
sebagai bentangan dogma yang mengajarkan kesalehan jiwa sederhana. Pada
perkembangannya setelah kekalahan konsepsi puritanisme agama, perdebatan
pokok di dalam filsafat beralih memperkarakan hubungan antara fikiran
dengan keadaan, antara realitas dunia-subyektif dan dunia-obyektif.
Dalam peta sejarah pertarungan pemikiran filsafat selanjutnya maka
tersebutlah dua aliran besar: materialisme versus idealisme. Keduanya
bertarung dengan mengerahkan segenap bala tentara argumentasi terhebat
yang dimiliki akal budi untuk memperebutkan dalil kebenaran tentang;
apakah instansi pertama yang hadir dan determinan sebagai konstruksi
realitas? ide atau materi, jiwa atau alam, pikiran atau kenyataan?
Titik tolak pemikiran Karl Marx tidak selalu menginduk pada filsafat
Hegel. Sebagai penjelajah filsafat, Karl Marx juga menemukan Feurbach
yang memposisikan pemikiran filsafatnya sebagai lawan tanding utama
filsafat Hegel terutama dalam konteks kritik agama dan sejarah.
Selanjutnya, materialisme Feuerbach. Terhadap kedua filosof ini, Marx
dan Engels merombak dialektika Hegel (yang idealis menjadi materialis)
dan membongkar materialisme Feuerbach (yang non dialektik menjadi
dialektik). Maka jadilah materialisme dialektik.
Namun demikian, Marx melakukan tinjauan kritis terhadap materialisme
Feuerbach. Filsafat Feuerbach mengandung beberapa kelemahan: yakni,
pertama) materialisme Feuerbach adalah materialisme naturalis. Dalam
pandangan ini pemaknaan terhadap manusia bukan sebagai bagian dalam
realitas kemasyarakatan yang mempunyai hukum produksi, namun manusia
hanya sebagai anggota dari unsur-unsur alamiah. Posisi manusia dan
pemaknaan Feuerbach ini sangat lemah karena manusia berada di luar
hubungan produksi kemasyarakatan, juga bukan pelaku aktif dalam
pekerjaan mengubah alam. Kedua) materialisme Feuerbach non-dialektik;
yakni memandang segala sesuatu hanya bersandar pada materialisme an
sich, sehingga terjebak dalam naturalisme yang mekanik dan intuitif.
Sementara itu Karl Marx sendiri menulis dalam pembukaan buku “Das
Capital vol. I”, dengan menyatakan berseberangan dengan filsafat
idealisme Hegel. Bagi Hegel, proses kehidupan otak manusia terdapat
dalam proses berpikir, pada tataran mana, atas nama “The idea”, oleh
Hegel malah diubah ke dalam subjek yang berdiri sendiri, adalah pencipta
(demiurgos) dunia yang nyata dan dunia yang nyata hanyalah bentuk
luaran, fenomena dunia yang nyata sebagai bentuk dari “The idea”. Sedang
menurut Marx sebaliknya, “The idea” tiada lain dari dunia materi yang
direfleksikan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam
bentuk-bentuk pemikiran manusia (Karl Marx, 1890, 19).
Sementara Engels juga menjawab Hegel dalam bukunya Anti-Duhring. Bahwa
persatuan dunia tidak terjadi dari keadaan atau kejadiannya. Persatuan
dunia yang nyata terjadi dari wujud ke-materi-annya dan ini telah
dibuktikan oleh usaha keras filsafat dan ilmu alam. Jika kita bertanya
dari manakah datangnya pikiran dan kesadaran? Kita mendapat jawab, bahwa
mereka adalah hasil otak manusia, dan manusia adalah hasil alam yang
berkembang bersama-sma dengan kenyataan di sekelilingnya. Maka Hegel
adalah seorang idealis; bahwa pikiran-pikiran dalam kepalanya seperti
rumah kaca berisi realitas-realitas materi, sedang materi itu sendiri
berikut evolusinya hanyalah refleksi idea belaka yang sudah ada pada
suatu tempat, bahkan lebih dahulu dari dunia. Ini adalah
penjungkir-balikan realitas dengan apa yang acap dianalogkan; berjalan
dengan kepala, berpikir dengan kakinya. Inilah pekerjaan kaum idealis.
Dalam satu simpul pendek penjabaran, Manual menuliskan dalam buku The
Fundamental of Marxisme-Leninisme; filsafat materialisme adalah filsafat
yang melakukan penyangkalan kenyataan roh sebagai pencipta kenyataan.
Filsafat materialisme berlandaskan pada pengakuan organik semua
kenyataan materi; yakni eksistensi alam—bintang, matahari, bumi beserta
gunung, lembah dan ngarai, samudra dan hutan, binatang dan manusia yang
diberkati dengan kesadaran dalam kemampuan berpikir. Tiada fenomena pada
hal-hal ghaib. Manusia adalah kesatuan partikel dari bermacam-ragam
unsur alam dengan kesadaran sebagai satu kecakapan dalam diri manusia.
Lebih lanjut Manual menyatakan bahwa idealisme adalah filsafat penuh
kegelapan (philoshophy of gloom). Banyak bukti bisa kita ajukan dalam
sejarahnya. Adalah filsafat idealisme, bukan materialisme, yang pernah
menyangkal kemampuan manusia dalam memperoleh pengetahuan dan
menyebarluaskan ketidakpercayaan terhadap sains. Berapa banyak sudah
para ilmuan yang mati hanya karena menemukan teori objektif (kebenaran
rasional) yang kebetulan menyalahi dogma idealisme dan agama. Adalah
pekerjaan idealisme yang senantiasa menjadi sumber ideologi bagi
manifestasi kebencian yang anti-humanisme--teori rasis dan kegelapan
fasis. Idealism pula yang sering berlindung di bawah kekuatan
supranatural hanya untuk melanggengkan kekuasaannya. Suatu tindakan yang
banyak disingkiri oleh filsafat materialism.
A) Materi adalah Material
Dalam pengertian filsafat materi adalah segala sesuatu yang terhampar
secara nyata (material) dalam realitas alam semesta. Keberadaannya tidak
tergantung pada manusia, ide, jiwa maupun roh. Taruh contoh, gunung
yang berdiri kokoh, bilamana suatu saat ia meletus; adalah murni proses
gerak materi dari kondisi alamiah yang tersusun dan mengakibatkan
letusan. Ia tidak pernah dikendalikan ole ide atau roh. Juga angin yang
bertiup, daun-daun yang berguguran, ombak bergelora di lautan, sejuta
bintang atau bunga-bunga yang kuncup.
Mereka, hamparan materi tersebut, senantiasa ada dan berproses walau
mata manusia terpejam. Sebab keberadaan mereka tidak tergantung pada
merem atau melek-nya mata manusia. Atau dalam contoh lain, bila seorang
kawan menenggak berbotol-botol minuman dengan kadar alkohol sangat
tinggi maka akan mengakibatkan mabuk. Dalam kondisi mabuk ia merasakan
dan melihat dunia bergoyang-berpusing seperti naik komidi putar. Nah,
bergoyang-berpusingnya dunia dalam kasus ini, bukan karena bumi objektif
yang bergoyang-perpusing namun karena kondisi subjektif si kawan ini
yang memang sedang mabuk dilanda alkohol. Dalam kasus si kawan yang
mabuk ini, materi bernama alkohol bahkan memberi pengaruh atas kondisi
subjektif. Dengan demikian, realitas materi tidak bergantung pada ide,
manusia atau roh.
Semua yang terhampar merupakan proses organisasi alamiah yang
berseluk-beluk dengan bahan-bahan material yang mengitarinya.
B) Ide adalah Cerminan Materi dalam Otak
Otak manusia merupakan materi, yakni suatu organisme sistem urat syaraf
tertinggi yang dimiliki manusia dan mempunyai kemampuan merefleksikan
segala sesuatu dalam relasi antara subjek (manusia) dan objek (alam
material). Artinya, kelahiran ide senantiasa ditentukan oleh materi,
sebagai hasil hubungan langsung antara manusia dengan dunia materi dan
diolah oleh otak yang diterjemahkan dalam bentuk fikiran-fikiran.
Dengan demikian, lahirnya sebuah ide senantiasa didahului oleh kegiatan
hidup praktis di alam materi. sebagaimana contoh, seorang berpikir bahwa
cabe itu pedas adalah karena ia mengecap dan merasakan sebiji cabe
sebagai suatu praktek pembuktian bahwa cabe itu pedas. proses ini
melibatkan manusia dan sistem inderawinya dan sebuah cabe. Selanjutnya
memory yang tersimpan dalam otak akan selalu merekam bahwa cabe itu
pedas. Bilamana otak si kawan itu berpikir dialektis, ia akan mampu
mensiasati rasa pedas cabe dengan unsur lainnya, sehingga cabe bisa
diproses dalam berbagai rupa kombinasi unsur dan menjadi sambal yang
lezat, misalnya.
VI
Tentang Dialektika
Dialectique, dialectica, dialectike semuanya berasal dari bahasa Latin
yang dijelaskan sebagai seni berdebat dan berdiskusi, yang kemudian
diturunkan sebagai investigasi kebenaran dengan jalan diskusi. Dalam
penjabaran yang berbeda-beda, Plato mendefinisikan dialektika sebagai
seni untuk menentukan ide-ide dan metode untuk menentukan interelasi
ide-ide dalam penerangan prinsip tunggal. Dalam bahasa Ingris awal,
dialectic mempunyai makna sebagai seni penalaran formal yang mempelajari
kebenaran dan segala sesuatunya dengan perselisihan. Kemudian pada
perkembangannya yang sangat dipengaruhi filsafat idealis Jerman, kata
dialectic memperoleh makna yang lebih luas sebagai pemikiran tentang
kontradiksi dalam diskusi atau berselisih gagasan tentang kenyataan.
Dialektika itu ketika sampai di zaman Hegel, dikonsepsikan bahwa dalam
realitas ini tidak ada lagi bidang-bidang kehidupan yang terpisah atau
terisolasi. Semuanya saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan
pembenaran. Dalam tinjauan lain, dialektika berarti sesuatu itu hanya
berlaku benar apabila dilihat dengan keseluruhan hubungan dalam relasi
yang bersifat negasi-dialektis (tesis-antitesis-sintesis). Penjabaran
dalam konteks sejarah diterangkan bahwa sejarah bukanlah sembarang
deretan peristiwa yang berserak dalam ruang-waktu, tapi suatu proses
yang dapat dimengerti dan dikuasai oleh hukum-hukum objektif yang hanya
terpahami dengan memandang sejarah sebagai suatu keseluruhan. Ia
bukannya sebuah kisah yang seragam satu arah, melainkan proses yang
“dialektis”. Setiap langkah perkembangannya selalu dibentuk oleh adanya
hukum pertentangan antara kekuatan-kekuatan yang kontradiktif. Ia hanya
merukun kembali dalam suatu sintesis yang lebih tinggi di tingkat
selanjutnya, namun demi menghimpun pertentangan-pertentangan baru.
Demikianlah hukum dialektika seterusnya.
Dalam garis besarnya, Karl Marx menganut hukum pertentangan ini
sepanjang hidupnya dan menjadi landasan filsafatnya. Yang tercampak dari
filsafat Hegel hanyalah unsur “idealismenya”. Idealisme dalam arti
teknis filsafat adalah pandangan yang menganggap bahwa “pikiran” atau
“ide-ide” merupakan faktor primer dan determinan sementara benda-benda
fisikal menjadi sekunder. Menurut Hegel, sejarah pertama-tama adalah
cerita tentang perkembangan “akal” dan dialektika dari ide-ide itulah
yang menjadi motor penggerak sejarah.
Di dalam komitmennya untuk menemukan sebuah pola ajek dari metode
berpikir materialis, Karl Marx menggunakan metode yang dirumuskan Hegel
ini yang berhasil membongkar filsafat Platonis tentang dialektika.
Dialektika sebagai gagasan Platonis dirumuskan sebagai proses
argumentasi yang mengarah pada penyangkalan suatu pernyataan dengan cara
menyingkirkan ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan inherennya atau
acap dinamakan dengan kontradiksi-kontradiksi. Hegel menyusun kembali
proses argumentasi ini menjadi sebuah ciri perubahan historis umum. Di
dalam perubahan historis itu, gagasan-gagasan menyusun dirinya sendiri
dalam peristiwa-peristiwa historis sampai gagasan-gagasan itu dalam
situasi baru yang ingin diciptakan gagasan-gagasan itu. Dengan cara ini
Hegel ingin mengatasi ketegangan kuno antara pikiran di satu pihak dan
eksistensi material di lain pihak. Inilah yang disebut dualisme pikiran
dan materi. Sejarah dapat dilihat sebagai proses di mana jurang antara
dunia eksternal dan pikiran yang mengalami, yang mencakup alienasi
subjek yang mengalami dari kenyataan eksternal, diatasi dengan
usaha-usaha progresif yang lebih berhasil untuk memahami dan dengan
demikian mengubah dunia melalui pelaksanaan rasio. Di dalam
masing-masing kehidupan individu dan bahkan lebih lagi dalam
perkembangan setiap masyarakat, pikiran sampai menaklukkan dunia
material dengan mereduksinya ke dalam sebuah bentuk yang dapat dipahami
dan mengubahnya untuk menyesuaikan dengan susunannya sendiri.
Dalam penjelasan pendek, Leon Trotsky menulis, dialektika bukanlah suatu
fiksi atau mistisism, melainkan format berpikir secara saintis sejauh
tidak terbatasi pada masalah hidup sehari-hari namun usaha untuk
mencapai pemahaman yang lebih rumit sekalipun dan mengikuti pada proses.
Dengan demikian dialektika dipakai sebagai metode berpikir dan
menafsirkan dunia baik dalam konteks alam maupun masyarakat dalam relasi
kontradiksi. Dialektika merupakan jalan untuk melihat alam semesta
(universe) sebagai hamparan realitas yang senantiasa berubah dan
berkembang. Realitas tidak pernah mati. Dalam dialektika menjelaskan
bagaimana perubahan dan gerak juga mengandung kontradiksi dan gerak dan
perubahan terjadi dalam wilayah yang mengandung kontradiksi ini.
Selanjutnya Materialisme dialektika Marxis, mempunyai saripati ajaran
sebagai berikut:
A) Materialisme dialektik adalah gejala berhubungan antara materi-materi
dalam suatu kesatuan organisme.
Dalam mata filsafat dialektik, Marx dan Engels menganggap bahwa dalam
realitas ini tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri untuk selamanya,
tidak ada sesuatu yang mutlak dan suci seperti yang dimetafisikakan oleh
Hegel dengan sebutan “roh absolut”. Di dalam sesuatu dan di atas
sesuatu tampak bekas kemunduran yang tak terelakkan. Tidak ada sesuatu
yang dapat melawan dengan selamat proses tiada henti dari pembentukan,
pemusnahan, hukum kenaikan tak terhingga atau kerendahan dan
sebaliknya—semua berproses dalam mana filsafat sendiri hanya bisa
merefleksikannya dalam otak manusia dan tak kuasa menentang. Jadi
dialektik, menurut Marx, merupakan pengetahuan hukum-hukum umum dalam
proses dan gerak, yang berlaku dalam dunia materi. Di dalam dunia materi
berlaku segala hukum-hukum pertentangan, perubahan, lompatan, dorongan
dari pelbagai kekuatan yang saling berhubungan di segala lapangan
fenomena. misalnya, keadaan kehidupan masyarakat manusia tidak dapat
dipisahkan dari lingkungan alam di sekitarnya, sebab satu sama lain
saling terkait dan berhubungan dan mempengaruhi. Posisi hubungan antara
manusia dan alam menjadi satu faktor penentu alam fikir manusia dalam
perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi. Bilamana suatu desa
mengalami gempa, banjir atau musibah lainnya, fikiran manusia tentu akan
merespon adanya tindakan-tindakan yang akan menanggulangi bencana
tersebut. Dengan tetap membangun relasi yang akan menghubungkan manusia
dan alam sekitarnya secara organik dan tak terpisahkan.
Lebih mendetail lagi dua prinsip pokok dari dialektika Marxis adalah,
Pertama, dialektika Marxis berlawanan dengan metafisika. Dialektika
Marxis tidak memandang alam sebagai suatu tumpukan segala fenomena atau
tumpukan fenomena yang kebetulan saja, tidak berhubungan dan bebas satu
sama lainnya. Namun semua fenomena alam sebagai realitas yang organik
satu sama lainnya. Kedua, berbeda dengan metafisika, dalam konsepsi
dialektika berpendapat bahwa alam bukanlah satu keadaan yang statis
namun realitas yang terus menerus bergerak dan berubah, rontok, mati dan
tumbuh kembali. Ketiga, dialektika juga menerangkan proses perkembangan
bukanlah suatu proses pertumbuhan yang sederhana, di mana
perubahan-perubahan kuantitatif akan menuju perkembangan yang terbuka ke
arah perubahan yang kualitatif. Tafsiran dalam perubahan ini adalah
bahwa dalam dialektika proses perkembangan tidak boleh diartikan sebagai
gerak dalam lingkaran atau sebagai ulangan biasa dari apa yang sudah
terjadi, melainkan sebagai peralihan keadaan kuantitatif yang lama
menuju kualitatif yang baru
B) Materialisme Dialektika adalah Gejala Bergerak dan Berkembang.
Materialisme dialektika adalah bukan semata-mata gejala materi dari
kesatuan yang organik, melainkan bergerak dan berkembang. Seluruh alam,
kata Engels, dari yang sebutir pasir sampai matahari, dari sperma sampai
manusia, adalah selalu dalam keadaan senantiasa mengalir dengan
bergerak dan berkembang.
Gerak adalah bentuk eksistensi materi, di manapun tak pernah ada dan tak
mungkin ada materi tanpa gerak. Sebab materi tanpa gerak adalah sama
mustahilnya gerak tanpa materi atawa nonsens! Oleh sebab itu, gerak
sebagaimana materi itu sendiri, tak dapat diciptakan atau dilenyapkan.
Ia hanya bisa ditransfer. Sebagai contoh, dalam masyarakat, ia juga
tidak pernah diam. Masyarakat sebagai suatu himpunan material dari
sekumpulan manusia, selalu terlibat dalam gerak dalam bentuk kerja atau
kegiatan yang beraneka ragam. Sehingga tak ada masyarakat (materi) yang
diam tanpa gerak, dan tak ada gerak tanpa materi (masyarakat).
C) Gerak materi adalah Gerak Mandiri dan Menentukan.
Disebabkan gerak materi adalah bentuk eksistensi materi, ini bermakna
gerak meteri itu bukan disebabkan oleh faktor luar. Ia adalah gerak
mandiri sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan yang dihimpun di dalam
eksistensi materi itu sendiri. Faktor-faktor luar, peranannya hanya
mempengaruhi dan mendorong. Bukan menentukan.
Pengalaman sejarah masyarakat pun juga demikian. Kuat atau lemah suatu
masyarakat, selalu ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Lahirnya
Indonesia, contohnya, ketika rakyat tertindas di seantero negeri bangkit
dan melawan kapitalisme-kolonialisme, kemudian sebuah negara baru lahir
dari proses perjuangan mandiri rakyat Indonesia. Kebangkitan dan
perlawanan rakyat dalam hal ini harus kita baca sebagai kekuatan pokok
yang mandiri dan paling menentukan sukses atau hancurnya revolusi
nasional tempo dulu. Hal ini berarti, keberadaan imperialis Amerika atau
Inggris atau negara lain atau faktor luar rakyat Indonesia adalah bukan
dalam posisi menentukan. Demikian juga dengan Indonesia masa reformasi
sekarang, sebuah masyarakat pasca kehancuran selama 32 tahun di bawah
rezim kapitalis-fasis Soeharto, berhasil atau hancurnya negeri ini
keluar dari krisis multi-dimensi yang paling menentukan adalah rakyat
Indonesia sendiri. Yakni seberapa kuat rakyat Indonesia mampu
mengorganisir diri dalam kekuatan pokok yang menentukan bagi nasib
rakyat dan bangsa sendiri. Bukan berapa dana segar yang diinfus dari
donasi vampir internasional seperti, IMF atau World Bank. Bila demikian
yang terjadi adalah kesalah-kaprahan fundamental karena menyalahi asas
dialektika dan disusul pada kenyataan saat ini Indonesia tidak akan
bangkit dengan seutuhnya. Bahkan Indonesia semakin kering-kerontang
terjerumus dalam jeratan hutang pada vampir-vampir penghisap darah
bernama kapitalisme internasional.
D) Segala sesuatu ditentukan oleh Relasi Keadaan, Ruang dan Waktu.
Pencapaian suatu realitas objektif tertentu selalu berhubungan dan
ditentukan oleh syarat-syarat objektif berupa keadaan, ruang dan waktu.
Sebagai contoh, tumbuhnya corak produksi kapitalistik memerlukan
syarat-syarat objektif berupa kapital skala besar dan tersedianya buruh
upahan dalam skala banyak. Syarat-syarat ini baru tercapai pada akhir
zaman feodalisme (ruang-waktu) di Eropa. Waktu itu kaum burjuasi menjadi
kelas revolusioner karena syarat-syarat objektif yang ia miliki; secara
ekonomi mereka terampil, mandiri dan lepas dari patronase terhadap
feodalisme (raja dan bangsawan yang tidak terampil menguasai ilmu
perkakas modern), secara politik mereka radikal karena didukung kelas
bawah, secara pikiran mereka rasional-sekuler karena lepas dari doktrin
agama dan belenggu doktrin kerajaan. Namun apa yang terjadi ketika
mereka berhasil merubuhkan pilar-pilar feodalisme dan mampu membangun
kapitalisme, lihatlah sekarang, karena syarat-syarat yang ia bangun dan
pencapaian dalam ruang-waktu (imperialisme mutakhir), saat ini mereka
bukan lagi kaum revolusioner, melainkan reaksioner konservatif yang
tidak mau perubahan. Ini artinya, mereka tak beda jauh dengan posisi
kaum feodal aristokrat yang sama gigih mempertahankan monarkhi atas
revolusi burjuis waktu abad pertengahan dahulu.
Artinya, bila kita membaca kelas burjuasi di akhir abad pertengahan dan
masa sekarang lewat kerangka pasal dialektika ini; mereka menjadi kelas
paling revolusioner karena syarat-syarat yang mereka miliki waktu itu,
namun keadaan, ruang dan waktu zaman sekarang telah merubah kualitas
revolusioner mereka pada abad pertengahan menjadi kaum
reaksioner-konservatif pada zaman sekarang.
Kasus lain bisa kita ambil contoh di sekitar kita, seorang mahasiswa di
suatu keadaan, ruang dan waktu yang meletakkan kesadaran dirinya sangat
radikal-progresif-revolusioner di suatu waktu semasa kuliah, jangan
percaya dulu ia akan selamanya mempunyai watak dan sifat demikian. Sebab
bisa jadi di suatu keadaan, ruang dan waktu tertentu di kemudian hari
ia akan menjelma dari seorang yang konon di masa lalunya
radikal-progresif-revolusioner menjadi seorang ‘Pemuda Kardus’:
prototipe seorang pemuda yang masih sehat-segar-bugar namun ringkih
karena memang tidak tahan banting (baca: fragile); gampang rusak hanya
karena ‘panas’ dan mudah remuk hanya karena ‘hujan’, gampang ambruk
karena ‘angin’. Artinya secara alamiah ia sebagai kader perjuangan pasti
tidak teruji dalam praxis. Moralnya gampang remuk hanya
persoalan-persoalan sepele khas kelas menengah seperti romantism,
domestikism, pragmatism yang dihadapinya. Bersolek rupa adalah
pekerjaannya, merias diri dalam identitas-identitas semu yang
ditempelkan semacam intelektualism, kritisism, revolusionerism dan aneka
asesori yang ditempelkan di-diri-nya, namun semua orang tahu bahwa
semua itu palsu atau artifisial semata. Jadi pendek kata, bisa dikatakan
bahwa “Pemuda Marxis” suatu waktu dalam ruang dan keadaan bisa berubah
kualitas menjadi “Pemuda Kardus” yang mandek dan menjemukan!
E) Relasi Hubungan Pokok dan Non-pokok
Segala sesuatu mempunyai hubungan dengan banyak hal. Relasi antara satu
dengan yang lainnya juga ditentukan kedudukan dan posisi. Tidak semua
kedudukan itu sama karena mempunyai peranan dalam relasi yang determinan
dan non-determinan. Relasi yang faktor determinan, itulah yang
menentukan, selain didukung faktor-faktor non-determinan lainnya. Selama
faktor pokok belum kuat, ia berpeluang gagal dalam menentukan
perubahan.
Sebagai contoh, perjuangan kelas antara burjuasi dan proletariat, faktor
determinan yang menentukan adalah seberapa kuat dan bersatunya kelas
proletariat untuk bangkit menghantam kelas burjuasi. Inilah faktor pokok
paling menentukan (determinan). Artinya, selama aktor pokok belum
bangkit dan kuat, ia tidak berpeluang menyelesaikan antagonisme kelas
melawan kelas musuhnya yakni kaum burjuasi. Sementara faktor non-pokok,
bisa dibaca: dalam perjuangan kelas proletariat ia musti melibatkan
aktor-aktor penting (non-determinan) seperti membangun aliansi dengan
kelas menengah, mahasiswa dan kaum cendekiawan progresif dalam sebuah
perjuangan organik bersama-sama.
Dari semua rentetan ajaran tentang materialism dialektik, terdapat
beberapa kesimpulan pokok yang bisa menjadi panduan untuk membaca
sejarah masyarakat, baik masa lalu atau masa kini. Ajaran ini terbagi
dalam tiga hukum pokok. Pertama) hukum kontradiksi, kedua) Hukum
perubahan dari kuantitas menuju kualitas dan, ketiga) hukum negasi dari
negasi. Kesemuanya ini kita uraikan sbb:
a1. Hukum Kontradiksi
Hukum kontradiksi merupakan sokoguru atau tulang punggung hukum
dialektika. Karena ia menerangkan hakekat segala sesuatu perkembangan.
Tentang hal ini Lenin mengatakan, terbaginya kesatuan dan mengenal
bagian-bagian yang berkontradiksi adalah hakekat dari dialektika. Lebih
detailnya, hukum kontradiksi adalah metode untuk mengenali bahwa segala
sesuatu selalu mengandung bagian-bagian yang berbeda-beda sehingga
menciptakan kontradiksi. Sebagaimana dalam pelajaran di atas telah
diutarakan, kontradiksi menjadi unsur penggerak karena di dalamnya
mengandung suatu unsur yang saling bertentangan. Sebagai misal dalam
ilmu pengetahuan; terdapat aksi dan reaksi dalam mekanika, listrik + dan
- dalam elektronika, diferensial dan integral dalam matematika, ada
persenyawaan dan penguraian atom-atom dalam kimia, serta ada
pertentangan kelas dalam masyarakat.
Oleh karena setiap kontradiksi menempati kedudukan objektif tertentu,
maka Kontradiksi itu bermacam-macam. Ia terbagi dalam beberapa
sub-pasal:
Pertama: Kontradiksi Umum
Kontradiksi memuat di dalamnya dua persoalan penting, yakni, 1) bahwa
segala sesuatu dalam kehidupan ini selalu mengandung segi-segi yang
berkontradiksi, 2) bahwa di dalam seluruh proses perkembangannya dari
satu tingkatan menuju tingkatan berikutnya selalu mengandung
kontradiksi. Suatu kontradiksi ketika mampu menyelesaikan tahap yang
lama ia senantiasa menuju ke tingkat yang baru. Demikian seterusnya.
Pasal ini berarti mengandung seruan praxis, bahwa dalam menghadapi
kehidupan kita tidak lepas dari hukum kontradiksi ini. Kita harus
menghadapi, jangan takut dan tidak boleh melarikan diri sebab lari
berarti bunuh diri pelan-pelan. Dan dalam kehidupan ini tidak ada suatu
hal yang hanya mampu diselesaikan dengan satu kali pukul, lantas hilang
selamanya. Persoalan baru akan muncul, menyusun diri dalam kontradiksi
yang baru pula.
Kedua: Kontradiksi Khusus
Ia juga mempunyai dua pengertian, yakni, 1) bahwa di dalam setiap hal
mempunyai kontradiksi sendiri-sendiri secara khusus. Suatu kontradiksi
yang berbeda antara satu dan lainnya. 2) bahwa suatu hal dalam proses
perkembangan yang bersifat khusus akan mencapai tingkat perkembangan
yang khusus pula sampai melahirkan kualitas baru. Sebagai contoh, proses
perkembangan kupu-kupu; dimulai dari telor, ia akan berbeda
kontradiksinya ketika menjelma ulat, sebelum melahirkan seekor kupu-kupu
dengan sayapnya yang indah dan kembali menjadi kepompong kembali. Hal
ini berarti terdapat perkembangan khusus dalam kasus kupu-kupu, yang
berbeda dengan kasus cenderawasih, ular atau ikan paus.
Pasal ini menyeru kepada kita, marilah kita membaca dan mengenali
kenyataan secara kongkret dan akurat, untuk kemudian memecahkan
persoalan harus secara akurat dan kongkret juga. Kita dilarang menjiplak
atau memandu pemecahan masalah hanya bersandar pada hal yang umum
semata. Bahwa revolusi proletariat di Rusia 1917, mengandung sifat
khusus dari bumi kenyataan yang menghidupkan kontradiksinya sendiri.
Kita dilarang asal jiplak apa yang terjadi di Rusia atau Cina atau Cuba,
hanya dipindahkan ke Indonesia tanpa pengkajian secara khusus. Sebab
penjiplakan ini jelas menyalahi prinsip dalam hukum kontradiksi khusus
yang membedakan antara satu kasus dengan kasus lainnya dan penjiplakan
jelas satu tindakan a-Marxist karena tidak objektif, tidak ilmiah, asal
membeo dan hanya akan menunjukkan manusia tanpa akal budi yang aktif
berikhtiar mencari landasan kontradiksi di bumi sendiri. Sekali lagi,
sikap macam ini harus disingkirkan di kalangan kader Marxis di manapun
ia berada.
Ketiga: Kontradiksi Dasar
Dalam pelataran kenyataan objektif senantiasa terdapat
kontradiksi-kontradiksi, adapun salah satu yang terpenting adalah adanya
kontradiksi dasar. Ia mengandung pengertian sebagai kualitas
kontradiksi yang menciptakan kondisi objektif dalam hal corak produksi
masyarakat. Inilah yang dimaksud kontradiksi dasar.
Kontradiksi dasar adalah kontradiksi yang menempatkan antara satu kelas
dan kelas lainnya pada posisi yang saling bertentangan. Atau dalam
bahasa Marxis, between bourguese and proletariat there are manifestation
of the irreconcilability of class-antagonism. Dengan demikian antara
burjuis dan proletarait mengandung kontradiksi dasar yang saling
bertentangan dan tak bisa didamaikan.
Sebagai contoh, kepentingan kelas pemilik modal pada satu sisi adalah
melakukan hukum kapitalisme; bagaimana dengan modal sesedikit mungkin
bisa meraup untung serakus mungkin. Dengan demikian, ia sebagai
segelintir orang pemilik modal dalam prakteknya bagaimana
mengeksploitasi buruh yang mayoritas dengan sekian banyak siasat untuk
mencuri nilai lebih sehingga terakumulasi setumpuk kekayaan. Melihat dua
kelas ini kita melihat dua segi yang saling bertentangan; satu sisi
burjuis pengin untung besar satu sisi lain buruh pengin sejahtera. Dalam
konteks ini tidak mungkin mengandung hukum kompromi atau kesalehan
selain tipu daya seorang maling licik, lihai lagi pintar. Kontradiksi
dasar adalah bagaimana menguak kebenaran adanya penghisapan dari satu
kelas terhadap kelas lainnya sehingga terjadinya manifestasi dari
antagonism kelas.
Adapun adanya perubahan kontradiksi dasar akan disusul terjadinya
perubahan kwalitas pertama menuju kualitas berikutnya. Sebagai contoh
dalam pelataran masyarakat kapitalis; terdapatnya penghisapan kelas
burjuasi terhadap proletariat merupakan suatu kontradiksi dasar dalam
sepanjang sejarah masyarakat kapitalis. Kontradiksi dasar ini akan
lenyap dengan mensyaratkan hancurnya masyarakat kapitalis menuju
masyarakat yang baru di bawah payung sosialisme-komunisme.
Pasal ini mengajak kepada kita untuk meneliti dengan seksama apa yang
menjadi kontradiksi dasar dalam masyarakat kita saat ini. Hanya dengan
demikian kita akan mengetahui dengan jelas bagaimana kenyataan lama
harus dirubah, dengan antitesis apa, dan kita akan mengetahui sejauh
mana perubahan itu mengandung ciri kualitatif atau tidak.
Keempat: Kontradiksi Pokok
Dalam setiap tingkat perkembangan tertentu, tidak semua kontradiksi
mengandung ciri yang sama. Di antara kontradiksi ini selalu ada satu hal
yang memainkan peranan utama atau peranan pokok. Kontradiksi pokok
adalah kontradiksi yang menjadi poros utama, yaitu poros yang paling
menentukan, yang mampu memimpim dan yang mampu mendobrak untuk
memenangkan suatu perjuangan. Sebagai yang pokok ia juga akan menentukan
yang tidak pokok. Kontradiksi pokok ini menjadi aktor penentu dan
paling utama.
Sebagai contoh, dalam revolusi nasional 1945, kontradiksi pokok adalah
kontradiksi antara proletariat nasional melawan imperialisme asing yang
telah mengeksploitasi dan menindas selama 300-an tahun. Dalam posisi
ini, proletariat Indonesia menjadi aktor pokok yang memimpin dan
menentukan, sementara 4 burjuis kecil macam Sukarno, Hatta, Sjahrir atau
Amir, hanyalah sebagai faktor non-pokok. Namun apa yang terjadi dengan
revolusi kemerdekaan nasional adalah kesalahan fatal, yakni ketika
faktor non-pokok (policy 4 burjuis kecil yang memilih meja perundingan
dan bukan revolusi total) menjadi yang memimpin dan menentukan, maka
telah terjadi pengkhianatan pada hukum pokok massa tertindas. Dalam
kasus ini kita bisa membaca bagaimana kualitas revolusi nasional adalah
suatu peristiwa yang tidak banyak berubah atas nasib proletariat
indonesia. Dalam kasus ini kita bisa bersaksi, 4 burjuis kecil itu tidak
memakai hukum dialektika, tapi memakai logika hukum kompromi khas
burjuis kecil yang oportunis dan tak teguh pendirian. Sehingga
proletariat Indonesia terjebak dalam pepesan kosong bernama
nasionalisme. Ketika nasionalisme bukan sebagai kontradiksi pokok, ia
telah merampok posisi aktor-aktor pokok yang semestinya hanya mereka
yang mampun menyelesaikan kontradiksi pokok.
Kelima: Mutasi Kontradiksi
Pasal ini mengandung pengertian, bahwa dalam suatu kontradiksi pokok
senantiasa diganggu dengan banyak kontradiksi yang juga dimainkan,
dengan demikian kontradiksi pokok ini tidak tetap kedudukannya.
Pergeseran atau penggantian kedudukan kontradiksi ini disebut mutasi
kontradiksi pokok menuju non-pokok. Sebagai contoh di zaman kita
sekarang di bawah orde reformasi, pihak imperialis setelah berhasil
mendongkel kekuasaan Soeharto dari tampuk kepemimpinan pemerintah,
berusaha menghalau dan menutup akses tampilnya aktor-aktor dalam
kontradiksi pokok semisal kelas buruh atau kelas petani Indonesia. Cara
menutupi atau menggeser kontradiksi ini dengan menebarkan bermacam-macam
isu semisal kontradiksi agama, kontradiksi etnis, otonomi daerah, elite
kontra elite, tentara kontra sipil dan semua upaya untuk menggeser agar
tidak muncul kontradiksi pokok yang meletakkan kelas buruh kontra kelas
majikan dalam pergolakan di Indonesia.
Jelas, kawan, dalam pasal ini kita diajak untuk membaca dan membongkar
persoalan dengan seksama, bagaimana kita harus mampu membaca setiap daya
upaya licik musuh-musuh kita dalam menutupi kontradiksi pokok. Untuk
melawan mutasi kontradiksi ini jelas kita harus mengenali sebaik-baiknya
keadaan untuk mencapai bagaimana syarat-syarat kontradiksi pokok akan
lahir dan muncul memimpin keadaan. Sebab hanya dengan demikian kita akan
dapat mendorong dan mempercepat pencapaian perubahan kualitas.
Keenam: Kontradiksi Antagonis
Adalah kontradiksi dalam pengertian bahwa penyelesaian antara dua kelas
yang saling bermusuhan adalah mengandung cara yang saling menghancurkan
dengan kekerasan sebagai jalan penyelesaian permusuhan. Tanpa
penghancuran atau kekerasan, ia tak akan menyelesaikan masalah.
Sebagai contoh, penyelesaian masalah antagonism kelas antara burjuis dan
proletariat adalah bagaimana kelas proletariat merebut dengan cara
kekerasan (karena kompromi mustahil) sebagai alat produksi yang semula
dimiliki burjuis menjadi milik mereka bersama. Perebutan adalah
satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan penghisapan dan
ketidakadilan. Sebab majikan paling sholeh di dunia sekalipun tidak
bakalan ikhlas memberikan pabriknya kepada buruh, atau hanya sekedar
membagi nilai lebih secara adil kepada buruhnya. Karena kemustahilan
inilah maka pabrik harus direbut, majikan harus ditaklukkan dan pabrik
dan semua assetnya dikelola secara kolektif berdasar kesepakatan kelas
buruh sendiri.
Sementara non-antagonistik untuk sementara mengambil peran seperti
melakukan kompromi di meja perundingan, melakukan protes, mogok kerja
atau cara-cara boikot. Cara ini disebut non-antagonis karena belum
melakukan perebutan yang lebih manifes seperti merebut pabrik, merampas
tanah dari tangan tuan tanah besar.
a2.Perubahan Kuantitatif menuju Perubahan Kualitatif
Ia memiliki pengertian: hukum perubahan itu terdiri dari dua syarat,
yakni tingkatan kuantitatif menuju kualitatif. Pada tingkatan
kuantitatif ia berlangsung secara evolusioner dan menyiapkan perubahan
yang lebih kualitatif; tetapi sampai pada batas tertentu, apabila
bingkai lama telah diterjang, masyarakat lama sudah terbuang atau
mencapai titik maksimum perubahan, maka ia telah melewati tapal batas
kuantitas dan beranjak ke kualitas. Pada tingkatan kualitas ia bersifat
revolusioner karena telah merubah kualitas lama menjadi kualitas baru.
Sebagai kaum Marxis kita harus akurat membaca, apakah perubahan politik
yang dilokomotifi kaum reformis Indonesia sekarang telah mencapai
perubahan kualitas atau belum? Untukmenjawab pertanyaan ini tak perlu
mengutip dogma, cukup membaca kenyataan. Kondisi objektif memaparkan
pada kita tentang bagaimana upah buruh yang jauh di bawah angka
kesejahteraan, buruh-tani yang tidak punya tanah belum mendapat
legitimai hukum formal yang memungkinkan mereka mendapat tanah untuk
kelangsungan hidupnya. Sementara kaum miskin kota, mereka tetap hidup di
emperan toko, tanpa rumah, tanpa jaminan sosial, tanpa pekerjaan tetap
selain mengemis pada kelas kaya yang lalu-lalang dengan mobil mewah di
muka tubuh mereka yang lusuh. Menyaksikan realitas ini adakah perubahan
kualitatif atas rakyat negeri ini?
Ingat dan camkan kawan, perubahan kuantitatif tanpa disusul perubahan
kualitatif adalah terjebak dalam pepesan kosong reformisme seperti
sekarang menimpa kita dan rakyat negeri ini. Sedangkan perubahan
kualitatif tanpa didahului proses kuantitatif adalah spekulasi dan
avonturisme. Maka inilah tantangan yang kita hadapi, bila kita membaca
Indonesia masa kini yang kapitalistis, setengah feodal dan juga
mengandung fasism, maka pertanyaannya adalah bagaimana perubahan menuju
Indonesia yang sosialistis? Inilah pertanyaan yang harus kita jawab
bersama. Bagaimana kita harus merancang perubahan bertolak dari
kuantitatif untuk mencapai perubahan kualitatif.
a3. Hukum tentang Negasi dari Negasi
Negasi bermakna meniadakan. Negasi dari negasi bararti proses meniadakan
yang meniadakan. Hukum negasi dari negasi adalah metode mengungkapkan
arah atau kecenderungan umum dari gerak atau perkembangan sesuatu. Ia
mengandung perubahan dari kualitas lama menjadi kualitas baru dalam
proses peningkatan dan perkembangan dari bentuk yang rendah, sederhana
menuju ke bentuk yang lebih tinggi dan kompleks. Itulah sebabnya hukum
negasi dari negasi ini memuat makna progresif karena ia tidak mengenal
mundur atau mandek, melainkan maju. Sebagai ilustrasi dari hukum ini
mari kita ambil contoh:
Mari kita ambil sebutir biji padi, jika biji padi itu ditabur di atas
tanah yang cocok dan kemudian didukung hawa dn kelembaban yang cocok, ia
akan mengalami perubahan yang khas; bagaimana ia berkecambah dan tumbuh
kehijauan. Perubahan bentuk dari biji ke tumbuhan itu proses negasi,
karena biji telah berubah menjadi tumbuhan. Ketika tumbuhan itu subur
dan matang dan akhirnya menghasilkan butir-butir padi yang banyak dan
masak, pohon itu pun mati ( sebagai negasi dari negasi). Sebagai akibat
dari negasi dari negasi ini kita mendapat butir padi yang banyak dan
berlipat-lipat, bukan cuma satu sebagaimana semula.
Sebagai contoh dalam sejarah masyarakat, terdapat sebuah tesis yang
menyatakan bahwa masyarakat bermula dari komunitas primitif yang
homogen. Invdividu-individu waktu itu pada dasarnya tidak berbeda satu
sama lainnya, di antara meraka tidak terdapat ciri-ciri dari karakter
atau fungsi-fungsi produksi yang berbeda. Masyarakat terhimpun dalam
komunitas yang lebih bermakna ketimbang individu. Namun pada
perkembangannya (negasi I) dimulai dengan munculnya alienasi atau
masyarakat kelas (perbudakan, feodalisme, kapitalisme) yang
mencerai-beraikan komunitas bermakna tadi. Pada tahap perkembangan
individu-individu yang ekstrem ini proses disintegrasi sosial terjadi
dalam relasi struktural. Ketidaksejajaran, hisap-menghisap,
perintah-memerintah (ketidakadilan struktural) menjadi ciri utama
masyarakat ini. Sampai datangnya tahap selanjutnya (negasi dari negasi),
dengan datangnya sosialisme akan menyeimbangkan kembali kekacauan
struktural masyarakat, namun tanpa menghancurkan individualitas. Tidak
perlu takut HAM akan diinjak-injak, sebab komunitas sosial baru akan
terbentuk bersama tatanan masyarakat yang humanis, berkeadilan dan
demokratis.
VIII
Sekilas Tentang Materialisme Historis
Materialisme historis dipahami sebagai perluasan prinsip-prinsip
materialisme dialektik pada analisa mengenai kehidupan masyarakat, atau
pengeterapan prinsip-prinsip materialisme dialektik pada gejala
kehidupan masyarakat, atau semua aspek yang terjadi dalam fenomena
masyarakat dan sejarah. Bertolak dari proposisi bahwa yang terpenting
dari filsafat adalah bukan hanya bongkar pasang makna tentang dunia
namun bagaimana ia mampu merubah kenyataan dunia, Karl Marx meneruskan
konsistensi pemikirannya pada kasus hukum dialektika sejarah dalam
masyarakat manusia. Sementara itu dalam materialisme historis, Marx
menunjukkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, menjabarkan
secara ilmiah mata rantai sebab-sebab kelahiran, perkembangan dan
kehancuran sistem masyarakat beserta kelas-kelas sosial dalam suatu
kurun sejarah.
Marx menfokuskan pada tinjauan objektif atas corak produksi masyarakat
sebagai struktur dasar masyarakat. Hubungan corak produksi yang
melibatkan keselarasan antara aktivitas masyarakat berikut bahan-bahan
dan perkakas yang ada sebagai basis material (faktor determinan)
pembentuk sistem ekonomi masyarakat dan struktur sosial di dalamnya.
Termasuk manivestasi hukum, politik, estetika dan agama. Totalitas
produksi inilah yang menyusun masyarakat sekaligus dijadikan dasaran
tempat berpijak struktur-atas politik yang sah berdiri dengan pongah.
Sampai pada puncak perkembangannya, ketika suatu sistem produksi yang
ada mengandung kontradiksi yang melibatkan pertentangan
kekuatan-kekuatan produktif dalam masyarakat—kelas tanpa modal versus
kelas berkuasa dan bermodal—maka hukum sejarah berlaku dialektik. Yakni
perubahan yang sesuai dialektika hukum objektif, di mana masyarakat
bawah yang terperas dan terhisap akan melakukan perombakan secara
revolusioner sebagai anti-tesa sistem lama menuju sistesa dalam
masyarakat baru yang diperjuangkan sendiri oleh semua kaum tertindas
(proletariat).
Lenin berpendapat, dengan ditemukannya konsepsi materialisme historis,
ia telah mengatasi dua kelemahan pokok dari teori-teori sejarah
terdahulu. Pertama, mereka paling hanya meneliti motif-motif ideologis
dari aktivitas sejarah manusia, tanpa menyelidiki apa yang melahirkan
motif-motif tersebut dan tanpa berpegang pada hukum-hukum objektif yang
menguasai perkembangan sistem hubungan sosial. Mereka juga tidak melihat
akar-akar dari hubungan-hubungan pada tingkat perkembangan produksi
materi. Kedua, teori-teori sejarah terdahulu tidak meliputi tinjauan
aktivitas masyarakat dalam berbagai aspek corak-corak produksi dan
perkembangannya. Sedang materialisme historis Marx meninjau keadaan
objektif sosial dan perubahan dalam hukum dialektikanya dengan tingkat
akurasi yang hampir menyamai ilmu-ilmu alam. Sebab dalam materialisme
historis, Marx menunjukkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat,
menjelaskan secara objektif kelahiran, perkembangan dan kehancuran
suatu sistem masyarakat. Ia juga menyatakan bahwa pencipta sejarah
sebenarnya adalah massa rakyat kelas pekerja, bukan individu istimewa
macam raja atau pahlawan.
Pencarian konsepsi materialisme historis Karl Marx itu sendiri,
terhitung sejak Naskah-Naskah 1844 sampai Ideologi Jerman, pada
akhirnyanya menemukan taman pemikirannya dalam Tesis-Tesis tentang
Feuerbach yang ditulis Marx dalam bulan Maret 1845. Dalam pengantar buku
Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Jerman Engels menyebut 11 Tesis
Karl Marx ini sebagai dokumen pertama yang di dalamnya terkandung
benih-benih brilian pandangan dunia baru.
Dalam tesis ini Marx mengupas dalam rumusan kritis pokok-pokok pikiran
materialisme Feuerbach yang dipandang Marx tidak historis. Feuerbach di
dalam pikirannya membuat seorang manusia abstrak yang mendahului
masyarakatnya; ia tidak hanya menurunkan manusia menjadi seorang saleh,
namun juga gagal melihat bahwa rasa saleh itu sendiri merupakan produk
sosial, dan bahwa manusia abstrak yang ia analisis itu termasuk dalam
suatu bentuk masyarakat tertentu. Kedua, materialisme Feuerbach tetap
berada pada tingkat suatu doktrin filsafat yang semata-mata menganggap
gagasan-gagasan sebagai renungan dari kenyataan material. Pada
kenyataannya ada hubungan timbal balik antara kesadaran dan praksis
manusia. Sebagaimana ahli filsafat materialis terdahulu, Feuerbach
memperlakukan kenyataan material sebagai sesuatu yang menentukan
kegiatan manusia, dan tidak menganalisa modifikasi dunia ‘objektif’
dengan ‘subjeknya’, yaitu dengan kegiatan manusia. Dengan cara lain Marx
juga membuat titik persoalan menjadi sangat penting dengan mengatakan
bahwa doktrin materialisme Feuerbach itu tidak bisa menangani fakta,
bahwa kegiatan revolusioner adalah hasil dari tindakan-tindakan manusia
yang dilakukan dengan sadar dan yang dikehendaki, tetapi sebaliknya
Feuerbach menggambarkan dunia ini dalam kaitan pengaruh ‘searah’
kenyataan materi atas gagasan-gagasan. Akan tetapi dikemukakan sendiri
dengan terus terang oleh Marx dalam Tesisnya, bahwa “keadaan diubah
sendiri oleh manusia dan ..... sang pendidik sendiri pun harus dididik
....
Dengan demikian Marx mengkonsepsikan pengertian materialisme historis
sebagai kontruksi sejarah masyarakat yang berasal dari basis material
dalam suatu proses daya cipta, pemenuhan kebutuhan dan penciptaan ulang
dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat manusia yang tiada henti. Faktor
daya cipta inilah yang membedakan manusia dan binatang, yang
kebutuhannya bersifat instingtif, pasti dan tidak banyak berubah.
Manifestasi daya cipta manusia ini terletak pada kerja sebagai tulang
punggung produksi, yang dimaknai sebagai pengejawantahan segenap daya
kreatif manusia-manusia dan lingkungan sekitarnya sebagai landasan dari
masyarakat manusia. Dengan demikian kehidupan sosial pada hakekatnya
adalah berisi kegiatan-kegiatan praktis; kerja dan berproduksi. Segala
kegaiban yang menyesatkan manusia pada pelarian mistik, telah menemukan
pemecahannya yang rasional dalam praktek kerja nyata manusia dan
dicerahkan dalam pemahaman praktek itu sendiri. Inilah pencerahan versi
materialisme historisnya Marx.
A. Kelas-kelas, Antagonism Kelas dan Perjuangan Kelas
Teori kelas merupakan satu peralatan kunci dalam kajian Marxisme. Ambisi
Karl Marx untuk membangun analisa secara sistematis perihal teori
kelas, pada akhirnya tak kesampaian karena malaikat maut keburu datang
dan merenggut pena tajam dari tangannya. Dalam satu bab khusus (bab 52)
dan paling akhir dalam Capital jilid III, Marx memberi judul
“Kelas-kelas” (Classes) dan baru menginjak separuh dari lembar kedua.
Penyajiannya diakhiri dengan sepenggal kata-kata dari editor sekaligus
kawan terkaribnya, Frederick Engels: “Di sini manuskrip terputus” (Karl
Marx, 1962, 863).
Frederick Engels, sang Editor juga tidak melanjutkan pembahasan bab
terakhir dan terpenting tentang “kelas-kelas” ini. Namun demikian, bukan
berarti Karl Marx tidak mempunyai konsepsi tentang kelas. Dalam buku
terpentingnya Das Capital jilid I-III, The Class Struggle in France
1848-1850 maupun Manifesto Komunis bertebaran di dalamnya penjabaran
tentang kelas-kelas sosial yang sangat membantu memberikan pengertian
kelas-kelas sosial seperti apa yang hendak dikonsepsikan Karl Marx.
Istilah kelas atau kelas-kelas itu sendiri konon bermula dari para
penguasa Romawi untuk membagi penduduk ke dalam kelompok-kelompok
pembayar pajak, yang tentu tak menduga akan menjadi peralatan kunci
dalam kajian sosial, terutama oleh Marx. Kategorisasi yang dibuat oleh
para penguasa Romawi menyebutkan adanya kaum assidui, yakni mereka
orang-orang yang termasuk ke dalam 100.000 penduduk yang mereka hormati;
di lain pihak terdapat kaum proletarii, yakni mereka yang hanya
memiliki ‘kekayaan’ yang terdiri dari sejumlah anak-cucu (proles) dan
yang menang atas lumpenproletariat hanya karena dihitung menurut jumlah
kepala (capita censi) mereka belaka.
Melakukan tinjauan terhadap kelas-kelas dalam sejarah dan masyarakat
dengan perspektif Marxian, konsepsi kelas tidak pernah lepas dari tesis
pokok Karl Marx perihal corak produksi masyarakat sebagai basis-struktur
terbangunnya super-struktur dengan segenap konsekuensi struktural
teririsnya masyarakat dalam kelas-kelas sosial. Sejarah masyarakat itu
sendiri, seperti yang diungkapkannya dalam Manifesto Komunis merupakan
periodesasi yang sarat dengan pertarungan kelas. Ide-ide atau pemikiran
yang menguasai suatuzaman tertentu, selamanya adalah ide-ide milik kelas
yang berkuasa. Di setiap zaman cara berpikir kelas berkuasa selalu
adalah cara berpikir yang berkuasa pula; yakni kelas yang menguasai
kekuasaan material masyarakat, yang bermakna sekaligus menguasai
intelektual masyarakat. Kelas yang mengendalikan alat-alat produksi
material adalah sekaligus mengendalikan alat-alat produksi intelektual.
Dengan demikian, dalam tinjauan kontemporer bisa dimaknai bahwa konsepsi
negara modern merupakan suatu perserikatan yang diselenggarakan oleh
kaum burjuis dan pastilah institusi yang dibentuk untuk melayani
kepentingan kaum burjuis sendiri itu sendiri. Konsep kelas dengan
demikian diambil dari perspektif ekonomi-politik. Kelas-kelas dipertegas
lagi dalam koeksistensi konflik yang saling bertentangan dan jatuh
dalam pola dominasi dan eksploitasi yang memunculkan antagonisme kelas
yang tak terdamaikan. Yang ada dalam corak produksi masyarakat
kapitalistik, misalnya, kemudian hanyalah antagonisme dua kelas pokok;
kelas proletariat yang melarat sebagai pihak terhisap dan tertindas dan
kelas burjuis yang loba dan bergelimpangan harta sebagai pihak penghisap
dan penindas. Jawaban atas polarisasi kelas ini menurut Marx tidak ada
pilihan lain kecuali perjuangan kelas sebagai manivestasi penjungkalan
struktural kelas berkuasa (the ruling class) lewat jalan kekerasan
bernama revolusi proletariat. Sebuah “aksara penuh api dan darah”
perjuangan kelas menuju keadilan sejati milik mayoritas kaum proletariat
ini, dimaknai sebagai muatan kongkrit hukum dialektika sejarah yang ia
pinjam dari Hegel.
Manifesto Komunis Karl Marx dan Engels dalam perspektif historis
menafsirkan bahwa sejarah yang terentang dari semua masyarakat adalah
sejarah panjang perjuangan kelas. Orang-orang merdeka dan budak,
patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli dan tukang
pembantu, pendeknya; penindas dan yang ditindas senantiasa ada dalam
pertentangan satu dengan yang lainnya, melakukan perjuangan tiada
putus-putusnya, terkadang dengan sembunyi, terkadang terang-terangan,
suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan kembali
masyarakat umumnya atau sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan.
Dalam zaman permulaan sejarah, hampir di mana saja kita dapati suatu
susunan rumit dari masyarakat yang terbagi menjadi berbagai golongan,
menjadi banyak tingkatan kedudukan sosial. Di Roma purbakala terdapat
kaum patrisir, kaum kesatria, kaum plebejer, kaum budak dan pada abad
pertengahan terdapat kaum tuang feodal, kaum vasal, kaum tukang-ahli,
kaum tukang pembantu, kaum malang dan kamu hamba; di dalam hampir semua
kelas ini terdapat lagi tingkatan-tingkatan bawahan. Masyarakat borjuasi
modern yang timbul dari reruntuhan feodalisme tidak mampu menghilangkan
pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas baru,
syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai
ganti yang lampau. Namun masa kita, masa borjuis, mengandung gejala yang
jelas telah menyederhanakan antagonisme kelas itu. Masyarakat umumnya
kian lama kian pecah menjadi dua kelompok yang sangat bermusuhan, dua
kelas besar yang keduanya berhadapan secara langsung; borjuis dan
proletar...... Borjuasi di banyak tempat telah menghanyutkan getaran
yang paling suci dari damba keagamaan, dari gairah kesatriaan, dari
sentimentalisme filistin, ke dalam air dingin pembayaran tunai dan
perhitungan egoisme yang menjadi akar-akar dari watak loba manusia.
Melakukan telaah bagaimana terbaginya masyarakat dalam kelas-kelas
sosial, pembahasan bisa dimulai dari penjabaran sebagai berikut: bahwa
perkembangan masyarakat itu sendiri ditinjau oleh Marx sebagai hasil
interaksi yang produktif dan berulangkali antara alam dan manusia.
Manusia, bukankah mulai membedakan dirinya dari binatang, segera setelah
ia mulai aktivitas memproduksi peralatan kehidupannya? Proses Produksi
dan reproduksi kehidupan, keduanya merupakan kepentingan mendesak, yang
didiktekan oleh kebutuhan-kebutuhan biologis dari organisme manusia, dan
yang lebih penting lagi merupakan sumber kreatif dari
kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan-kemampuan. Dengan demikian kegiatan
produksi itu, baik dalam pengertian sejarah maupun analitis, merupakan
akar dari masyarakat. Produksi adalah ‘tindakan sejarah pertama’; dan
‘produksi kehidupan material adalah syarat dasar dari semua sejarah,
yang – seperti ribuan tahun lampau—harus dipenuhi tiap jam, tiap hari,
tiap minggu dan seterusnya guna menopang kehidupan manusia. Konsepsi
kelas lahir sebagai keniscayaan derivatif pembagian produksi dalam
masyarakat yang sesuai dengan watak produksinya. Lebih khusus lagi
irisan-irisan kelas terbentuk melalui hubungan antar
pengelompokan-pengelompokan individu dengan kepemilikan pribadi atas
sarana-sarana produksi. Dalam konsepsi Marx, kelas-kelas ini membentuk
mata rantai utama antara hubungan produksi dalam masyarakat, atau
struktur luar biasa dalam masyarakat. Hubungan antar kelas merupakan
poros utama dan kekuasaan politik didistribusikan di sekitar sumbu ini,
sedangkan organisasi politik tergantung pada sumbu ini pula. Dalam
konteks inilah, kekuasaan ekonomi dan politik bertalian erat sekali.
B. Konsepsi tentang Negara
Kata ‘ideologi’ pertama kali muncul dalam bahasa Inggris pada tahun 1796
sebagai terjemahan langsung dari kata baru Perancis ideologie, yang
diperkenalkan oleh seorang filosof bernama Destutt de Tracy. Ia
mengartikan ideologi sebagai konsepsi pengetahuan yang dibedakannya
dengan konsepsi metafisika kuno. Selanjutnya ideologi sering dipakai
dalam teori epistemologi dan linguistik sampai abad ke-19. Dalam
pengertian berbeda, kata ideologi ini juga dipopulerkan oleh Napoleon
Bonaparte yang digunakan secara khusus untuk menyerang prinsip-prinsip
kaum republik dan Destutt de Tracy sebagai musuh politiknya.
Sementara itu Karl-Marx dan Engels juga terlibat dalam pengertian
ideologi sebagaimana yang tertuang dalam karya-karya The German Ideology
dan Ludwig Feuerbach und der Ausgang der Klassischen Deutschen
Philosophie (1888). The German Ideology merupakan sebuah buku yang
menyerang secara langsung tradisi ideologi filsafat Jerman yang pekat
dengan tradisi idealisme yang bersumber dari metafisika dan
spiritualitas. Karl Marx dalam konteks ini memberikan jawaban yang
bersumber dari relasi material dalam sejarah yang kemudian membangun
dunia gagasan bernama ideologi. Sebuah konsepsi ideologi yang
dinyatakannya sebagai ‘kenaikan dari bumi ke surga’ dan bukan
sebaliknya.
Dalam keseluruhan ideologi manusia dan kemunculan relasi terbaliknya
sebagaimana dalam kamera yang kabur (camera obscura), hal ini suatu
keharusan sebagaimana proses kehidupan sejarah sebagai pembalikan
(inversi) objek pada retina yang memang seharusnya pada kelangsungan
proses kehidupan fisik mereka. Dalam oposisi langsung terhadap filsafat
Jerman yang turun dari surga ke bumi, maka inilah kenaikan (mikraj) dari
bumi ke surga. Ini bermakna bahwa proses kita tidak berasal dari apa
kata orang, apa yang mereka khayalkan atau imajinasikan, bukan pula
berasal dari apa yang telah orang-orang katakan, telah mereka khayalkan
atau imajinasikan untuk sampai suatu pengertian darah-gading manusia;
kita berproses dari manusia yang sungguh-sungguh aktif dan menyaksikan
pertumbuhan refleksi ideologi dan bergema dari proses kehidupan nyata
(Karl Marx dan Frederick Engels, 1957, 74)
F. Engels, menjelaskan:
Negara memperlihatkan diri kepada kita sebagai kekuasaan ideologi yang
pertama atas umat manusia. Masyarakat menciptakan untuk dirinya sendiri
suatu alat untuk melindungi kepentingan umumnya terhadap serangan baik
dari dalam maupun luar. Alat itu adalah kekuasaan negara. Baru saja
lahir, ia langsung menciptakan dirinya lepas dan berhadap-hadapan dengan
rakyat. Ia memang telah menjadi alat kepentingan dari kelas khusus (F.
Engels, 1963, 64)
Dalam sebuah surat untuk Mehring (1893), Engels juga menjelaskan:
Ideologi merupakan sebuah proses ulung dengan apa yang kemudian
dinyatakan oleh para pemikir dengan sengaja namun penuh dengan kesadaran
palsu. Motif nyata mendorong mereka tetap yang tidak mereka ketahui,
akibatnya hal ini tidak menjadi proses ideologi seluruhnya. Karena itu
dia mengkhayalkan motif-motif nyata atau palsu. Karena proses berpikir
dia berasal dari dua bentuk dan berisi dari pikiran murni, baik dia
sendiri maupun leluhurnya (Raymond Williams, 1985, 155).
Berkaitan dengan pengertian ideologi, baik Marx maupun Engels
menggunakannya sebagai pisau pengupas gagasan-gagasan konservatif kelas
berkuasa dan membikin perhitungan dengan para pemikir dari kelas
burjuasi yang harus bertanggung jawab atas kesempurnaan ilusif di balik
jubah kepentingan ideologi mereka. Pengertian utama ideologi konservatif
dimaknainya sebagai konsepsi yang penuh ilusi, kesadaran palsu, tidak
nyata, realitas terbalik. Baik Marx maupun Engels berkeyakinan bahwa
ideologi berupa filsafat dan agama selalu jauh dan menjauh dari realitas
basis material dan basis ekonomi. Sebagai balasannya, Marx menjelaskan
bahwa untuk menerangi ilusi realitas ideologi tersebut maka persoalan
bukan bertolak dari metafisika, spiritualitas, agama ataupun pikiran
murni, melainkan dari kondisi-kondisi yang paling nyata, material, basis
produksi ekonomi masyarakat.
Konsepsi Marx dan Engels tentang negara, ideologi dan politik tidak
lepas dari konsepsi kelas-kelas dalam masyarakat sebagaimana yang
dikonsepsikan dalam pandangan materialisme historis. Dalam karya buku
Contribution to the Critique of Political Economics (1859), Marx
kemudian melahirkan satu konsepsi tentang apa yang dinamakannya sebagai
basis-struktur dan supra-struktur. Pengertian basis-struktur adalah:
Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki
hubungan-hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tergantung pada kemauan
mereka; hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan
tertentu dari tenaga-tenaga produktif materialnya. Jumlah seluruh
hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat, dasar nyata
di mana di atasnya timbul suatu bangunan atas yuridis dan politis dan
dengannya bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu bersesuaian. Cara
produksi kehidupan material mengkondisikan proses kehidupan sosial,
politik dan spiritual pada umumnya. Bukan kesadaran manusia yang
menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya, keadaan sosial merekalah
yang menentukan kesadaran mereka.
Bangunan-bawah (basis-struktur) dimaknainya sebagai basis produksi
kehidupan material masyarakat yang menjadi batu fundasi tempat
berpijaknya bangunan-atas (supra-struktur), wilayah dilangsungkannya
faktor-faktor sosial, politik dan spiritual masyarakat. Basis-struktur
itu sendiri terbagi dalam dua bagian, pertama) tenaga-tenaga produktif
yang dimaknai sebagai kekuatan-kekuatan yang dipakai masyarakat untuk
mengerjakan dan mengubah alam. Sebagai kekuatan perubah ia terdiri dari
tiga unsur: alat-alat kerja, kecakapan manusia dengan alat kerjanya dan
pengalaman-pengalaman dalam produksi. Kedua) hubungan-hubungan produksi
yang dijabarkan sebagai hubungan kerja sama atau pembagian kerja antara
manusia yang terlibat dalam proses produksi, pemilik modal dan buruh,
misalnya.
Sementara itu bangunan atas juga mempunyai dua unsur tatanan: pertama)
Tatanan institusional sebagai lembaga yang mengatur kehidupan bersama
masyarakat di luar bidang produksi. Mencontohkannya, sistem pendidikan,
sistem pasar, sistem kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, sistem
hukum dan negara. Kedua) memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma
dan nilai-nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna dan orientasi
spiritual kepada usaha manusia. Dalam konteks ini termuat pandangan
dunia, agama, filsafat, moralitas masyarakat, nilai-nilai seni-budaya
dan sebagainya.
Ideologi kaum burjuasi dengan sistem kapitalisme yang dianut dan
dikerjakan oleh para pendukungnya juga menjanjikan terbentuknya tatanan
masyarakat yang demokratis dan sejahtera. Kesemua kepentingan itu mereka
termuat di dalam sebuah sistem besar: tatanan kehidupan politik
bernegara dan bermasyarakat.
Menyimpulkan analisa tentang negara kapitalis serta kepentingan
ideologi, Engels mengatakan: negara adalah hasil dari masyarakat pada
tingkat perkembangan tertentu; ia adalah pengakuan bahwa masyarakat ini
telah terlibat dalam suatu kontradiksi-kontradiksi yang tak terpecahkan
dengan sendirinya, bahwa ia terbelah dalam antagonisme-antagonisme tak
terdamaikan dan tak mampu dilenyapkan olehnya. Tetapi supaya
antagonisme-antagonisme ini, kelas-kelas yang berbenturan dalam hal
kepentingan ekonomi, jangan membinasakan dirinya dan masyarakat dalam
perjuangan yang tiada hasilnya, suatu kekuasaan tampaknya berdiri di
atas masyarakat menjadi perlu untuk tujuan melunakkan bentrokan,
mempertahankan di dalam ikatan-ikatan susunan tata tertib; dan kekuasaan
ini, yang timbul keluar dari masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di
atas dan semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat, dan itulah
negara.
Dengan merujuk pada tinjauan ini, bagaimana Engels sebagai salah seorang
bapak Marxisme, meninjau konsepsi negara sebagai hasil dan bentukan
kelas atas dan ia memanifestasikan antagonisme-antagonisme kelas yang
tak terdamaikan. Dengan demikian kepentingan ideologi kelas burjuasi dan
kelas berkuasa termuat di dalam konsepsi tata tertib negara yang
berfungsi sebagai wasit yang berpihak pada kaum burjuasi. Negara dalam
konteks ini bermakna sebagai institusi politik atau pihak penjaga sistem
(status quo), yang menjaga kohesi kelas, mengaburkan antagonisme kelas
dan melanggengkan ideologi kelas atas. Konsepsi ini jelas lahir sebagai
derivasi dari pemahaman materialisme historis dan dialektika historis
yang pada pencapaian sejarah masyarakat telah melahirkan negara.
Counter ideologi yang ditawarkan Marxisme tentu saja bukan sembarang
counter moral atau politik semata terhadap ideologi kaum burjuasi
(kapitalisme); Marxisme bahkan menawarkan antitesa-nya, lawan tanding
yang meniadakan negara berpaham kapitalisme sekaligus menawarkan sistem
baru secara radikal dan komprehensif. Dalam German Ideology Marx
menulis: “Komunisme bagi kami bukan keadaan yang diciptakan, cita-cita
yang wajib diikuti oleh kenyataan. Kami menyebutnya komunisme sebagai
gerakan nyata yang meniadakan keadaan sekarang. Sedangkan syarat-syarat
gerakan itu dapat disimpulkan dari pengandaian yang terdapat sekarang.
Cukup jelas kiranya bahwa dalam kajian Marxisme, posisi negara, politik
dan ideologi berada di wilayah suprastruktur. Artinya, sebagai
suprastruktur ia berada dalam determinasi basis-struktur, yakni ekonomi
atau kelas yang berkuasa secara ekonomi. Pertentangan ini dengan
demikian terjadi di tiga aras utama, pertama) Aras ekonomi yang
melibatkan antara kaum tanpa modal yang dieksploitasi oleh kaum pemilik
modal dan alat produksi, kedua) Aras politik akan merebak seiring dengan
pertentangan kelas karena relasi mereka dengan kekuasaan politik negara
disebabkan negara selalu mewakili kelas khusus atau kelas burjuasi.
Kelas proletar berjuang dengan organisasi politik dengan maksud merebut
kekuasaan negara dan menghancurkan negara burjuis. Ketiga) Aras
pertentangan ideologis juga terjadi ketika kaum proletar harus berjuang
karena kaum burjuis memakai indoktrinasi untuk mengelabuhi massa rakyat
baik dengan agama, pendidikan, keluarga, partai politik dan media massa
yang mereka biayai.
Melakukan telaah lebih jauh di aras suprastruktur politik dalam konteks
anatomi negara kapitalis dengan demikian memuat beberapa hal pokok:
yakni negara menjadi instrumen penting yang disusun menurut cara yang
sesuai dengan organisasi normatif masyarakat kapitalis. Kelangsungan
operasional negara banyak disuntik dari dukungan monopoli kapital. Dalam
relasi antar kelas, negara berfungsi sebagai manajer krisis yang jelas
tidak mampu mendamaikan kepentingan antar kelas yang berbenturan,
sehingga ketika terjadi krisis kapitalisme ini bermakna krisis negara
permanen. Bagaimana pun negara beserta sistem politik yang diciptakan
selalu melayani dan mempertahankan supremasi kelas burjuasi. Negara
sebagai benteng pertahanan kelas atas juga membangun dirinya sistem
pertahanan dengan aparatus kekuasaan seperti tentara, polisi dan
birokrasi. Pada golongan tentara maupun polisi mereka digunakan untuk
menghadapi ancaman fisik para pemberontak atau penentang sistem,
sementara birokrasi dipakai untuk mengurusi kepentingan administratif
kelas atas. Keduanya menjadi sub-sistem negara. Supremasi hukum lebih
banyak menciptakan ilusi keadilan sosial karena seakan-akan negara dapat
melaksanakan tindakan pemerataan kekayaan pada kelas-kelas sosial.
Posisi politik sebagai suprastruktur berarti pemisahan kekuasaan dari
demokrasi langsung dari kelas proletariat. Bagaimana proses pemilihan
para wakil rakyat hanya memungkinkan sampai di kotak suara, sehingga
negara juga memungkinkan mencegah gerakan politik anti-kapitalis yang
bersifat kolektif dan terorganisir.
Namun ketika Marxisme menyatakan negara beserta perangkat dan sistemnya
tetap tak mampu mendamaikan kelas, hal inilah sumber konflik politik
yang membuktikan dan mencerminkan pertentangan antar kelas, bagaimana
kelas bawah yang tertindas dan tak terakomodasi dalam koridor formal
sistem politik negara akan terus melakukan perjuangannya secara terus
menerus. Revolusi kelas akan menjadi faktor determinan hancurnya tatanan
lama atau langgengnya kekuasaan tersebut.
Ketika sistem politik negara modern juga mengenalkan kekuasaan
lagislatif atau parlementarisme sebagai bagian dari komponen relasi
formal masyarakat dan negara, ideologi politik kaum Marxis tetap menolak
jalan demokratis liberal (burjuasi) yang sudah lazim berlangsung dalam
masyarakat modern ini. Dalam buku Perang dalam Negeri di Perancis, Marx
menyatakan: “Komune haruslah sebuah badan pekerja, bukannya badan
parlementer yang sekaligus eksekutif dan legislatif .... Hak pilih umum
juga bukanlah untuk menetapkan sekali dalam tiga atau enam tahun anggota
yang mana dari kelas berkuasa harus mewakili dan menindas rakyat di
dalam parlemen. Tetapi hak pilih umum haruslah mengabdi rakyat, tersusun
dalam komune-komune seperti halnya dengan hak pilih perseorangan yang
mengabdi setiap majikan yang mana saja dalam memilih buruh, mandor dan
pemegang buku untuk perusahaannya.
Lebih dalam lagi Lenin dalam buku Negara dan Revolusi selain melakukan
peninjauan terhadap diktatur proletariat dan format demokrasi proletar,
ia juga meninjau sistem parlementerisme ini di negara-negara Barat
sebagai warung obrolan berisi omong kosong dan hanya menipu rakyat. Ia
mencontohkan di Amerika, Swiss, Perancis, Inggris, Norwegia maupun di
Rusia sebelum kemenangan kaum Bolshevik; di negeri-negeri tersebut
urusan sebenarnya dari negara dilakukan di belakang layar dan dikerjakan
oleh departemen-departemen, kementerian dan staf-staf umum pemerintah.
Parlemen itu sendiri dibiarkan menjadi arena pembicaraan para petugas
yang disuap dan sudah bisa ditebak putusan akhirnya. Di Rusia sendiri
sebelum kemenangan kaum Bolshevik, Lenin mencermati kaum
sosialis-revolusioner dan Menshevik di parlemen yang hanya untuk bermain
resmi-resmian membuat resolusi dan putusan hiburan yang hanya menipu
kaum buruh serta buruh-tani di desa-desa.
Oleh sebab parlementarisme sebagai institusi politik masyarakat burjuis
di mana kemerdekaan berpendapat dan berunding telah merosot menjadi
lembaga penipuan rakyat, maka dalam pandangan kaum Marxis,
parlementarisme harus dihapuskan. Disebabkan sistem negara modern tidak
berpihak pada kelas tertindas, baik Marx maupun Engels sama-sama
menyatakan, negara sebagai mesin politik kelas berkuasa menjadi sasaran
utama pertarungan politik dan harus direbut dengan cara kekerasan lewat
revolusi kelas proletariat. Diktatur proletariat akan melangsungkan
sendiri demokrasi ekonomi-politik kelas tertindas, bagaimana pabrik
dikelola secara bersama dan dibagi untuk kepentingan bersama, bagaimana
negara direbut dan parlementarisme diganti dengan komune yang bekerja
sebagai perwakilan politik kaum tertindas dan diisi sendiri oleh
orang-orang yang mereka percayai. Demikianlah, bagaimana konsepsi negara
kaum kapitalis di-antitesa-kan dengan konsepsi negara sosialis sebagai
masa transisi menuju tatanan masyarakat tanpa kelas dalam zaman
komunisme: zaman demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, masyarakat
tanpa kelas, egalitarian dan adil-sejahtera bersama-sama.
Setelah misi tersebut tercapai, masyarakat komunis tercipta, maka
menurut paham Marxisme, negara diktatur proletariat bukan saja tidak
dibutuhkan lagi, tetapi bahkan negara sebagai lembaga harus dihapus.
Masyarakat untuk kemudian mengurus dirinya sendiri, tanpa ada lembaga
kekuasaan yang permanen. Kalau ada persoalan, secara ad hoc masalah itu
dibicarakan untuk dipecahkan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat komunis
adalah masyarakat tanpa negara. Dengan demikian, dalam pemikiran
Marxisme, negara dengan kekuasaan mutlak hanya diperlukan pada waktu
terjadi transisi dari sosialisme menuju komunisme (Tj).
*****
Daftar Pustaka
Aidit, D. N., 1963, Tentang Marxisme, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham,
Jakarta
Brewer, Anthony, 1999, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Teplok
Press, Jakarta.
Engels, Frederick, 1963, Perkembangan Sosialisme dari Utopi Menjadi
Ilmu, Jajasan
Pembaharuan, Jakarta.
---------------------, 1963, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klassik
Jerman, Jajasan
Pembaharuan, Jakarta.
--------------------, 1962, Anti-Duhring, Third edition, Foreign
Languages Publishing House,
Moscow.
Elster, Jon, 2000, Karl Marx: Marxisme Analisis Kritis, Pt. Prestasi
Pustakaraya, Jakarta.
Giddens, Anthony, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Penerbit
UI, Jakarta.
Godechot, Jacques, Revolusi di Dunia Barat, UGM Press, Yogyakarta.
Lange, Frederick Albert, 1950, The History of Materialism, Routledge and
Kegan Paul, ltd,
London.
Lenin, Vladimir Illich, 1961, Negara dan Revolusi, Jajasan Pembaharuan,
Jakarta.
----------------------, 1964, Ajaran-Ajaran Karl Marx, Haruman Hidup,
Jakarta.
Malaka, Tan, 1962, Madilog, penerbit Widjaya, Jakarta.
Manual, 1964, Fundamentals of Marxisme-Leninisme, Progress Publisher,
Moscow.
Marx, Karl, 1890, Capital Vol. I, Foreign Languages Publishing House,
Moscow.
---------------------, The Poverty of Philosophy, Foreign Languages
Publishing House, Moscow.
Marx, Karl dan F. Engels, Manifesto Komunis, Yayasan Bintang Merah.
---------------------, 1957, On Religion, Foreign Languages Publishing
House, Moscow.
---------------------, 1962, Selected Work in Two Volume, Foreign
Languages Publishing House,
Moscow.
McDougal, William, 1929, Modern Materialism and Emergent Evolution,
Methuen and Co ltd,
London.
Soebantardjo, 1956, Sari Sejarah Eropa-Amerika, Penerbit Bopkri,
Yogyakarta.
Stalin, J. W.,1955, Materialisme Dialektika Historis, Jajasan
Pembaharuan, Jakarta.
Wood, Alan and Ted Grant, 1995, Reason in Revolt: Marxist Philosophy and
Modern Science,
Wellred Publications, London.
William, Raymond, 1985, Keyword, Oxford University, NY.